Sabtu, 16 Mei 2009

TABIR PERADABAN SUNGAI LEMATANG

Latar Belakang

Wilayah Sumatera Selatan terdapat sungai-sungai besar yang dapat dilayari sampai ke hulu, yaitu Sungai Musi, Ogan, Komering, Lematang, Kelingi, Rawas, Batanghari Leko, Calik dan Lalan. Sungai-sungai besar ini merupakan urat nadi kehidupan masyarakat sejak masa lampau berdasarkan bukti-bukti arkeologis yang tersebar di daerah aliran sungai. Sungai Lematang mengalir di tengah-tengah aliran-aliran sungai yang lain. Dilihat dari posisinya secara geografis, Sungai Lematang memiliki peran penting dalam jaringan komunikasi dan transportasi sungai di Daerah Batanghari Sembilan.

Sungai Lematang berhulu di dataran tinggi Pasemah kemudian mengalir melalui Muara Enim dan bertemu dengan Sungai Enim yang berhulu di daerah Sinar Bulan, Kabupaten Lahat. Aliran Sungai Lematang terus melewati Tanah Abang dan akhirnya bermuara di Sungai Musi, yaitu sungai antiklinal di bagian hilirnya. Di daerah dataran rendah Sungai Lematang memiliki banyak kelokan (meander) dan aliran sungai berpindah-pindah. Seperti sungai-sungai lainnya di Sumatera Selatan, Sungai Lematang mengalami pendangkalan oleh endapan-endapan material dari hulu. Perpindah aliran sungai dan pendangkalan sungai ini berpengaruh terhadap keberadaan situs-situs arkeologi yang ada di sepanjang aliran sungai dan bahkan telah mengakibatkan tergerus dan hilangnya situs.

Bukan hal yang kebetulan apabila di sepanjang aliran Sungai Lematang mengelompok situs-situs arkeologi dari hulu ke hilir. Hulu Sungai Lematang melewati wilayah-wilayah yang subur dan telah dihuni manusia sejak zaman prasejarah. Tinggalan megalitik di Lahat dan Pagaralam menunjukan bahwa awal tumbuhnya peradaban di wilayah Sumatera Selatan di mulai dari dataran tinggi Pasemah. Di daerah hilir di dataran rendah tersebar situs-situs arkeologi, yaitu Kompleks percandian Bumiayu, Situs Babat dan Situs Modong.

Sungai Lematang menghubungkan antara kebudayaan di pedalaman dan kebudayaan di hilir Sungai Musi, yaitu antara kebudayaan Pasemah dan pusat Sriwijaya di Palembang. Di antara kedua pusat kebudayaan itu terletak kawasan situs percandian Bumiayu, Situs Babat dan Situs Modong. Lokasi kawasan candi tersebut dalam ruang dan waktu sangat berpengaruh terhadap perkembangan kawasan dan karakteristik budaya kawasan tersebut. Sebagaimana diketahui kebudayaan megalitik Pasemah merupakan sebuah tradisi budaya yang tetap eksis pada masa Sriwijaya (VII-XIII Masehi) dan bahkan sampai masa-masa berikutnya. Pada masa Sriwijaya komuniti-komuniti di dataran tinggi Pasemah hidup dalam tradisi budaya megalitik, walaupun pengaruh kekuasaan Sriwijaya di Palembang khususnya dalam bidang politik perdagangan sampai ke daerah Pasemah.

Sementara itu hubungan antara pusat Sriwijaya di Palembang dengan kawasan situs Bumiayu merupakan hubungan yang struktural. Piere Yves Manguin dkk (2006) mempersoalkan apakah kawasan situs Bumiayu adalah pusat sistem politik yang otonom (mandala) yang berfungsi pada daerah yang mengelilingi Sriwijaya, seperti yang tersirat dalam prasasti-prasasti abad VII Masehi yang diterbitkan oleh penguasa Sriwijaya.

Pendekatan-Pendekatan

Tidak sedikit penelitian dan kajian tentang keberadaan kawasan percandian Bumiayu di daerah aliran Sungai Lematang dalam konteks lingkungan, sejarah dan budaya. Dalam konteks lingkungan dipaparkan kondisi geologis-geografis serta ditelaah adaptasi manusia dan faktor-faktor yang mempengaruhi pemilihan lokasi situs. Hal yang tidak dapat diabaikan adalah konteks sejarah untuk menempatkan situs candi Bumiayu dalam kaitannya dengan urut-urutan peristiwa pada masa Kerajaan Sriwijaya di Sumatera dan hubungan-hubungan sosial-ekonomi-politik dengan kerajaan-kerajaan lain. Konteks sejarah ini dapat bertalian dengan konteks budaya khususnya pengaruh kalangan elit (raja dan kaum pendeta) dalam menentukan teritori Kerajaan Sriwijaya, pemilihan lokasi bangunan suci dan agama yang melatarinya. Demikian pula campur tangan elit tetap dominan pada seni dan arsitektur bangunan dan arca, makna-makna simbolik yang terkandung dalam budaya materi dan aktivitas-aktivitas ritual bahkan aktivitas sosial-ekonomi sehari-hari di kawasan Bumiayu. Semua konteks tersebut harus ditafsirkan melalui artefak-artefak (dalam arti luas) yang ditemukan dalam konteks arkeologi, dimana tinggalan tersebut telah mengalami transformasi bentuk, ruang dan waktu.

Sebenarnya berbagai kajian itu merupakan upaya para arkeolog dan peneliti untuk merekonstruksi kehidupan manusia masa lalu di kawasan candi Bumiayu secara multidimensi. Namun keterbatasan data (terutama data arkeologi dan data tekstual) yang diperoleh selama ini menyebabkan peradaban kuna itu masih merupakan tabir yang baru sebagian tersibak.

Sungai Lematang yang punya peran besar terhadap tumbuhnya peradaban tersebut tampaknya belum mendapat perhatian yang besar oleh para arkeolog untuk dikaji lebih luas dan lebih dalam. Karakteristik sungai Lematang dan jaringannya dengan aliran-aliran sungai lainnya, serta penempatan situs pada lokasi-lokasi tertentu di daerah aliran sungai merupakan salah satu kunci untuk menafsirkan peran dan fungsi kawasan situs Bumiayu dalam skala makro.

Tulisan ini memfokuskan pada peranan Sungai Lematang sebagai jalur komunikasi pada masa Kerajaan Sriwijaya dalam tumbuh kembangnya peradaban di daerah alirannya. Kawasan situs Bumiayu merupakan situs masa Sriwijaya yang menjadi pokok bahasan kajian ini dengan menggunakan pendekatan keruangan dalam arkeologi (spatial archaeology) dan pendekatan wilayah. Bertitik tolak dari persebaran dan hubungan antarsitus serta kaitannya dengan lingkungan, maka situs arkeologi dan lingkungan sekitarnya dianggap sebagai tempat manusia masa lalu melakukan aktivitas-aktivitas misalnya aktivitas rumah tangga, subsistensi, ritual, dan aktivitas sosial lainnya. Dengan mengadopsi konsep-konsep geografi, situs merupakan ajang sosial (social space) masa lampau dimana terjadi proses-proses kehidupan (social processes) yang berlangsung secara teratur dan terus menerus, atau juga dapat secara tidak tetap. Proses-proses kehidupan tersebut menimbulkan pola-pola kehidupan (social patterns) tertentu (Bintarto 1995).

