Kamis, 10 Desember 2009

EKSPEDISI SRIWIJAYA : PENGEMBANGAN ARKEOLOGI MARITIM DI BALAI ARKEOLOGI PALEMBANG



Nurhadi Rangkuti

Abstrak
Wilayah kerja Balai Arkeologi Palembang kaya dengan sumberdaya arkeologi , baik di darat maupun di perairan. Daerah pantai timur Sumatera dan Kepulauan Bangka-Belitung merupakan wilayah yang padat dengan tinggalan budaya masa lalu, antara lain situs-situs hunian, dan pelabuhan-pelabuhan di daerah pesisir serta peninggalan bawah air berupa kepingan-kepingan kapal (shipwrecks) dan barang muatan kapal tenggelam (BMKT) banyak dijumpai di daerah tersebut. Bukti-bukti arkeologis tersebut yang didukung oleh sumber-sumber tertulis menggambarkan adanya kontak budaya antara Sumatera-Bangka Belitung dengan daerah luar sejak awal Masehi.
Peninggalan bawah air yang berada di wilayah kerja Balai Arkeologi Palembang belum banyak dikaji dalam upaya merekonstruksi kebudayaan masa lampau, terutama kehidupan bahari bangsa Indonesia pada masa lalu. Sebagai contoh, wilayah kerja Balai Arkeologi Palembang mengandung banyak peninggalan maritim Kerajaan Sriwijaya dari abad ke VII-XIII Masehi. Oleh karena itu penelitian arkeologi maritim (maritime archaeology) sudah saatnya dikembangkan di Indonesia.

Tulisan ini bertujuan untuk memberitakan upaya-upaya, rencana-rencana serta kendala-kendala yang dihadapi dalam mengembangkan arkeologi-maritim khususnya di Balai Arkeologi Palembang.

Kata kunci: Arkeologi-maritim, Sriwijaya, Sumatera, Bangka-Belitung






Gambar 1. Menuju laut dari Situs Kota Kapur


                                                         Gambar 2. Jalur tim Ekspedisi Sriwijaya (garis merah)




  1. Pendahuluan
Daerah pantai timur Sumatera (di Jambi dan Sumsel) dan Kepulauan Bangka-Belitung merupakan wilayah yang padat dengan tinggalan budaya masa lalu. Situs-situs permukiman dan pelabuhan-pelabuhan di daerah pesisir serta peninggalan bawah air berupa kepingan-kepingan kapal (shipwrecks) dan barang muatan kapal tenggelam (BMKT) banyak dijumpai di daerah tersebut. Bukti-bukti arkeologis tersebut yang didukung oleh sumber-sumber tertulis menggambarkan adanya kontak budaya antara Sumatera-Bangka Belitung dengan daerah luar sejak awal Masehi.
Peninggalan bawah air yang berada di wilayah kerja Balai Arkeologi Palembang belum banyak dikaji dalam upaya merekonstruksi kebudayaan masa lampau, terutama kehidupan bahari bangsa Indonesia pada masa lalu. Sebagai contoh, wilayah kerja Balai Arkeologi Palembang mengandung banyak peninggalan maritim Kerajaan Sriwijaya dari abad ke VII-XIII Masehi. Oleh karena itu penelitian arkeologi maritim (maritime archaeology) sudah saatnya dikembangkan di Indonesia.
Tulisan ini bertujuan untuk memberitakan upaya-upaya mengembangkan arkeologi-maritim khususnya di Balai Arkeologi Palembang. Salah satu upaya pengembangan tersebut antara lain diselenggarakannya kegiatan Ekspedisi Sriwijaya pada tanggal 6-10 Oktober 2009 oleh Balai Arkeologi Palembang dan Direktorat Peninggalan Bawah Air, Departemen Kebudayaan dan Pariwisata.
2. Arkeologi Maritim
Peninggalan bawah air berupa sisa-sisa kapal kuno dan barang muatannya merupakan bagian dari sumberdaya arkeologi (archaeological resources). Sebagaimana sumberdaya arkeologi yang terdapat di darat, peninggalan bawah air merupakan data arkeologi yang perlu dikaji oleh arkeologi sebagai disiplin ilmu. Cabang disiplin arkeologi yang menangani peninggalan bawah air di Indonesia dikenal dengan istilah arkeologi bawah air (underwater archaeology). Selain arkeologi bawah air ada beberapa istilah dari cabang disiplin arkeologi untuk menggambarkan lingkup kajian peninggalan bawah air, antara lain marine archaeology, maritime archaeology, nautical archaeology.

Jeremy Green (2004) menggunakan istilah arkeologi-maritim (maritime archaeology). Menurut Green (2004:4) arkeologi- maritim berkenaan dengan aspek-aspek arkeologi dan teknik-teknik yang digunakan untuk menangani arkeologi dalam lingkungan bawah air. Istilah arkeologi maritim digunakan untuk menangani peninggalan arkeologi yang berhubungan dengan kebudayaan maritim baik peninggalan arkeologi di darat (misalnya penemuan sisa-sisa perahu di darat) maupun peninggalan arkeologi di bawah air. Istilah arkeologi bawah air (underwater archaeology) digunakan semata-mata untuk penyederhanaan istilah dari arkeologi-maritim.

Penelitian arkeologi maritim di bawah air memiliki tingkat kesulitan yang lebih tinggi dibandingkan kegiatan di darat. Diperlukan rencana yang matang meliputi studi arsip, persiapan lapangan, penyusunan tim, perlengkapan dan logistik, dan keselamatan dalam pelaksanaan. Diakui penelitian secara sistematis pada peninggalan bawah air yang meliputi survey, ekskavasi, perekaman data, penggambaran temuan, dan analisis temuan, terbentur oleh kendala keterbatasan alat dan teknologi, tenaga professional dan dana. Penelitian arkeologi bawah air merupakan penelitian interdisipliner sehingga memerlukan kerjasama dengan berbagai fihak yang terkait. Oleh karena itu proposal-proposal penelitian arkeologi maritim perlu disusun bersama dan diperlukan sharing alat, tenaga profesional dan dana.
Pada tahap integrasi dan sintesa data diperlukan studi eksperimen dan analogi etnografi. Eksperimen arkeologi antara lain berupa pembuatan replika kapal kuno berdasarkan hasil penelitian yang memerlukan tenaga-tenaga ahli dan dana yang memadai. Pembuata replika kapal kuno dianggap penting karena salah satu bentuk publikasi arkeologi-maritim kepada masyarakat.
Studi etnografi pada suku-suku laut (sea nomad) perlu dilakukan untuk menjelaskan teknologi dan cara hidup masyarakat maritim pada masa lalu. Dampak pembangunan modern menyebabkan banyak perahu dan teknologi tradisional yang telah punah, serta perubahan cara hidup pada masyarakat lokal. Hal ini menjadi salah satu kendala dalam studi etnografi untuk memahami kehidupan masyarakat maritim masa lampau.