Identifikasi hubungan antarsitus pada gilirannya mengarah pada hubungan eksternal dari kegiatan sosial penduduk masa lalu pada suatu wilayah dengan penduduk di wilayah lain melalui berbagai jalur komunikasi. Dalam hal ini dipelajari hubungan antara kawasan situs Bumiayu dengan pusat kerajaan Sriwijaya dan hubungan dengan daerah pedalaman yang kaya dengan sumber-sumber alam.

Hubungan-hubungan eksternal semacam itu pada masa Sriwijaya telah ditelaah oleh beberapa ahli dalam bentuk model dan teori. Sebagai contoh diambil di sini adalah model tentang hubungan antara kadatuan Sriwijaya di pusat dengan mandala-mandala di sekitarnya dalam wilayah (bhumi) Sriwijaya oleh Hermann Kulke (1993) berdasarkan kajian terhadap Prasasti Telaga Batu (Sabokingking) abad VII Masehi. Kadatuan atau keraton sebagai tempat tinggal raja dilingkungi oleh sebuah wilayah yang disebut wanua yang berciri kekotaan (urban) dimana terdapat bangunan-bangunan suci dan bangunan-bangunan publik lainnya. Para saudagar (vaniyaga) dan nakhoda kapal (puhavam) dari luar melakukan hubungan langsung dengan pusat dalam kegiatan perniagaan dan komunikasi. Sementara itu mandala-mandala di luar pusat masing-masing dipimpin oleh seorang datu yang berasal dari kerabat kerajaan atau dari daerah setempat (local). Seperti halnya pusat, daerah yang dipimpin datu terdiri dari wanua dan daerah pedalaman (samaryyada). Pusat (kadatuan) mengendalikan dan mengawasi daerah (mandala) oleh “para staf kerajaan” (huluntuhan), termasuk menerima pajak dan penghasilan (dravya) dari daerah. Model yang disusun Hermann Kulke merupakan “model konsentris” yang menganggap ruang sebagai teritori dari persepsi politik elit (raja, datu) pada masa itu.

Dari segi ekonomi dan perdagangan dikembangkan model dendritik sebagai penyesuaian dari teori tempat pusat (central place teory). Beberapa ahli misalnya Bennet Bronson (1977), yang kemudian dikembangkan oleh John Miksic (1984) dan Piere Yves Manguin (2002) telah menerapkan model tersebut pada wilayah Sumatera yang memiliki jaringan sungai yang menghubungkan antara daerah pesisir dan daerah pedalaman melalui kajian arkeologi. Model dendritik digunakan untuk menjelaskan jenjang situs mulai dari situs yang dianggap sebagai tempat pusat tingkat pertama (di hilir dan muara sungai di pantai) dan kaitannya dengan situs-situs di tempat-tempat pusat yang lebih rendah tingkatannya yang terdapat pada anak dan cabang sungai di hulu dan di pertemuan sungai.

Kedua model struktur keruangan tersebut (model teritori konsentris dan model dendritik tempat pusat) tentunya menjadi bahan pertimbangan untuk menafsirkan peran Sungai Lematang sebagai jalur komunikasi yang mempengaruhi tumbuh kembangnya peradaban kuna di kawasan situs Bumiayu.

Kawasan Situs Bumiayu

Keberadaan situs percandian Bumiayu pertama kali dilaporkan oleh Tombrink pada tahun 1864, kemudian oleh Knapp 1902 dan tahun 1930an oleh Westenenk, Bosch dan Schnitger. Dalam laporan Knapp yang mengadakan perjalanan melalui Sungai Lematang ia sampai pada sebuah gundukan (tumulus) yang tingginya 1,75 meter yang mengandung bata. Menurut penduduk situs itu merupakan peninggalan Kerajaan Kadebong Undang yang wilayahnya mencakup Modong dan Babat. Di Situs Babat Schnitger mencatat adanya sebuah arca Brahma dan di Situs Modong terdapat sebuah lingga (Soeroso 1994).

Kawasan Situs Bumiayu, Situs Modong dan Babat menempati lembah Sungai Lematang. Secara administratif Kawasan situs Bumiayu terletak di Desa Bumiayu, Kecamatan Tanahabang, Kabupaten Muara Enim, Provinsi Sumatera Selatan, sedangkan Situs Modong berada di bagian hilirnya berjarak sekitar 17 km. Situs Modong dan Babat kini hanya menyisakan pecahan-pecahan bata kuno dan lokasi sekitar situs Modong telah menjadi lahan pemakaman penduduk. Sebagian besar sisa bangunan bata telah hilang karena pengikisan tebing sungai.

Proses fluvial yang terjadi di sepanjang aliran Lematang berupa pengikisan, pengendapan dan pengangkutan material oleh air. Pada saat banjir air meluap sampai ke dataran, air mengendapkan material sungai sehingga membentuk tanggul alam (natural levee), yaitu tempat yang lebih tinggi, sedangkan daerah yang lebih rendah dan cekung selalu tergenang air banjir sehingga membentuk rawa belakang (backswamp). Pengikisan terjadi pada tebing luar meander sungai, sedangkan di teras bagian dalam meander terjadi pengendapan. Akibat pengikisan tebing luar meander terjadi pemenggalan meander dan air sungai mengalir meneruskan saluran yang dibentuk oleh pemenggalan itu. Meander yang terpenggal itu pada kedua ujungnya tersumbat oleh endapan tanahliat karena kederasan aliran air berkurang (Tjia 1987). Penggalan meander yang sudah terpisah dari sungai asalnya dan masih berisi air disebut danau ladam (oxbow lake), sedangkan jika kering dikenali sebagai saluran penggalan meander (meander cut-off).

Beberapa bentuklahan (landform) yang terbentuk oleh proses fluvial tersebut merupakan tempat-tempat yang dipilih manusia untuk bermukim. Pada masa sekarang perkampungan penduduk Bumiayu dan sekitarnya menempati tanggul alam, teras meander, teras danau ladam (ox-bowe lake) dan dataran aluvial. Kompleks percandian Bumiayu menempati dataran aluvial di sisi barat Sungai Lematang dengan latar belakang Danau Candi yang merupakan rawa belakang. Pada bagian utara kawasan situs dijumpai lagi rawa belakang yang dikenal dengan nama Danau Lebar.

Pada sisi timur aliran Sungai Lematang terletak Danau Besar dan Danau kecil, keduanya merupakan ujung-ujung dari sebuah danau ladam yang terbentuk oleh penggalan meander. Penduduk menyebutnya Danau Keman. Pada teras bekas meander Sungai Lematang itu ditemukan artefak-artefak tembikar dan keramik kuna yang menunjukkan adanya permukiman kuna. Pada masa lalu lokasi tersebut menyatu dengan kawasan percandian sebelum dipisahkan oleh aliran Sungai Lematang. Dahulu dusun lama Bumiayu terletak di teras danau ladam itu, ketika aliran Sungai Lematang berpindah, penduduk pun ikut pindah di lokasi sekitar candi sekarang.

Pada saat ini proses pengikisan tebing luar meander Sungai Lematang semakin mengancam keberadaan situs candi. Pengukuran erosi meander pada tahun 1991-1992 memperlihatkan bahwa perpindahan Sungai Lematang akibat erosi ke samping atau erosi meander adalah lebih kurang 10 meter/tahun. Pada saat itu diperkirakan pada tahun 2013 candi yang terdekat dengan sungai, yaitu Candi 1 akan lenyap karena erosi meander (Intan 1994)[1]. Pada tahun 2006 - 2007 beberapa rumah penduduk telah lenyap karena lahannya runtuh ke sungai.

Gambar 3. Erosi di tebing luar meander sungai telah melenyapkan rumah-rumah penduduk di Desa Bumiayu.