3. Ekspedisi Sriwijaya
Ekspedisi Sriwijaya merupakan satu kegiatan arkeologi-maritim yang berupaya mengintegrasikan peninggalan-peninggalan arkeologi di bawah perairan dan peninggalan arkeologi di darat dalam konteks budaya maritim. Peserta ekspedisi terdiri dari para arkeolog, antropolog, ahli kelautan, penyelam, polisi air dan wartawan.
Ekspedisi Sriwijaya bertujuan untuk menelusuri jalur pelayaran masa lampau dari Situs Kota Kapur (Bangka) menuju Palembang melalui Air Sugihan, Sungai Upang dan Sungai Musi dengan naik perahu kayu. Rute ekspedisi dipilih dengan mempertimbangkan data prasasti masa Sriwijaya, serta data persebaran situs arkeologi di Kota Kapur, Air Sugihan dan di Palembang. Prasasti yang menjadi acuan adalah Prasasti Kota Kapur dan Prasasti Kedukan Bukit yang berbahasa Melayu Kuna, ditulis dengan huruf Pallawa. Kedua prasasti tersebut dibuat pada masa pemerintahan Dapunta Hiyan Sri Jayanasa, raja Sriwijaya pada abad VII Masehi.
Situs Kota Kapur yang terletak di Desa Kota Kapur, Kecamatan Mendo Barat, Kabupaten Bangka, Provinsi Kepulauan Bangka-Belitung, adalah tempat ditemukannya prasasti batu berbentuk tugu pada tahun 1892. Prasasti setinggi 177 cm dan lebar 32 cm itu diterbitkan pada 28 Februari 686 Masehi, memuat kutukan bagi siapa saja yang tidak setia dan berkhianat kepada Kedatuan Sriwijaya. Pembuatan prasasti berlangsung pada saat bala tentara Sriwijaya baru berangkat untuk menyerang Bumi Jawa yang tidak takluk kepada Sriwijaya.
Empat tahun sebelum Prasasti Kota Kapur ditulis, Dapunta Hiyan datang ke Palembang bersama dua puluh ribu serdadu naik perahu menyusuri Sungai Musi dengan perbekalan 200 peti. Rombongan yang berjalan kaki 1.312 tentara. Mereka berangkat dari suatu tempat yang bernama Minanga melakukan perjalanan menuju Mukha Upang selama 29 hari. Sampai di tempat tujuan, Dapunta Hiyan kemudian membangun kampung (wanua). Sang raja menyebut ekspedisi itu sebagai jaya siddayatra, yaitu perjalanan suci untuk kejayaan Sriwijaya. Boechari (1993), ahli epigrafi, menyatakan wanua yang dibangun Dapunta Hiyan kemudian berkembang jadi pusat kerajaan Sriwijaya di Palembang.
Kisah ekspedisi itu terukir dalam prasasti batu yang ditemukan oleh seorang bangsa Belanda tahun 1920 di Desa Kedukan Bukit di bagian barat Kota Palembang. Prasasti Kedukan Bukit dipahat pada tanggal 16 Juni 682 Masehi.
3.1. Metode dan teknik
Dalam kegiatan ekspedisi dilakukan pengumpulan data arkeologis, keadaan lingkungan dan kondisi sosial-budaya pada tempat-tempat yang disinggahi dalam ekspedisi. Pengumpulan data dilakukan dengan cara survey dan wawancara. Kegiatan arkeologi bawah air dilakukan di perairan Selat Bangka tepatnya di sekitar Pulau Pelepas yang terletak di sebelah selatan Situs Kota Kapur. Dalam kegiatan tersebut dilakukan survey dan penyelaman untuk mengidentifikasi tinggalan arkeologis di bawah air.
Posisi (situs dan obyek lainnya) dan jalur ekspedisi dilakukan dengan menggunakan Global Position System (GPS). Data yang direkam dengan GPS itu kemudian dipetakan dengan aplikasi Geographic Information System (GIS) dengan program Arc view 3.2. Pemetaan menggunakan peta digital (basemap) yang diterbitkan oleh Bakosurtanal. Hasil ekspedisi berupa jalur pelayaran masa lamapu dikaji dengan memperhatikan data arkeologi dan sumber-sumber sejarah.
3.2 Hasil Kegiatan
Di Situs Kota Kapur, tim ekspedisi mengadakan survey arkeologi, lingkungan dan pengamatan sosial budaya. Berdasarkan pengamatan lingkungan, Situs Kota Kapur mulai terancam oleh aktivitas penambang timah yang areanya mendekati zona inti situs.
Pada hari yang sama tim arkeologi bawah air melakukan survey laut dengan perahu dari Dermaga Kota Kapur menuju pulau-pulau kecil (Pulau Pelepas, Pulau Pegadung dan Pulau Nangka), dekat Tanjung Tedung yang berada di selatan Kota Kapur. Sebuah mercusuar Belanda masih berdiri kokoh di Pulau Pelepas. Mercusuar yang pernah dipugar oleh Ratu Wilhelmina pada tahun 1893 itu digunakan sebagai pemandu navigasi kapal-kapal yang ramai melintasi perairan Bangka-Belitung.
Nelayan setempat menunjukkan di sebelah barat Pulau Pelepas terdapat bangkai kapal tenggelam di dasar laut. Penyelaman arkeologi bawah air pun di lakukan pada saat permukaan laut tenang, namun arus di bawahnya sangat kencang dan jarak pandang hanya 1 – 3 meter. Sebuah kapal perang Belanda ditemukan terbenam di dasar laut pada kedalaman 17-25 meter. Kapal besi berukuran panjang 70 meter itu tenggelam dalam kondisi terbelah dua.
Di sekitar Selat Bangka dan perarian Kepulauan Bangka-Belitung memang banyak ditemukan bangkai kapal tenggelam (shipwrecks) oleh karena banyaknya gosong karang di perairan ini. Namun perahu-perahu kayu zaman Sriwijaya malah seringkali ditemukan di rawa-rawa. Di Situs Kota Kapur ditemukan kepingan-kepingan papan perahu kuna dari dasar rawa pada saat penelitian tahun 2007 (Rangkuti 2007). Teknik rancang bangun perahu dibuat dengan teknik papan ikat dan kupingan pengikat (sewn plank and lushed technique). Sisa-sisa perahu dari teknik pembuatan dan masa yang sama ditemukan pula di rawa-rawa Mariana dan Sungai Buah (Palembang), Tulung Selapan (Kabupaten Ogan Komering Ilir), Situs Karangagung Tengah (Kabupaten Musi Banyuasin) dan di Lambur (Jambi).
Setelah melakukan survey dan penyelaman selama dua hari di Bangka, tim kemudian menyeberangi selat Bangka dengan speedboat kayu yang ditempuh dalam waktu tiga puluh menit. Sampai di muara Air Sugihan tim langsung menelusuri Air Sugihan yang semakin ke hulu semakin sempit dan hutan mangrove pun semakin berkurang. Di belakang hutan mangrove, terbentang lahan-lahan transmigrasi yang disekat oleh jalur-jalur irigasi sekaligus untuk jalur transportasi air. Sebagian daerah lahan basah itu direklamasi untuk kawasan transmigrasi.
Speedboat masuk ke Jalur 27 dan merapat di dermaga Desa Kertamukti, Kecamatan Air Sugihan, Kabupaten Ogan Komering Ilir . Desa ini kaya dengan tinggalan arkeologis berupa manik-manik berbahan kaca dan batuan, fragmen-fragmen tembikar dan keramik kuno, benda-benda emas dan logam lainnnya, serta sisa tiang rumah kuno dari batang pohon nibung (oncosperma filamentosa). Tim mengunjungi Situs Kertamukti 1 yang pernah diteliti melalui ekskavasi oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional. Situs berada pada lahan bekas sungai kecil (alur) dan rawa yang kini telah direklamasi untuk lahan transmigrasi. Dalam ekskavasi ditemukan sisa-sisa bangunan rumah panggung bertiang nibung. Selain itu ditemukan pula tali ijuk (arrenga pinnata), pecahan-pecahan tembikar dan keramik Cina, manik-manik, sudip dari kayu dan fosil kayu. Di kawasan Air Sugihan keramik dari Cina yang paling banyak ditemukan berasal dari abad IX-X Masehi dari Dinasti Tang.
Esok paginya tim berangkat ke Palembang dengan kembali menelusuri Air Sugihan. Untuk masuk ke Sungai Musi, speedboat melewati Jalur 21. Jalur itu menghubungkan Air Sugihan dengan Sungai Saleh kemudian melewati satu jalur lainnya yang menghubungkan Sungai Saleh dengan Sungai Upang. Pada masa sekarang, sulit sekali mencari cabang dan anak sungai alamiah yang dulu menghubungkan Air Sugihan, Sungai Saleh dan Sungai Upang yang akhirnya bertemu dengan Sungai Musi di Delta Upang. Sungai-sungai alam itu telah hilang, digantikan oleh jalur-jalur irigasi.
Tim mampir di Desa Upang, Kecamatan Makarti Jaya, Kabupaten Banyuasin, yang terletak di Delta Upang. Desa ini menjadi terkenal di kalangan ahli-ahli Sriwijaya, ketika Boechari (1993) mengidentikasi lokasi Desa Upang ini pernah dikunjungi oleh Dapunta Hiyan dan ribuan tentara dengan naik perahu. Mukha Upang yang teridentifikasi dalam Prasasti Kedukan Bukit disamakan dengan Upang, desa yang terdapat di Delta Upang.
Perjalan dari Desa Upang ke Palembang menempuh waktu sekitar satu jam. Di Palembang, tim merapat di Benteng Kuto Besak. Jalur ekspedisi berakhir di tempat itu. Rute Ekspedisi Sriwijaya 2009 dapat dilihat pada gambar 1.
3.3 Pembahasan
Pada zaman dahulu para pelaut asing yang berlayar dari Selat Malaka dan Laut China Selatan ketika memasuki Selat Bangka mendapat petunjuk tentang Pulau Bangka dari tanda-tanda geografis: bukit, tanjung dan pulau kecil.
Bukit Menumbing, yang terletak di Pulau Bangka telah dikenal oleh para pelaut asing sebagai pedoman untuk masuk menuju ibukota kerajaan di Palembang. Bukit ini letaknya berhadapan dengan mulut Sungai Musi, jalur transportasi ke ibukota Sriwijaya. Pada abad XV-XVI Masehi pelaut-pelaut China menyebut Bukit Menumbing dengan nama Peng-chia shan (Peng-chia = Bangka, shan = gunung) menurut penafsiran OW Wolters (Bambang Budi utomo, 2003:65).



Para pelaut Portugis menggunakan Roteiros (Buku Panduan Laut) dari masa-masa yang sama untuk melayari Selat Bangka. Bukit Menumbing disebut sebagai Monopim. “Berlayar dari baratlaut ke tenggara, setelah melihat Monopim di Bangka, kapal-kapal mendekati Sumatera sampai garis hijau rendah hutan-hutan bakau kelihatan. Di sebelah barat Monopim pelayaran harus mengitari sebuah tanjung berkarang yang menjorok ke laut”. (P.Y. Manguin 1984:18).
Ada beberapa jalan masuk ke kota Palembang dari Selat Bangka . Berhadapan dengan Pulau Bangka terdapat muara-muara sungai, yaitu Sungai Banyuasin, Sungai Musi (Sungsang), Sungai Upang (bertemu dengan Musi di Delta Upang), Sungai Saleh dan Air (sungai) Sugihan. Berita China Shun-feng hsiang-sung (abad XV Masehi) memberi petunjuk tentang jalan yang benar ke ibukota kerajaan :
“Ketika buritan kapal diarahkan ke Niu-t’ui-ch’in (pusat bukit pada rangkaian perbukitan Menumbing), anda dapat terus berlayar memasuki Terusan Lama (= Musi). Garis daratan di hadapan Bangka terdapat tiga buah terusan. Terusan yang di tengah (Terusan Lama) adalah jalan yang benar. Di situ ada sebuah pulau kecil” (Wolters tanpa tahun dalam Bambang Budi Utomo, 2003:65).
Berita China itu merekomendasikan kalau mau ke Palembang sebaiknya melalui jalur Sungai Musi (Sungsang).
Ekspedisi Sriwijaya 2009 memilih jalur Air Sugihan dalam perjalanan menuju Palembang dari Situs Kota Kapur di Pulau Bangka. Selain lebih dekat, di daerah aliran Air Sugihan para arkeolog menemukan situs-situs arkeologi dari masa pra Sriwijaya sampai abad XVI Masehi. Balai Arkeologi Palembang mencatat 26 lokasi situs di kawasan tersebut.
Jalur ekspedisi yang dipilih itu antara lain untuk menjajaki kemungkinan adanya hubungan antara Situs Kota Kapur dan situs-situs yang tersebar di kawasan Air Sugihan. Sebelum Dapunta Hiyan dan bala tentaranya mengadakan ekspedisi ke Kota Kapur, kawasan itu merupakan daerah bermukim komuniti yang menganut agama Hindu. Ditemukannya arca Wisnu dari abad V-VI Masehi di Situs Kota Kapur merupakan bukti arkeologis yang terbantahkan. Berhadapan dengan Kota Kapur yang dipisahkan oleh Selat Bangka, terdapat permukiman masyarakat pantai timur Sumatera dari masa awal abad-abad Masehi hingga abad XVI Masehi, terutama terkonsentrasi di Kawasan Air Sugihan.
Rute Kota Kapur - Air Sugihan masih dimanfaatkan pada masa-masa berikutnya. Pada zaman Sriwijaya Bukit Besar di Kota kapur, Pulau Nangka dan tanjung-tanjung di pantai Sumatera dan Bangka-Belitung menjadi pedoman navigasi pelayaran. Pada abad XIX Masehi Belanda membangun mercusuar di Pulau Pelepas juga untuk pedoman pelayaran. Pada masa sekarang jalur Bangka – Air Sugihan masih digunakan untuk membawa penumpang dan barang dengan speedboat kayu dan tongkang.
Sementara itu jalur dari Air Sugihan – Palembang pada masa sekarang harus melalui kanal-kanal buatan yang menghubungkan Sungai Musi, Sungai Saleh dan Air Sugihan. Dalam ekspedisi tidak dapat dilacak jalur alamiah yang menghubungkan Palembang – Air Sugihan pada masa lampau. Banyak sungai-sungai yang telah hilang karena adanya reklamasi dan pengendapan material sungai.
4. Penutup
Penelitian arkeologi-maritim merupakan penelitian interdisipliner yang memerlukan berbagai tenaga ahli di bidang maritim dan arkeologi. Diperlukan peralatan dan teknologi yang memadai dalam kegiatan penyelaman, ekskavasi bawah air, dan perekaman data. Semua itu mengharuskan perencanaan dan rancangan penelitian arkeologi maritim yang jelas dan berkesinambungan didukung sumber dana yang memadai. Oleh karena itu pengembangan arkeologi-maritim di Indonesia memerlukan kolaborasi dengan berbagai fihak.
Dalam lingkup yang lebih luas, pengembangan arkeologi-maritim tidak semata di bidang penelitian saja tetapi juga ditindaklanjuti oleh kegiatan pelestarian dan pemanfaatan peninggalan bawah air. Ekspedisi Sriwijaya yang diselenggarakan oleh Balai Arkeologi Palembang dan Direktorat Peninggalan Bawah Air berupaya untuk mengintegrasikan kegiatan penelitian, pelestarian dan pemanfaatan dalam konsep dan pelaksanaannya. Diharapkan di masa mendatang dapat disusun kebijakan menteri dalam pengelolaan peninggalan arkeologi bawah air yang meliputi bidang penelitian, pelestarian dan pemanfaatan.
Daftar Pustaka
Bambang Budi Utomo, 2003, Masalah Sekitar Penaklukan Sriwijaya Atas Bumi Jawa, dalam Siddhayatra vol 8 No 2 November 2003. Palembang: Balai Arkeologi
Bowens, Amanda (ed), 2009, Underwater Archaeology. The NAS Guide to Principles and Practice. Nautical Archaeology Society ISBN: 978-1-405-17592-0.
Budi Wiyana, 2008, Laporan Pelatihan Arkeologi Bawah Air di Selat Bangka, Provinsi Kepulauan Bangka-Belitung. Palembang: Balai Arkeologi.
Green, Jeremy, 2004, Maritime Archaeology. A Technical Handbook. Elsevier Academic Press.
Manguin, P.Y., 1984, “Garis Pantai di Selat Bangka: Sebuah bukti baru tentang keadaan yang permanen pada masa sejarah” dalam Amerta 8, hal. 17-24. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi.
Rangkuti, Nurhadi, 2007, Jejak Bahari Kota Kapur, Kompas tanggal 5 November 2007.