Penggalian arkeologis pertama kali di Situs Bumiayu dilaksanakan oleh Pusat Penelitian Arkeologi Nasional pada tahun 1990. Gundukan tanah yang digali pertama adalah apa yang sekarang disebut Candi Bumiayu 1. Penggalian berikutnya pada gundukan-gundukan tanah lainnya sampai tahun 2007 telah memunculkan bangunan-bangunan dari bata, baik berupa candi maupun sisa pondasi bangunan. Tercatat ada empat bangunan candi, satu struktur bangunan dan menyisakan lima gundukan tanah yang belum dikupas. Bangunan-bangunan candi itu diketahui berasal dari agama Hindu yang bersifat tantris. Unsur-unsur agama Buddha terdapat di Candi 2, dengan ditemukannya
dua arca perunggu yang menggambarkan tokoh Budha dan Bodhisattwa Awalokiteswara dalam penggalian tahun 2001 yang dilaksanakan oleh tim dari Proyek Pembinaan Peninggalan Sejarah dan Purbakala dan Permuseuman Provinsi Sumatera Selatan.


Para ahli memperkirakan kronologi kawasan situs Bumiayu berasal dari abad IX – XIII Masehi berdasarkan analisis keramik (lihat tulisan Eka Asih Putrina), gaya arsitektur candi (lihat tulisan Tri Marhaeni) dan bentuk tulisan kuno (paleografi) pada selembar kerta emas yang ditemukan pada buli-buli di sekitar situs (Atmodjo 1993). Analisis C-14 dari sampel arang yang ditemukan dalam penggalian Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional (Puslitbang Arkenas) pada 2007, menghasilkan pertanggalan sekitar tahun 1110 – 1330 atau abad XII – XIV Masehi.

Kronologi kawasan situs candi tersebut mengarah pada hubungan antara Kerajaan Sriwijaya di Sumatera dan kerajaan-kerajaan di Jawa. Pada abad IX Masehi terjadi peperangan antara raja Balaputra dengan iparnya, Rakai Pikatan. Balaputra berhasil dikalahkan kemudian melarikan diri ke Suwarnadwipa dan menjadi raja di Sriwijaya (BB Utomo 1993). Satyawati Sulaiman (dalam BB Utomo 1993) beranggapan bahwa arca-arca yang bergaya seni Jawa Tengah atau bergaya Sailendra dibawa oleh keluarga Sailendra (Balaputra) yang menyingkir ke Sumatera pada pertengahan abad IX Masehi.

Pemetaan awal pada situs ini pada tahun 1991 oleh Pusat Penelitian Arkeologi Nasional menampakkan adanya gundukan-gundukan tanah yang dikelilingi oleh sungai-sungai kecil, yaitu Sungai Piabung, Sungai Tebat Jambu, Sungai Tebat Tholib, Sungai Tebat Siku dan Sungai Tebat Panjang. Sungai-sungai tersebut saling berhubungan sebagai pembatas lahan candi dan alirannya kemudian masuk ke Sungai Batanghari Siku yang bermuara ke Sungai Lematang.

Lahan percandian seluas kurang lebih 75 ha yang dikelilingi sungai-sungai merupakan lokasi yang dipilih para elit (Guru, silpin) untuk mendirikan bangunan suci. Menurut pandangan agama Hindu, suatu tempat suci adalah suci karena potensinya, yaitu tanahnya, sedangkan bangunan menduduki tempat nomor dua (Soekmono 1974; Ferdinandus 1993). Hal ini mengacu pada konsep ksetra dan tirtha dalam persyaratan mendirikan bangunan suci di India. Ksetra adalah tempat-tempat tinggi (gunung, bukit) yang dianggap suci, sedangkan tirtha atau air yang dianggap suci, sehingga lokasi yang dianggap suci untuk mendirikan bangunan candi adalah lokasi yang terletak dekat air atau dikelilingi air.

Di luar area percandian yang dikelilingi sungai yang membentuk parit keliling, ditemukan situs-situs permukiman di sepanjang Sungai Lematang. Tidak tertutup kemungkinan di sepanjang tepi aliran Lematang dari percandian Bumiayu sampai ke situs Modong dan Babat pernah dimukimi oleh penduduk masa lalu dalam beberapa kelompok, namun jejak-jejaknya sebagian telah terhapus oleh erosi tebing meander dan berpindah-pindahnya aliran Sungai Lematang. Sisa-sisa hunian juga ditemukan di dalam area percandian (di dalam parit keliling) melalui penggalian-penggalian arkeologis yang dilaksanakan oleh Balai Arkeologi Palembang dan Puslitbang Arkenas.

Struktur Internal dan Hubungan Eksternal

Serangkaian penelitian arkeologi menggambarkan adanya kelompok-kelompok permukiman penduduk pada masa berfungsinya candi-candi di Bumiayu, yaitu permukiman pada area candi dan permukiman di sepanjang tepi aliran Sungai Lematang. Bukti-bukti arkeologis tersebut menggiring kita kepada skenario mengenai kehidupan kelompok-kelompok sosial di kawasan Bumiayu. Dapat dibayangkan sedikitnya ada dua kelompok sosial yang mendukung tumbuhnya peradaban di wilayah Bumiayu, yaitu kelompok elit dan kelompok penghasil bahan makanan dan pengumpul bahan baku.

Kelompok elit menempati lokasi pusat (central place), mungkin pada area percandian atau dekat area percandian. Kelompok ini mengatur dan mengelola kegiatan-kegiatan ritual keagamaan, memelihara candi dan bangunan-bangunan serta lainnya di area percandian. Kelompok ini terdiri dari para pendeta dan pembantu-pembantu pendeta yang bertugas menyiapkan upacara serta kelengkapannya dan mengurus bangunan suci. Kelompok elit lainnya adalah kalangan birokrasi yang mengatur daerah Bumiayu secara otonom. Kelompok ini dipimpin oleh seorang yang berkuasa di wilayahnya yang mengatur segala urusan untuk kepentingan status dan kekuasaan mereka. Mengacu pada model teritori Kulke (1993) pimpinan kelompok elit itu semacam datu yang membawahi sebuah mandala. Datu, keluarga dan pembantu-pembantunya menempati lokasi pusat (central place) yang dilingkungi oleh hunian kaum elit lainnya yang terdiri dari kalangan birokrasi, kaum pendeta dan para pembantu mereka.

Kelompok kedua, yaitu kelompok penghasil bahan makanan dan pengumpul bahan baku lainnya, merupakan kelompok yang bertumpu pada kegiatan ekonomi dan subsistensi. Kelompok ini terdiri dari para penghasil bahan makanan (pertanian dan perikanan) pengumpul dan peramu hasil hutan dan tambang. Kelompok inilah yang mendiami tempat-tempat di sepanjang tepi Sungai Lematang. Sungai tersebut merupakan akses menuju hilir (pusat Sriwijaya) dan daerah pedalaman (samaryyada) yang ada di sekitar kawasan Bumiayu sampai hulu Lematang di dataran tinggi Pasemah untuk memperoleh bahan baku lainnya yang dibutuhkan.

Skenario tentang kehidupan sosial-ekonomi masyarakat di wilayah Bumiayu mengacu pada tipe masyarakat “rank redistribution” yang memiliki ciri-ciri: bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri dan subsistensi. Pada masyarakat semacam itu muncul kelompok elit yang memperlihatkan status mereka yang lebih tinggi antara lain melalui bidang keagamaan dengan bangunan-bangunan sucinya. Dengan memperlihatkan status dan kekuasaan, mereka menganggap dirinya layak menerima upeti yang akan membebaskan mereka dari keharusan bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup sendiri. Untuk membangun candi misalnya dibutuhkan tenaga arsitek demikian pula untuk kelengkapan upacara diperlukan jasa pembantu pendeta. Hal itu menumbuhkan kelas pekerja baru yang bukan subsistensi (non-food producer) yang pada gilirannya masuk dalam kelompok elit pula. Kelompok elit ini menempatkan huniannya terpisah dari kelompok lain dan biasanya menempati lokasi pusat (central place) dimana masyarakat datang membawa upeti yang dibutuhkan (Johnston 1984).