Minggu, 14 Juni 2009

PULAU MAYA-KARIMATA



Undangan dari Balai Arkeologi Banjarmasin setahun yang lalu sangat menantang. Eksplorasi pulau-pulau terpencil di sekitar Selat Karimata dengan pendekatan arkeologi. Tentu saja yang dicari adalah bukti-bukti peradaban masa lampau yang menunjukkan peran penting Selat Karimata.

Selat Karimata memang penting dan strategis. Selat yang lebarnya 150 km itu menghubungkan antara Laut Cina Selatan dan Laut Jawa. Letaknya di antara Pulau Belitung dan Pulau Kalimantan. Dari Pulau Belitung sekitar 70 mil di sebelah timur laut.

Menurut David E. Shoper (1977) dalam bukunya: The Sea Nomads: A Study of the Maritime Boat People of Southeast Sumatra, kelompok pulau-pulau di Selat Karimata memiliki hubungan dengan Pulau Belitung dan Kepulauan Riau-Lingga pada masa lalu, terutama tentang budaya orang laut (sea nomad). Di Pulau Belitung terdapat Suku Sekah yang menyebut diri mereka sebagai orang “Manih Bajau” yang berarti “descendant of the Bajau”, atau keturunan orang Bajau dari Sulawesi. Orang-orang Sekah sering menjelajah mencari tripang sampai ke pesisir Kalimantan dan Lampung. Orang Sekah memiliki tempat penguburan di Pulau Selanduk di sebelah barat Pulau Belitung.