Kembali kepada masyarakat masa lampau Bumiayu. Kelompok elit mengelola surplus produksi bahan makanan dan bahan baku lainnya yang selanjutnya menumbuhkan kegiatan pertukaran (exchange) atau perdagangan. Kegiatan tersebut mendatangkan kelompok pedagang (vaniyaga) dari luar yang mengorganisasikan transaksi komoditi di wilayah Bumiayu untuk didistribusikan ke Palembang. Berkaitan dengan hal itu wilayah Bumiayu diduga kuat menjadi tempat penyimpanan komoditi (entrepot) bahan makanan dan bahan baku lainnya. Hal itu dapat terjadi dengan adanya pelabuhan di Sungai Lematang sebagai jalur distribusi komoditi hulu-hilir.

Posisi Sungai Lematang sangat strategis karena memiliki akses langsung ke pusat-pusat penghasil produk di dataran tinggi Pasemah dan sekitarnya. Dataran tinggi ini memasok barang-barang komoditi yang sangat dibutuhkan seperti hasil pertanian, komoditi-komoditi hasil hutan, emas dan pertambangan bijih besi. Oleh para saudagar komoditi-komoditi tersebut selanjutnya didistribusikan ke tempat pusat utama di Palembang melalui Sungai Lematang sampai ke hilir Musi.

Peran kaum pedagang (vaniyaga) sangat besar dalam pengembangan ekonomi Kerajaan Sriwijaya sejak abad VII Masehi, seperti yang disebutkan dalam Prasasti Telaga Batu dan data tekstual lainnya (Cina, Arab). Sebenarnya yang ingin dikemukakan sehubungan dengan kelompok pedagang adalah kehidupan sosial penduduk masa Sriwijaya yang berciri “rank redistribution” terutama di daerah hulu mengalami proses perubahan dalam pengelolaan surplus bahan makanan dan bahan baku lainnya dengan kedatangan para pedagang dari luar. Pada gilirannya kegiatan perdagangan mempengaruhi organisasi sosial dari “rank redistribution” ke “merkantilisme” (merchantilism).

Pada awal mula merkantil pedagang dalam jumlah kecil bepergian dari satu tempat ke tempat lain membeli surplus produksi dan menjual produk lain sebagai gantinya. Frekuensi kunjungan mereka ke setiap tempat akan tergantung pada volume produksi di sana dan sifat produk (misalnya bulanan, tahunan). Seiring dengan peningkatan produksi yang melibatkan jumlah orang dalam sistem produksi yang dikelola kelompok elit, menimbulkan permintaan (demand) yang lebih besar bagi jasa merkantil. Terlebih lagi dengan semakin terspesialisasi penghasil dalam kegiatan mereka dan juga semakin tergantung pada penghasil lain dalam berbagai produk yang dibutuhkan, maka mereka perlu lebih banyak membeli kebutuhan hidup mereka. Para pedagang menyiapkan hal ini dengan mengumpulkan berbagai produk terlebih dulu di tempat tertentu dan waktu tertentu. Kumpulan para pedagang ini merupakan tempat-tempat terartikulasinya perdagangan (trade articulation point). Para pedagang dan penghasil produk bertemu pada waktu tertentu di tempat-tempat itu untuk kegiatan jual-beli atau pasar (Johnston 1984).

Dalam hal ini wilayah Bumiayu merupakan pasar berbagai produk hasil bumi dan bahan baku lainnya dimana para pedagang dari tempat pusat tingkat pertama atau dari pusat Kerajaan Sriwijaya datang untuk melakukan transaksi. Kegiatan perdagangan ini mendatangkan keuntungan bagi kelompok elit lokal. Kelompok ini menikmati pendapatan dari upeti dan keuntungan dari perdagangan untuk kepentingan status sosial mereka dan kekuasaan. Sebagian dari pendapatan digunakan untuk pemeliharaan bangunan-bangunan candi dan kelangsungan hidup para pengelolanya, termasuk membeli komoditi impor antara lain keramik kualitas tinggi untuk memperlihatkan status mereka (lihat tulisan Eka Asih). Sebagian lagi dari keuntungan mungkin disetorkan ke pusat Kerajaan Sriwijaya sebagai pajak atau penghasilan (dravya), dimana pusat mengendalikan dan mengawasi tempat-tempat pusat (central places) yang ada di daerah.

Berdasarkan data arkeologi, keramik yang berasal dari abad X – XIII Masehi merupakan keramik yang paling banyak ditemukan di kawasan situs Bumiayu (lihat tulisan Sukowati dan Eka Asih Putrina). Hal ini menunjukkan bahwa perkembangan permukiman penduduk termasuk bangunan-bangunan suci terjadi pada masa-masa tersebut. Tumbuh dan berkembangnya mandala Bumiayu sebagai tempat pusat (central place) terjadi sekitar dua abad setelah wanua Sriwijaya dibangun di Palembang. Mandala Bumiayu tetap eksis selama kurang lebih empat abad. Hampir tidak ada tempat pusat lainnya di wilayah Sumatera Selatan (kecuali pusat Sriwijaya di Palembang) yang mengimbangi kawasan Bumiayu, berdasarkan besaran dan kompleksitas situs serta banyaknya bangunan-bangunan suci.

Pada abad XI – XIII Masehi Bumiayu sebagai tempat pusat (central place) tingkat kedua tampaknya menyaingi pusat Sriwijaya di Palembang, apalagi ketika Kerajaan Sriwijaya mengalami penyerbuan pasukan Rajendra Cola dari India pada tahun 1025 dan pindahnya ibukota Sriwijaya ke Jambi. Berita Cina menyebutkan bahwa pada 1079 dan 1082 ibukota Sriwijaya pindah dari Palembang ke Jambi dan utusan yang dikirim ke Cina pada tahun 1079 dan 1088 berasal dari Zanbei (Jambi) (Ninie Susanti 2006). Akibat peristiwa-peristiwa politik tersebut, kontrol pusat terhadap mandala Bumiayu berkurang dan semakin longgar. Hal ini memberikan keleluasaan bagi kelompok elit lokal Bumiayu untuk mempertahankan bahkan mengembangkan kekuasaannya. Wilayah Bumiayu menjadi tempat pusat terpenting sebagai entrepot produk pertanian dan bahan baku lainnya yang diperoleh dari daerah pedalaman Kerajaan Sriwijaya.

Dalam bidang keagamaan kelompok elit Bumiayu mengadakan kontak langsung dengan para penguasa dan kalangan pendeta dari luar pusat Sriwijaya. Kontak budaya tersebut berkaitan dengan pendalaman ajaran-ajaran dan aliran-aliran agama Hindu (antara lain Tantis Siwa) dengan memadukan unsur-unsur budaya setempat dengan unsur-unsur budaya luar. Hal ini tercermin dari bentuk-bentuk arsitektur candi dan ikonografi arca-arca dari abad XI-XIII Masehi yang ditemukan di kawasan situs Bumiayu (lihat tulisan Tri Marhaeni dan Sondang S. Siregar).

Uraian-uraian tersebut di atas merupakan sebuah skenario untuk menyingkap tabir peradaban di daerah aliran Sungai Lematang. Tentunya skenario ini perlu didukung oleh penelitian-penelitian lebih lanjut yang berkesinambungan.