Di Pulau Karimata terdapat permukiman Suku Galang yang muncul pada pertengahan abad XIX Masehi yang pernah dikunjungi oleh orang laut (sea nomad) dari Pulau Belitung. Selain Suku Sekah, di Pulau Belitung terdapat orang laut lainnya, yaitu orang Juru yang beragama Islam dan tinggal di Pulau Lepar. Mereka telah menggunakan perahu yang lebih besar daripada perahu orang Sekah. Telah terjadi percampuran budaya antara orang Sekah dan orang Juru melalui perkawinan. Mereka bermukim di Tanjung Pandan, Mangar dan memiliki tempat (outlet) timah di bagian timur Belitung dan sebuah perkampungan di Pulau Karimata.

Banyak pulau yang tersebar di sekitar Selat Karimata, sebagian masuk wilayah Provinsi Kepulauan Bangka-Belitung dan pulau-pulau lainnya masuk wilayah Provinsi Kalimantan Barat. Pulau-pulau yang masuk wilayah Provinsi Kalimantan Barat, terutama di Kabupaten Kayong Utara , tercatat ada 108 pulau yang meliputi :

- Kecamatan Kendawangan 30 pulau, Matan Hilir Selatan dan Benua Kayong 2 pulau, Matan Hilir Utara, Delta Pawan, Muara Pawan 5 pulau, Sukadana 10 pulau, Pulau Maya Karimata 61 pulau (tidak berpenghuni 26 pulau).

Gunung Tote

Eksplorasi baru dilakukan pada tahun 2009 dengan fokus Pulau Maya dan pulau-pulau kecil sekitarnya. Tanggal 17 Mei 2009 saya bertolak dari Palembang menuju Pontianak . Esoknya berangkat menuju Kota Ketapang untuk bergabung dengan Tim Balai Arkeologi Banjarmasin. Hanya 35 menit numpak pesawat kecil dari Pontianak ke Kota Ketapang. Perjalanan dilanjutkan dengan mobil selama 1,5 jam menuju Sukadana, ibukota Kabupaten Kayong Utara (KKU). Sukadana lebih mendekati ciri-ciri desa daripada kota.

Tim bermalam di hotel yang dibangun di atas pantai pasang surut hutan mangrove. Waswas juga tidur di hotel yang mengangkangi laut itu, jangan-jangan muncul pasang besar yang dapat menggenangi kamar.

Esok pagi tim berangkat dengan speedboat ke Pulau Maya. Empat puluh lima menit lamanya perjalanan sampai di Desa Tanjung Satai. Di desa ini issue tentang peninggalan purbakala yang spektakuler telah santer dibicarakan penduduk. Foto-foto yang diperlihatkan seorang petugas kecamatan membuat tim tercengang. Foto-foto itu memperlihatkan patung-patung kuno dan lukisan bangunan candi yang dipahat pada permukaan batu besar. Selain itu penduduk menceritakan harta karun lainnya berupa emas, manik-manik, dan keramik kuno. Semua peninggalan tersebut terdapat di kaki Gunung Tote yang masuk wilayah Desa Dusun Kecil.

Dua jam perjalanan dengan speedboat menuju Desa Dusun Kecil, kemudian dilanjutkan dengan naik perahu kecil menyusuri Sungai Tote. Sampai di hulu sungai, perjalanan dilanjutkan sampai ke lokasi situs dengan jalan kaki selama 30 menit menapaki lumpur hutan mangrove.

Situs Gunung Tote tampak porak poranda. Sisa-sisa lubang galian liar bertebaran dimana-mana. Sesosok patung batu berbentuk sapi alias arca nandi (Hindu) telah dipotong kepalanya karena disangka di dalamnya terdapat emas. Perusakan itu dilakukan karena sebelumnya para penjarah menemukan benda-benda emas di bawah kaki arca batu berbentuk dewa Wisnu (?) setinggi 120 cm dan bobot 125 kg.

Pahatan dua bangunan stupa pada batu besar masih dapat dilihat di lokasi. Pahatan ini diperkirakan sezaman dengan pahatan serupa di Situs Batu Pait di Kalimantan Barat, diperkirakan abad V-VI Masehi. Terlihat ada upaya menggeser batu besar itu untuk mencari emas di bawahnya, namun batu itu tidak dapat digerakkan karena terlalu besar dan berat.

Seorang informan menceritakan penggalian massal itu dilakukan pada tahun 2007. Mereka menemukan 8 arca batu yang terdiri satu arca besar dan 7 arca kecil. Arca besar sempat di simpan di rumah Bapak Saleh, seorang dukun yang tinggal di Dusun Tote. Ketika ditemui di rumahnya, arca itu tidak berada di tempatnya lagi. Menurut Bapak Soleh arca itu telah dibawa oleh orang-orang dari Desa Paritjali, Kecamatan Teluk Batang sekitar dua bulan yang lalu.

Berdasarkan informasi dari berbagai sumber, penggalian tersebut dilakukan orang-orang dari Desa Paritjali, Kecamatan Teluk Batang. Tim Balai Arkeologi Banjarmasin segera melacak temuan sampai ke Parit Jali.

Di Paritjali tim langsung bertemu dengan penyandang dana “Proyek Gunung Tote”. Sang boss mengeluarkan dana besar untuk menyediakan mesin penyedot pasir dan dongkrak hidrolik untuk mengangkat bebatuan gunung (relief stupa) yang diduga terdapat emas di bawahnya. Selain arca mereka menemukan keramik, gerabah, manik-manik, senjata logam (kapak), nampan dan penginangan dari kuningan. Seorang penduduk Desa Paritjali menceritakan mereka berhasil mengumpulkan emas seberat ± 4 kg emas dalam bentuk bulatan, lantakan, dan lembaran. Emas-emas tersebut ditemukan di bawah arca besar tadi kemudian dilebur lalu dijual.

Tim Arkeologi memperkirakan peninggalan-peninggalan tersebut berasal dari abad V hingga abad XVIII Masehi. Sejak awal Masehi daerah sekitar Selat Karimata memang telah ramai sebagai jalur perdagangan dari Cina dan India menuju Kalimantan, pantai timur Sumatera dan Jawa.

Rupa-rupanya perompak atau lanun tidak hanya ada pada zaman dulu. Bila dulu mereka membajak muatan kapal-kapal dengan senjata, lanun zaman sekarang merompak situs dengan mesin penyedot air dan dongkrak hidrolik. Dilakukan secara terang-terangan tanpa ada yang mencegahnya. Tanpa ada yang peduli. Hah?!