DAFTAR PUSTAKA

Atmodjo, MM Sukarto, 1993, Tirthayatra, dalam Sriwijaya dalam Perspektif Arkeologi dan Sejarah (ed. Mindra F). Palembang: Pemerintah Daerah Tingkat I Sumatera Selatan.

Bambang Budi Utomo, 1993, Menyingkap Lumpur Lematang, dalam Sriwijaya dalam Perspektif Arkeologi dan Sejarah (ed. Mindra F). Palembang: Pemerintah Daerah Tingkat I Sumatera Selatan.

Bintarto, H.R., 1995, “Geografi Manusia”. Yogyakarta: Fakultas Geografi Univ. Gadjah Mada.

Ferdinandus, Peter, 1993, Peninggalan Arsitektural dari Situs Bumi Ayu Sumatera Selatan, dalam Amerta Berkala Arkeologi 13. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional.

Intan, Fadhlan S., 1994, Candi Tanah Abang di Antara Kemegahan dan Ancaman Kepunahannya: Suatu Sumbangan Pemikiran, dalam Amerta Berkala Arkeologi 14. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional.

Johnston, R.J., 1984, City and Society An Outline for Urban Geography. London: Hutchinson University Library.

Kulke,Hermann, 1993, “Kadatuan Srivijaya”- Empire or Kraton of Srivijaya? A Reassesment of the Epigraphical Evidence, dalam Bulletin de l’Ecole Francaise d’Extreme-Orient. Paris: EFEO.

Manguin, Piere-Yves, 2002, “The Amorphous nature of Coastal Polities in Insular Southeast Asia: Restricted Centres, Extended Peripheries”. Moussons. dalam The Early Historical Maritime States

Manguin, Piere-Yves, Soeroso, Muriel Charras, 2006, “Bab 3 – Daerah Dataran Rendah dan Daerah Pesisir: Periode Klasik” dalam Menyelusuri Sungai, Merunut Waktu: Penelitian Arkeologi di Sumatera Selatan. Jakarta: Puslibang Arkeologi Nasional.

Ninie Susanti, Y.,2006, Sejarah Kerajaan Melayu Kuno: Keterkaitannya dengan Kerajaan-Kerajaan Lain di Nusantara, dalam Seminar Melayu Kuno “Titik Temu” Jejak Peradaban di Tepi Batanghari. Jambi 16 Desember 2006: Bappeda Provinsi.

Soekmono, 1974, Candi, Fungsi dan Pengertiannya. Disertasi Universitas Indonesia.

Soeroso, M.P., 1994, South Sumatra in the 12th – 13th Century AD”., dalam Southeast Asian Archaeology 1994 Proceedings of the 5th International Conference of the European Association of Southeast Asian Archaelogist. Paris, 24th-28th October 1994.

Tjia, H.D., 1987, Geomorfologi. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka Kementerian Pendidikan Malaysia.



[1] Beberapa tahun setelah pengukuran itu Bupati Muara Enim memerintahkan untuk membuat saluran untuk mengurangi aliran Sungai Lematang. Mungkin karena penempatan sudetan itu kurang tepat, erosi masih tetap terjadi sampai sekarang.

SEBIDUK DI SUNGAI MUSI

Akhirnya warung kopi yang ditunggu datang juga. Warung itu perlahan menyeberangi Sungai Musi menuju ilir. Sampai di depan Benteng Kuto Besak, warung ditambatkan di antara perahu-perahu ketek yang sedang menunggu penumpang.

“Maaf saya baru mengantar rombongan Bapak Gubernur dan Walikota meninjau rumah-rumah rakit”, kata Harun (47), pengelola warung kopi terapung. Sore itu Harun terlambat satu jam. Biasanya setiap habis ashar perahu yang tampil beda dari perahu-perahu lainnya itu merapat di dermaga Benteng Kuto Besak (BKB), Palembang.

Rais (17), putra Harun, dengan cekatan menyodorkan tangga kepada pelanggan yang lama menunggu untuk naik ke warung kopi. Ibunya sedang sibuk menggoreng pisang di dalam perahu. Empek-empek, bakwan, tahu goreng, tekwan, pastel, pisang goreng merupakan menu tetap tiap sore di warung itu. Makanannya bersih, rasanya lumayan dan harga murah meriah.

Warung kopi terapung yang dikelola Harun, merupakan satu dari enam warung perahu yang dapat dijumpai di tepi Musi di Kota Palembang. Empat warung nasi terapung beroperasi di Pasar 16 Ilir, sedangkan dua warung kopi terapung mangkal di depan BKB. Selain keenam warung bergoyang itu, terdapat pula rumah-rumah rakit buatan baru di Seberang Ulu untuk pengunjung yang memiliki dompet lebih tebal menikmati masakan khas Palembang sambil karoke sampai larut malam. Rumah makan terapung itu namanya Warung Legenda dikelola oleh Pemerintah Kota Palembang.



Situs multi-komponen

Sejak dicanangkannya Palembang sebagai Kota Wisata Sungai oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tanggal 27 September 2005, Sungai Musi digarap serius. Jembatan Ampera yang diresmikan Presiden pertama RI, Ir Soekarno pada tahun 1964 itu kini tampak indah dengan lampu warna-warni di malam hari. Jembatan unik yang panjangnya 1777 meter itu memang telah jadi tetenger (landmark) Kota Palembang.

Pertama kali mengunjungi Palembang lima belas tahun yang lalu, di depan BKB dan Museum Sultan Mahmud Badaruddin II merupakan pasar buah yang kumuh dan tidak aman. Kini tempat itu dijadikan pelataran yang sering digunakan untuk ajang kesenian, rekreasi, pendidikan, panggung hiburan, mancing dan tempat dua sejoli memadu kasih diiringi lagu-lagu cinta yang dilantunkan para pengamen remaja penuh gaya.

Benteng Kuto Besak dan Museum SMB II telah dipugar dan dipercantik untuk obyek wisata dan pendidikan. Pada awalnya kedua bangunan ini bagian dari kompleks kraton Kesultanan Palembang Darussalam yang dikelilingi oleh kuta atau benteng. Pada masa itu ada dua benteng yang menghadap ke Sungai Musi: Kuta Lama alias Kuta Tengkuruk dan Kuta Besak.

Kuta Lama didirikan oleh Sultan Mahmud Badaruddin I dan Kuta Besak dibangun semasa Sultan Mahmud Bahauddin yang memerintah tahun 1776-1803. Belanda menghancurkan Kuta Lama pada tahun 1823 dan lahannya dijadikan rumah Komisaris Belanda yang dihuni oleh Komisaris IJ van Sevenhoven pada tahun 1825 (Djohan Hanafiah, 1988). Sekarang rumah komisaris itu jadi Museum SMB II.

Penggalian arkeologis di halaman Museum SMB II pada tahun 1990 memperlihatkan lapisan-lapisan budaya dari masa Sriwijaya dan masa Kesultanan Palembang sebelum dan sesudah benteng dihancurkan Belanda. Lapisan budaya Sriwijaya berada di bawah pada kedalaman sekitar lima meter dari permukaan tanah. Pada lapisan ini ditemukan sejumlah pecahan tembikar dan keramik Cina dari masa Dinasti Tang (abad ke-8 – 10 Masehi).

Para arkeolog meyakini daerah sepanjang Sungai Musi di Kota Palembang tersebar situs multi komponen (multi component site) yaitu situs yang menjadi tempat aktivitas manusia dari berbagai masa dan budaya. Persebarannya mulai dari Karanganyar di bagian barat sampai Sabokingking di bagian timur kota.

Di luar tapak kawasan Keraton, masih dapat dijumpai puluhan bangunan kuna di sepanjang Sungai Musi. Bangunan-bangunan tempat tinggal, makam, kelenteng, gereja dan bangunan publik lainnya. Berbagai bentuk bangunan tempat tinggal macam bangunan indis, bangunan rumah panggung dan bangunan beratap limas khas Palembang yang berumur ratusan tahun terdapat di sekitar Pasar 16 Ilir, Kampung Kapiten, Kuto Batu, Almunawar dan beberapa tempat lainnya.

Namun rumah rakit lama yang ada di Palembang sekarang tinggal hitungan jari tangan. Bentuk rumah dari zaman Sriwijaya ini biasanya digunakan sebagai tempat tinggal, gudang dan warung. Pada masa Kesultanan Palembang Darussalam, masyarakat dari etnis China tinggal di rumah-rumah rakit.

Sebiduk

Segala kekayaan budaya di sepanjang Sungai Musi memang sangat disayangkan bila dibiarkan tak terurus apalagi tergusur. Berbagai pemangku kepentingan dalam pengelolaan warisan budaya di Kota Palembang telah berbagi pengalaman dan ide dalam lokakarya yang bertajuk “ Sebiduk di Sungai Musi” diselenggarakan oleh Balai Arkeologi Palembang bulan Mei 2006. Judul lagu yang pernah populer tahun enampuluhan itu dijadikan tema lokakarya karena dianggap pas. Sebiduk dalam mengelola warisan budaya di Palembang adalah satu visi, misi dan tujuan yang sama, yaitu melestarikan dan memanfaatkan warisan budaya untuk kepentingan ilmu pengetahuan, sejarah, pendidikan dan juga pariwisata.

Tak dapat dipungkiri, mengelola warisan budaya di kota besar yang terus berkembang bukanlah hal yang mudah. Berbagai konflik kepentingan yang terus terjadi mengharuskan semua pemangku kepentingan memahami manajemen perubahan, yaitu pembangunan tanpa mengorbankan warisan budaya.

Para peserta lokakarya sepakat bahwa perencanaan pembangunan harus berwawasan pelestarian dan berkelanjutan yang mampu mengembangkan dan meningkatkan vitalitas, serta menghidupkan kembali nilai-nilai luhur yang telah pudar. Untuk itu diperlukan kebijakan pengelolaan warisan budaya secara profesional, komprehensif, terpadu, dan berkelanjutan serta mampu mengakomodasi berbagai kepentingan, agar warisan budaya terlestarikan.

Masyarakat Cinta Musi

Sore berikutnya warung kopi terapung penuh sesak. Maklum saja hujan turun dengan deras, banyak orang berteduh sambil makan dan minum. Tiba-tiba sebuah perahu ketek menyeruak mencari posisi berlabuh di sebelah warung. Rais dan dua wisatawan asing basah kuyup melompat dari perahu ketek ke warung.

Selama tiga jam Rais mengantar turis bule itu berwisata sepanjang Sungai Musi dengan perahu ketek. Wajah turis tampak puas ketika memberi bonus dua ratus ribu rupiah kepada Rais atas pelayanannya, lalu pergi menuju mobil yang telah menunggu di halaman Museum SMB II.

Tak lama kemudian seorang pemuda datang minta uang kepada Harun. “Yah...., kebiasaan lama belum juga bisa dihilangkan”, ujar Harun setelah pemuda itu pergi mengantongi beberapa ribu rupiah. Lebih lanjut lelaki kurus yang menjadi anggota Masyarakat Cinta Musi itu menjelaskan bahwa kebiasaan mengeroyok, membuntuti dan memaksa wisatawan yang hendak mencarter perahu, mengakibatkan turunnya minat wisatawan untuk berwisata sungai. Bukan itu saja, calo-calo yang main paksa itu dapat merusak citra wisata sungai Musi di Palembang.

Tampaknya Harun dan para pengemudi perahu ketek di depan BKB ingin “Sebiduk di Sungai Musi” menurut cara pandang mereka sendiri.

SEPUCUK NIPAH SERUMPUN NIBUNG

Tiba di Muara Sabak, perahu-perahu ketek sudah menunggu mengantar penumpang menyeberang ke Delta Batanghari. Delta ini terbentuk oleh aliran Sungai Nyiur dan Berbak, cabang Sungai Batanghari. Daerah rawa pasang surut dan bergambut itu berulang kali disambangi tim arkeologi untuk “mengais” artefak-artefak peradaban kuno yang tersisa, letaknya di Kecamatan Muara Sabak, Kabupaten Tanjung Jabung Timur, Provinsi Jambi,

Delta Batanghari dialiri oleh sungai-sungai kecil, antara lain Sungai Pemusiran, Sungai Simbur Naik, Sungai Siau dan Lambur. Beberapa bagian tubuh sungai kini tinggal alur, demikian penduduk menyebut aliran sungai yang telah mati. Justru pada alur-alur itu para arkeolog banyak menemukan situs arkeologi.

Junus Satrio Atmodjo, arkeolog yang meneliti situs-situs arkeologi di Delta Batanghari sejak tahun 1990-an mengamati kedekatan jarak antarsitus yang mencerminkan kedekatan hubungan antarpermukiman kuno itu. Penemuan artefak-artefak macam keramik asing, kaca kuno dan tembikar dalam jumlah besar pada situs-situs arkeologi menggambarkan padatnya penduduk yang tinggal di daerah lahan basah itu pada abad X-XIII Masehi. Sisa-sisa permukiman kuno yang padat mengelompok di kawasan Lambur (Lambur Luar dan Lambur Dalam) dan Pemusiran Dalam (Sitihawa).

Gambar . Pelabuhan Muara Sabak di Delta Batanghari.


Para arkeolog juga menemukan batang-batang pohon nibung (oncosperma filamentosa) di antara sebaran artefak . Bagian bawah batang nibung tampak dipangkas runcing. Ternyata batang-batang nibung telah dimanfaatkan masyarakat kuno untuk tiang-tiang bangunan rumah panggung di daerah rawa pasang surut.

Rumah panggung

Batang-batang nibung untuk bangunan rumah panggung kuno tidak hanya terdapat di Delta Batanghari saja. Para arkeolog mencatat sisa-sisa bangunan kuno bertiang nibung terdapat juga di Kecamatan Nipah Panjang, Kabupaten Tanjung Jabung Timur, sampai ke wilayah pantai timur Sumatera Selatan. Di Kawasan Situs Karangagung Tengah, Kecamatan Lalan, Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatera Selatan, batang nibung digunakan bersama dengan jenis kayu keras, semacam meranti dan medang. Batang-batang nibung ini diperkirakan berfungsi sebagai tiang penyangga lantai beranda rumah, kerangka tangga masuk rumah atau tiang-tiang penyangga jalan atau jembatan (jerambah) antarrumah. Situs Karangagung Tengah dikenal sebagai situs permukiman dari abad IV Masehi, sebelum Sriwijaya muncul di Sumatra. Sisa-sisa hunian kuno itu juga mengelompok di sepanjang alur atau bekas aliran sungai kecil.


Penggunaan batang nibung dijumpai pula di kawasan Air Sugihan (Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan). Pada tahun 2007 Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional melaksanakan penggalian arkeologi di Kertamukti1 Air Sugihan pada lahan bekas sungai kecil dan rawa yang terletak di daerah permukiman transmigrasi. Dalam ekskavasi ditemukan sisa-sisa bangunan rumah panggung bertiang nibung. Selain itu ditemukan pula tali ijuk (Arrenga pinnata), pecahan-pecahan tembikar dan keramik Cina, manik-manik, sudip dari kayu dan fosil kayu. Di kawasan Air Sugihan keramik dari Cina yang paling banyak ditemukan berasal dari abad IX-X Masehi pada masa Dinasti Tang.