Rabu, 10 Juni 2009

DANAU SENTANI DAN ARKEOLOGI







2 Juni 2009. Jam 7 pagi pesawat terbang menghampiri tanah. Pohon-pohon sagu dan tumbuhan rawa lainnya berkelebat dengan cepat. Roda pesawat menyentuh landasan pacu dengan halus. Bandara Sentani, gerbang utama ke Jayapura seolah mengucapkan selamat pagi kepada penumpang untuk menikmati keindahan Danau Sentani, daerah lahan basah yang luas di Sentani.


Bagi orang yang baru pertama datang ke tanah Papua, Danau Sentani mengundang decak kagum. Dari udara danau itu terlihat seperti empang yang menggenangi kaki Pegunungan Cyclops. Ada 16 pulau kecil terserak di tengah danau tampak seperti bunga-bunga teratai yang mengapung di atas air berwarna hijau kebiruan. Danau ini menampung sekitar 35 aliran sungai kecil yang berhulu di pegunungan.

Perjalanan dilanjutkan dengan mobil ke kota Jayapura selama satu jam menyusuri pinggiran danau. Danau yang panjangnya sekitar 26 km itu terletak pada ketinggian sekitar 75 meter di atas permukaan air laut. Sepanjang tepi danau berdiri rumah-rumah penduduk yang sebagian besar berbentuk rumah panggung.

Pagi itu berdatangan para arkeolog seluruh Indonesia ke Jayapura dengan membawa poster dan artefak-artefak dari batu, tanah liat, kaca dan logam. Mereka mengadakan pameran akbar tentang kehidupan prasejarah di nusantara. Papua Trade Center di Jayapura dipilih sebagi tempat pameran yang mempertemukan pendukung-pendukung budaya prasejarah dari bangsa Austronesia dan bangsa Melanesid, asal nenek moyang bangsa Indonesia.

Bagi masyarakat Sentani dan Papua pada umumnya tradisi prasejarah masih berlangsung sampai saat ini. Masyarakat yang tinggal di sekitar Danau Sentasi ikut terlibat dalam pameran dengan memperagakan cara-cara membuat tembikar, alat batu, alat tulang dan lukisan pada kulit kayu. Teknologi yang digunakan berasal dari masa prasejarah. Lihat saja, mereka membuat wadah tembikar langsung dengan tangan, tanpa roda putar. Beliung batu yang diupam halus dibuat dengan cara menggosok bakal alat itu dengan batu juga. Beliung batu itu bentuk dan tekniknya mirip dengan beliung batu zaman neolitik. Mereka mencari tulang-tulang burung kasuari dan tulang-tulang babi untuk dibentuk menjadi alat pisau. Bentuk alat-alat tulang tersebut mirip dengan artefak dari tulang yang ditemukan pada gua-gua prasejarah di Pegunungan Seribu, di Jawa. Para arkeolog menyebut bentuk alat tulang itu sebagai spatula.

Danau Sentani dengan ekosistem lahan basah (wetland) memiliki keanekaragaman hayati yang dibutuhkan untuk kehidupan manusia. Sejak zaman prasejarah di tempat itu telah dihuni oleh manusia. Teknologi yang diperagakan masyarakat Sentani sekarang boleh dibilang menjadi dokumentasi hidup tentang kehidupan prasejarah di nusantara.


Sabtu, 16 Mei 2009

TABIR PERADABAN SUNGAI LEMATANG

Latar Belakang

Wilayah Sumatera Selatan terdapat sungai-sungai besar yang dapat dilayari sampai ke hulu, yaitu Sungai Musi, Ogan, Komering, Lematang, Kelingi, Rawas, Batanghari Leko, Calik dan Lalan. Sungai-sungai besar ini merupakan urat nadi kehidupan masyarakat sejak masa lampau berdasarkan bukti-bukti arkeologis yang tersebar di daerah aliran sungai. Sungai Lematang mengalir di tengah-tengah aliran-aliran sungai yang lain. Dilihat dari posisinya secara geografis, Sungai Lematang memiliki peran penting dalam jaringan komunikasi dan transportasi sungai di Daerah Batanghari Sembilan.

Sungai Lematang berhulu di dataran tinggi Pasemah kemudian mengalir melalui Muara Enim dan bertemu dengan Sungai Enim yang berhulu di daerah Sinar Bulan, Kabupaten Lahat. Aliran Sungai Lematang terus melewati Tanah Abang dan akhirnya bermuara di Sungai Musi, yaitu sungai antiklinal di bagian hilirnya. Di daerah dataran rendah Sungai Lematang memiliki banyak kelokan (meander) dan aliran sungai berpindah-pindah. Seperti sungai-sungai lainnya di Sumatera Selatan, Sungai Lematang mengalami pendangkalan oleh endapan-endapan material dari hulu. Perpindah aliran sungai dan pendangkalan sungai ini berpengaruh terhadap keberadaan situs-situs arkeologi yang ada di sepanjang aliran sungai dan bahkan telah mengakibatkan tergerus dan hilangnya situs.

Bukan hal yang kebetulan apabila di sepanjang aliran Sungai Lematang mengelompok situs-situs arkeologi dari hulu ke hilir. Hulu Sungai Lematang melewati wilayah-wilayah yang subur dan telah dihuni manusia sejak zaman prasejarah. Tinggalan megalitik di Lahat dan Pagaralam menunjukan bahwa awal tumbuhnya peradaban di wilayah Sumatera Selatan di mulai dari dataran tinggi Pasemah. Di daerah hilir di dataran rendah tersebar situs-situs arkeologi, yaitu Kompleks percandian Bumiayu, Situs Babat dan Situs Modong.

Sungai Lematang menghubungkan antara kebudayaan di pedalaman dan kebudayaan di hilir Sungai Musi, yaitu antara kebudayaan Pasemah dan pusat Sriwijaya di Palembang. Di antara kedua pusat kebudayaan itu terletak kawasan situs percandian Bumiayu, Situs Babat dan Situs Modong. Lokasi kawasan candi tersebut dalam ruang dan waktu sangat berpengaruh terhadap perkembangan kawasan dan karakteristik budaya kawasan tersebut. Sebagaimana diketahui kebudayaan megalitik Pasemah merupakan sebuah tradisi budaya yang tetap eksis pada masa Sriwijaya (VII-XIII Masehi) dan bahkan sampai masa-masa berikutnya. Pada masa Sriwijaya komuniti-komuniti di dataran tinggi Pasemah hidup dalam tradisi budaya megalitik, walaupun pengaruh kekuasaan Sriwijaya di Palembang khususnya dalam bidang politik perdagangan sampai ke daerah Pasemah.