Pada masa sekarang, penduduk yang tinggal di daerah rawa pasang surut yang relatif dekat dengan pantai masih banyak yang menempati rumah panggung bertiang nibung. Jenis tumbuhan ini biasanya terdapat pada hutan mangrove. Selain nibung, lingkungan semacam itu juga menyediakan nipah yang berlimpah. Daun nipah digunakan untuk atap rumah dan atap perahu kajang.

Pada daerah rawa lebak yang letaknya jauh dari pantai, rumah-rumah panggung tidak menggunakan batang nibung dan atap nipah. Pengamatan di hulu Sungai Lalan di wilayah Kecamatan Bayung Lincir, Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatera Selatan, seperti Desa Bakung, Muara Merang, Muara Medak, Sentang, Pejudian, Bayung Lencir, Mangsang, Muara Bahar, Bayat Ilir, Simpang Bayat dan Pagardesa, rumah-rumah panggung seluruhnya menggunakan jenis-jenis kayu keras, seperti tembesu, petaling, dan medang. Daun nipah untuk atap rumah diganti dengan daun serdang.

Perahu

Setelah beberapa hari melacak alur-alur di Delta Batanghari, akhirnya tim arkeologi menelusuri Sungai Simburnaik dengan perahu ketek sampai ke pantai. Perahu memang alat transportasi utama di daerah lahan basah sejak dulu. Papan-papan perahu kuno telah ditemukan di Lambur Luar Parit 6 beberapa tahun yang lalu.

Papan-papan perahu kuno ini memiliki lubang-lubang yang terdapat di bagian permukaan dan sisi papan serta lubang-lubang pada tonjolan segi empat yang menembus lubang di sisi papan. Inilah teknik rancang bangun perahu dengan teknik papan ikat dan kupingan pengikat (sewn plank and lushed plug technique), tradisi Asia Tenggara. Tonjolan segi empat atau tambuku digunakan untuk mengikat papan-papan dan mengikat papan dengan gading-gading dengan menggunakan tali ijuk (Arrenga pinnata). Tali ijuk dimasukan pada lubang di tambuku. Biasanya penggunaan pasak kayu untuk memperkuat ikatan tali ijuk.

Teknologi perahu semacam itu umum ditemukan di daerah lahan basah pantai timur Sumatra. Di wilayah Sumatera Selatan, bangkai perahu ditemukan di Situs Samirejo, Mariana (Kabupaten Banyuasin), Situs Kolam Pinisi (Palembang) dan di Situs Tulung Selapan (Kabupaten Ogan Komering Ilir). Papan-papan perahu dari Situs Samirejo dan Situs Kolam Pinisi telah dianalisis laboratorium dengan menggunakan metode carbon dating C14. Sepotong papan dari Situs Kolam Pinisi menghasilkan pertanggalan kalibrasi antara 434 dan 631 Masehi, sedangkan papan dari Situs Samirejo berasal dari masa antara 610 dan 775 Masehi (Lucas Partanda Koestoro, 1993).

Selama menelusuri sungai yang berliku, masih tampak pohon-pohon nipah yang tumbuh bergerombol. Sebaliknya, tak sebatang nibung pun yang kelihatan. Sulitnya mencari pohon nibung tidak hanya di Delta Batanghari saja. Di daerah rawa pasang surut Sumatera Selatan kini pohon-pohon nibung menjadi pemandangan yang langka.

Kondisi lingkungan daerah lahan basah di pantai timur Sumatra memang telah lama rusak. Rawa pasang surut sebagian besar telah direklamasi untuk permukiman dan perkebunan. Hutan-hutan dataran rendah hampir tidak tersisa lagi akibat banyak orang berburu kayu.

Seribu tahun lalu pantai timur Sumatra menjadi pusat permukiman dan perniagaan. Terkenal sampai ke negeri Cina, penduduknya hidup sejahtera melalui perniagaan hasil hutan, seperti damar dan kemenyan. Rumah dan perahu pada masa itu mencerminkan keselarasan manusia dan alam.

Sepucuk Nipah Serumpun Nibung. Demikian ungkapan jatidiri Kabupaten Tanjung Jabung Timur di Jambi. Ungkapan itu bisa juga dijadikan inspirasi guna melestarikan lingkungan lahan basah beserta warisan budaya yang ada di dalamnya.

JEJAK BAHARI KOTA KAPUR

Pagi itu tepi perairan Selat Bangka beriak tanda tak dalam. Perahu perlahan mendekati pantai barat Pulau Bangka melewati gugusan Pulau Hantu, Pulau Medang dan Pulau Kecil. Gugusan pulau itu seolah melindungi sebuah tempat kuno yang sedang dituju penumpang perahu. Semakin dekat ke pantai semakin jelas sosok sebuah bukit yang menonjol di balik hutan mangrove yang memagari pantai. Penduduk menyebutnya Bukit Besar.

Tiga arkeolog yang menumpang perahu beranggapan kenampakan Bukit Besar dari laut sebagai penunjuk arah lokasi situs Sriwijaya yang terletak di dataran kaki bukit itu. Mereka membayangkan ketika para pelaut zaman dulu menjadikan bukit itu sebagai pedoman memasuki mulut sebuah sungai menuju tempat kedatuan Sriwijaya di pantai barat Pulau Bangka.

Memasuki mulut Sungai Mendo, deru mesin perahu memecah kesunyian hutan mangrove yang terhampar di sepanjang sungai. Sekitar lima belas menit menelusuri sungai tibalah di dermaga Desa Kota Kapur, Kecamatan Mendo Barat, Kabupaten Bangka, Provinsi Kepulauan Bangka-Belitung. Napak tilas pun segera berakhir ketika kaki kembali menginjak tanah Situs Kota Kapur.

Bangkai perahu kuno

Telah sepuluh hari tim melakukan penelitian arkeologi Situs Kota Kapur yang terletak di tepi Sungai Mendo. Situs ini berada pada dataran dari perbukitan yang dikelilingi rawa dan dibentengi oleh gundukan tanah yang memanjang di bagian barat, timur dan selatan situs. Dataran yang landai dan bergelombang itu terkenal sebagai tempat ditemukannya prasasti batu berbentuk tugu pada tahun 1892. Prasasti berhuruf Pallawa dan berbahasa Melayu Kuna yang berangka tahun Saka 608 (686 Masehi) itu, disebut Prasasti Kota Kapur, merupakan prasasti Sriwijaya yang pertama kali ditemukan. Pertama kali pula kata Sriwijaya berhasil dibaca para ahli di prasasti itu.

Hasil penelitian kali ini menambah nilai penting Situs Kota Kapur. Sejak diteliti tahun 1993 oleh Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, baru sekarang tim arkeologi beruntung menemukan bangkai perahu kuno pada tanggal 25 September 2007. Temuan inilah yang membuat tim gabungan dari Balai Arkeologi Palembang, Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Jambi dan Dinas Pariwisata Seni dan Budaya Kabupaten Bangka melakukan napak tilas dari Selat Bangka ke situs Kota Kapur dengan perahu.

Ada dua lokasi temuan sisa-sisa perahu yang terbuat dari jenis kayu besi itu. Penemuan pertama berada pada alur Sungai Kupang yang membelah kawasan situs dan bermuara di Sungai Mendo. Kini sungai itu telah menjadi rawa. Pada rawa yang telah menjadi kolong, kolam bekas penambangan timah inkonvensional (TI) oleh penduduk pada tahun 1998-2000, berhasil diangkat sekeping papan perahu yang memiliki ukuran panjang 134 centimeter, lebar 35 centimeter, dan tebal 4 centimeter.