Sementara itu hubungan antara pusat Sriwijaya di Palembang dengan kawasan situs Bumiayu merupakan hubungan yang struktural. Piere Yves Manguin dkk (2006) mempersoalkan apakah kawasan situs Bumiayu adalah pusat sistem politik yang otonom (mandala) yang berfungsi pada daerah yang mengelilingi Sriwijaya, seperti yang tersirat dalam prasasti-prasasti abad VII Masehi yang diterbitkan oleh penguasa Sriwijaya.

Pendekatan-Pendekatan

Tidak sedikit penelitian dan kajian tentang keberadaan kawasan percandian Bumiayu di daerah aliran Sungai Lematang dalam konteks lingkungan, sejarah dan budaya. Dalam konteks lingkungan dipaparkan kondisi geologis-geografis serta ditelaah adaptasi manusia dan faktor-faktor yang mempengaruhi pemilihan lokasi situs. Hal yang tidak dapat diabaikan adalah konteks sejarah untuk menempatkan situs candi Bumiayu dalam kaitannya dengan urut-urutan peristiwa pada masa Kerajaan Sriwijaya di Sumatera dan hubungan-hubungan sosial-ekonomi-politik dengan kerajaan-kerajaan lain. Konteks sejarah ini dapat bertalian dengan konteks budaya khususnya pengaruh kalangan elit (raja dan kaum pendeta) dalam menentukan teritori Kerajaan Sriwijaya, pemilihan lokasi bangunan suci dan agama yang melatarinya. Demikian pula campur tangan elit tetap dominan pada seni dan arsitektur bangunan dan arca, makna-makna simbolik yang terkandung dalam budaya materi dan aktivitas-aktivitas ritual bahkan aktivitas sosial-ekonomi sehari-hari di kawasan Bumiayu. Semua konteks tersebut harus ditafsirkan melalui artefak-artefak (dalam arti luas) yang ditemukan dalam konteks arkeologi, dimana tinggalan tersebut telah mengalami transformasi bentuk, ruang dan waktu.

Sebenarnya berbagai kajian itu merupakan upaya para arkeolog dan peneliti untuk merekonstruksi kehidupan manusia masa lalu di kawasan candi Bumiayu secara multidimensi. Namun keterbatasan data (terutama data arkeologi dan data tekstual) yang diperoleh selama ini menyebabkan peradaban kuna itu masih merupakan tabir yang baru sebagian tersibak.

Sungai Lematang yang punya peran besar terhadap tumbuhnya peradaban tersebut tampaknya belum mendapat perhatian yang besar oleh para arkeolog untuk dikaji lebih luas dan lebih dalam. Karakteristik sungai Lematang dan jaringannya dengan aliran-aliran sungai lainnya, serta penempatan situs pada lokasi-lokasi tertentu di daerah aliran sungai merupakan salah satu kunci untuk menafsirkan peran dan fungsi kawasan situs Bumiayu dalam skala makro.

Tulisan ini memfokuskan pada peranan Sungai Lematang sebagai jalur komunikasi pada masa Kerajaan Sriwijaya dalam tumbuh kembangnya peradaban di daerah alirannya. Kawasan situs Bumiayu merupakan situs masa Sriwijaya yang menjadi pokok bahasan kajian ini dengan menggunakan pendekatan keruangan dalam arkeologi (spatial archaeology) dan pendekatan wilayah. Bertitik tolak dari persebaran dan hubungan antarsitus serta kaitannya dengan lingkungan, maka situs arkeologi dan lingkungan sekitarnya dianggap sebagai tempat manusia masa lalu melakukan aktivitas-aktivitas misalnya aktivitas rumah tangga, subsistensi, ritual, dan aktivitas sosial lainnya. Dengan mengadopsi konsep-konsep geografi, situs merupakan ajang sosial (social space) masa lampau dimana terjadi proses-proses kehidupan (social processes) yang berlangsung secara teratur dan terus menerus, atau juga dapat secara tidak tetap. Proses-proses kehidupan tersebut menimbulkan pola-pola kehidupan (social patterns) tertentu (Bintarto 1995).

Identifikasi hubungan antarsitus pada gilirannya mengarah pada hubungan eksternal dari kegiatan sosial penduduk masa lalu pada suatu wilayah dengan penduduk di wilayah lain melalui berbagai jalur komunikasi. Dalam hal ini dipelajari hubungan antara kawasan situs Bumiayu dengan pusat kerajaan Sriwijaya dan hubungan dengan daerah pedalaman yang kaya dengan sumber-sumber alam.

Hubungan-hubungan eksternal semacam itu pada masa Sriwijaya telah ditelaah oleh beberapa ahli dalam bentuk model dan teori. Sebagai contoh diambil di sini adalah model tentang hubungan antara kadatuan Sriwijaya di pusat dengan mandala-mandala di sekitarnya dalam wilayah (bhumi) Sriwijaya oleh Hermann Kulke (1993) berdasarkan kajian terhadap Prasasti Telaga Batu (Sabokingking) abad VII Masehi. Kadatuan atau keraton sebagai tempat tinggal raja dilingkungi oleh sebuah wilayah yang disebut wanua yang berciri kekotaan (urban) dimana terdapat bangunan-bangunan suci dan bangunan-bangunan publik lainnya. Para saudagar (vaniyaga) dan nakhoda kapal (puhavam) dari luar melakukan hubungan langsung dengan pusat dalam kegiatan perniagaan dan komunikasi. Sementara itu mandala-mandala di luar pusat masing-masing dipimpin oleh seorang datu yang berasal dari kerabat kerajaan atau dari daerah setempat (local). Seperti halnya pusat, daerah yang dipimpin datu terdiri dari wanua dan daerah pedalaman (samaryyada). Pusat (kadatuan) mengendalikan dan mengawasi daerah (mandala) oleh “para staf kerajaan” (huluntuhan), termasuk menerima pajak dan penghasilan (dravya) dari daerah. Model yang disusun Hermann Kulke merupakan “model konsentris” yang menganggap ruang sebagai teritori dari persepsi politik elit (raja, datu) pada masa itu.