Papan berlubang-lubang dengan diameter lubang rata-rata 3 centimeter. Pada permukaan papan terdapat 17 lubang dan bagian tepi (tebal) papan ada 20 lubang. Dua tonjolan segi empat yang dipahat di permukaan papan memiliki lubang-lubang yang tembus dengan lubang di tepi papan. ”Masih banyak papan-papan kayu semacam itu yang masih terbenam dalam air”, ujar Mahadil (60), mantan Kepala Desa Kota Kapur menjelaskan.

Dua hari kemudian lokasi kedua ditemukan, lagi-lagi pada sebuah kolong dengan jarak sekitar 500 meter di sebelah barat Sungai Kupang. Yanto, seorang penduduk yang bekerja sebagai penambang TI mengatakan bahwa ia pernah menemukan pecahan papan yang diduga bekas peti di kolong itu. Tak lama kemudian tim berendam mengobok-obok air dan berhasil diangkat lima keping papan perahu dengan panjang antara 49 – 120 centimeter, lebar berkisar 8-15 centimeter, tebal 2 - 5 centimeter, dan diameter lubang 1,5 - 4 centimeter.

Setelah pengangkatan perahu yang kedua itu informasi baru dari penduduk terus mengalir tentang kolong-kolong di Situs Kota Kapur yang menyimpan bangkai perahu kuno. Tim arkeologi bertambah yakin Kota Kapur pernah menjadi pelabuhan masa Sriwijaya bahkan pada masa sebelumnya, kemungkinan berada di sepanjang Sungai Kupang.

Teknologi Tradisi Asia Tenggara

Temuan papan perahu kuno di Situs Kota Kapur segera dapat diidentifikasi teknik pembuatannya. Lubang-lubang yang terdapat di bagian permukaan dan sisi papan serta lubang-lubang pada tonjolan segi empat yang menembus lubang di sisi papan, merupakan teknik rancang bangun perahu dengan teknik papan ikat dan kupingan pengikat (sewn plank and lushed plug technique).

Tonjolan segi empat atau tambuku digunakan untuk mengikat papan-papan dan mengikat papan dengan gading-gading dengan menggunakan tali ijuk (Arrenga pinnata). Tali ijuk dimasukan pada lubang di tambuku. Pada salah lubang di bagian tepi papan perahu yang di temukan di Sungai Kupang terlihat ujung pasak kayu yang patah masih terpaku di dalam lubang. Biasanya penggunaan pasak kayu untuk memperkuat ikatan tali ijuk.

Teknologi perahu semacam itu umum ditemukan di wilayah perairan Asia Tenggara. Bukti tertua penggunaan teknik gabungan teknik ikat dan teknik pasak kayu dijumpai pada sisa perahu di Situs Kuala Pontian di Malaysia yang berasal dari antara abad ke-3 dan abad ke-5 Masehi.

Penelitian Sriwijaya yang intensif di Sumatera sejak tahun 1980-1990 juga banyak menemukan sisa-sisa perahu kuno tradisi Asia Tenggara.. Di wilayah Sumatera Selatan, bangkai perahu ditemukan di Situs Samirejo, Mariana (Kabupaten Banyuasin), Situs Kolam Pinisi (Palembang) dan di Situs Tulung Selapan (Kabupaten Ogan Komering Ilir). Di Jambi ditemukan pula papan perahu sejenis di Situs Lambur (Kabupaten Tanjung Jabung Timur). Selain papan-papan perahu ditemukan pula kemudi perahu dari kayu besi yang diduga bagian dari teknologi tradisi Asia Tenggara, yaitu di Sungai Buah (Palembang) dan Situs Karangagung Tengah (Kabupaten Musi Banyuasin).

Papan-papan perahu dari Situs Samirejo dan Situs Kolam Pinisi telah dianalisis laboratorium dengan menggunakan metode carbon dating C14. Sepotong papan dari Situs Kolam Pinisi menghasilkan pertanggalan kalibrasi antara 434 dan 631 Masehi, sedangkan papan dari Situs Samirejo berasal dari masa antara 610 dan 775 Masehi (Lucas Partanda Koestoro, 1993).

Sisa-sisa perahu kuno Situs Kota Kapur boleh jadi berasal dari masa yang tidak jauh dengan masa perahu di Situs Samirejo dan Situs Kolam Pinisi. Hasil penelitian arkeologi sebelumnya di Situs Kota Kapur menunjukkan tempat kuno itu telah dihuni oleh komuniti yang telah mapan sekurang-kurangnya sejak abad ke-6 Masehi kemudian berkembang menjadi salah satu ke-datu-an Sriwijaya pada abad ke-7 Masehi. Permukiman kuno itu terus berlanjut pada abad ke-10 hingga abad ke-15 Masehi.

Pada bagian dalam benteng tanah terdapat sisa-sisa tiga bangunan candi yang menempati dataran yang lebih tinggi. Lokasi tempat tinggal dan hunian terdapat pada lembah antara dua bukit dan di bantaran Sungai Mendo dan Sungai Kupang, yang kini berupa rawa-rawa. Di lokasi itu banyak ditemukan pecahan-pecahan tembikar kasar dengan hiasan sederhana mirip tembikar masa prasejarah.

Spirit bahari

Usai mendokumentasikan pengangkatan papan-papan perahu dan mendeskripsikan artefak itu satu per satu, bangkai perahu Sriwijaya itu kemudian ditenggelamkan kembali ke dalam kolong. Lho?

”Konservasi kayu perahu kuno yang paling murah ya dipendam lagi dalam rawa” ujar seorang arkeolog sambil mengawasi tenaga lokal yang menurunkan papan-papan perahu ke air. Artefak kayu itu bila kena sinar matahari langsung biasanya lebih cepat lapuk, sementara dalam rawa dapat lestari sampai berabad-abad.

Pemerintah Kabupaten Bangka sebenarnya telah memiliki rencana mengumpulkan kembali berbagai jenis artefak Situs Kota Kapur yang berada di luar situs, namun belum ada tempat yang memadai untuk memelihara papan-papan itu. Tidak hanya itu, pemerintah kabupaten telah memprakarsai dan mewujudkan kegiatan penelitian dan pengembangan kawasan Situs Kota Kapur kali ini. Melalui kegiatan ini diharapkan dapat digali jatidiri Bangka sekaligus mengembangkan situs arkeologi itu sebagai kawasan wisata.

Penemuan bangkai perahu kuno di Situs Kota Kapur merupakan data baru sekaligus bagian dari penemuan jatidiri itu sendiri. Tentang spirit bahari. ”Ya, temuan itu relevan dengan kata kepulauan yang digunakan untuk nama provinsi ini” ujar Yan Megawanti, Kepala Bappeda Provinsi Kepulauan Bangka-Belitung, memaknai pesan masa lalu dibalik bangkai perahu kuno dengan kehidupan masa sekarang.

Pesan tentang kejayaan bahari masa lalu dari Kota Kapur segera harus ditindaklanjuti. Tahun 2008 merupakan 100 tahun Kebangkitan Nasional. Belajar dari masa lalu, bangsa ini dapat segera bangkit, maju dan berjaya melalui dunia bahari.

Jangan biarkan spirit bahari itu terpendam lagi dalam rawa. Kebangkitan bahari boleh saja dimulai dari Kota Kapur untuk seluruh kepulauan di Indonesia.