Dari segi ekonomi dan perdagangan dikembangkan model dendritik sebagai penyesuaian dari teori tempat pusat (central place teory). Beberapa ahli misalnya Bennet Bronson (1977), yang kemudian dikembangkan oleh John Miksic (1984) dan Piere Yves Manguin (2002) telah menerapkan model tersebut pada wilayah Sumatera yang memiliki jaringan sungai yang menghubungkan antara daerah pesisir dan daerah pedalaman melalui kajian arkeologi. Model dendritik digunakan untuk menjelaskan jenjang situs mulai dari situs yang dianggap sebagai tempat pusat tingkat pertama (di hilir dan muara sungai di pantai) dan kaitannya dengan situs-situs di tempat-tempat pusat yang lebih rendah tingkatannya yang terdapat pada anak dan cabang sungai di hulu dan di pertemuan sungai.

Kedua model struktur keruangan tersebut (model teritori konsentris dan model dendritik tempat pusat) tentunya menjadi bahan pertimbangan untuk menafsirkan peran Sungai Lematang sebagai jalur komunikasi yang mempengaruhi tumbuh kembangnya peradaban kuna di kawasan situs Bumiayu.

Kawasan Situs Bumiayu

Keberadaan situs percandian Bumiayu pertama kali dilaporkan oleh Tombrink pada tahun 1864, kemudian oleh Knapp 1902 dan tahun 1930an oleh Westenenk, Bosch dan Schnitger. Dalam laporan Knapp yang mengadakan perjalanan melalui Sungai Lematang ia sampai pada sebuah gundukan (tumulus) yang tingginya 1,75 meter yang mengandung bata. Menurut penduduk situs itu merupakan peninggalan Kerajaan Kadebong Undang yang wilayahnya mencakup Modong dan Babat. Di Situs Babat Schnitger mencatat adanya sebuah arca Brahma dan di Situs Modong terdapat sebuah lingga (Soeroso 1994).

Kawasan Situs Bumiayu, Situs Modong dan Babat menempati lembah Sungai Lematang. Secara administratif Kawasan situs Bumiayu terletak di Desa Bumiayu, Kecamatan Tanahabang, Kabupaten Muara Enim, Provinsi Sumatera Selatan, sedangkan Situs Modong berada di bagian hilirnya berjarak sekitar 17 km. Situs Modong dan Babat kini hanya menyisakan pecahan-pecahan bata kuno dan lokasi sekitar situs Modong telah menjadi lahan pemakaman penduduk. Sebagian besar sisa bangunan bata telah hilang karena pengikisan tebing sungai.

Proses fluvial yang terjadi di sepanjang aliran Lematang berupa pengikisan, pengendapan dan pengangkutan material oleh air. Pada saat banjir air meluap sampai ke dataran, air mengendapkan material sungai sehingga membentuk tanggul alam (natural levee), yaitu tempat yang lebih tinggi, sedangkan daerah yang lebih rendah dan cekung selalu tergenang air banjir sehingga membentuk rawa belakang (backswamp). Pengikisan terjadi pada tebing luar meander sungai, sedangkan di teras bagian dalam meander terjadi pengendapan. Akibat pengikisan tebing luar meander terjadi pemenggalan meander dan air sungai mengalir meneruskan saluran yang dibentuk oleh pemenggalan itu. Meander yang terpenggal itu pada kedua ujungnya tersumbat oleh endapan tanahliat karena kederasan aliran air berkurang (Tjia 1987). Penggalan meander yang sudah terpisah dari sungai asalnya dan masih berisi air disebut danau ladam (oxbow lake), sedangkan jika kering dikenali sebagai saluran penggalan meander (meander cut-off).

Beberapa bentuklahan (landform) yang terbentuk oleh proses fluvial tersebut merupakan tempat-tempat yang dipilih manusia untuk bermukim. Pada masa sekarang perkampungan penduduk Bumiayu dan sekitarnya menempati tanggul alam, teras meander, teras danau ladam (ox-bowe lake) dan dataran aluvial. Kompleks percandian Bumiayu menempati dataran aluvial di sisi barat Sungai Lematang dengan latar belakang Danau Candi yang merupakan rawa belakang. Pada bagian utara kawasan situs dijumpai lagi rawa belakang yang dikenal dengan nama Danau Lebar.

Pada sisi timur aliran Sungai Lematang terletak Danau Besar dan Danau kecil, keduanya merupakan ujung-ujung dari sebuah danau ladam yang terbentuk oleh penggalan meander. Penduduk menyebutnya Danau Keman. Pada teras bekas meander Sungai Lematang itu ditemukan artefak-artefak tembikar dan keramik kuna yang menunjukkan adanya permukiman kuna. Pada masa lalu lokasi tersebut menyatu dengan kawasan percandian sebelum dipisahkan oleh aliran Sungai Lematang. Dahulu dusun lama Bumiayu terletak di teras danau ladam itu, ketika aliran Sungai Lematang berpindah, penduduk pun ikut pindah di lokasi sekitar candi sekarang.

Pada saat ini proses pengikisan tebing luar meander Sungai Lematang semakin mengancam keberadaan situs candi. Pengukuran erosi meander pada tahun 1991-1992 memperlihatkan bahwa perpindahan Sungai Lematang akibat erosi ke samping atau erosi meander adalah lebih kurang 10 meter/tahun. Pada saat itu diperkirakan pada tahun 2013 candi yang terdekat dengan sungai, yaitu Candi 1 akan lenyap karena erosi meander (Intan 1994)[1]. Pada tahun 2006 - 2007 beberapa rumah penduduk telah lenyap karena lahannya runtuh ke sungai.

Gambar 3. Erosi di tebing luar meander sungai telah melenyapkan rumah-rumah penduduk di Desa Bumiayu.


Penggalian arkeologis pertama kali di Situs Bumiayu dilaksanakan oleh Pusat Penelitian Arkeologi Nasional pada tahun 1990. Gundukan tanah yang digali pertama adalah apa yang sekarang disebut Candi Bumiayu 1. Penggalian berikutnya pada gundukan-gundukan tanah lainnya sampai tahun 2007 telah memunculkan bangunan-bangunan dari bata, baik berupa candi maupun sisa pondasi bangunan. Tercatat ada empat bangunan candi, satu struktur bangunan dan menyisakan lima gundukan tanah yang belum dikupas. Bangunan-bangunan candi itu diketahui berasal dari agama Hindu yang bersifat tantris. Unsur-unsur agama Buddha terdapat di Candi 2, dengan ditemukannya
dua arca perunggu yang menggambarkan tokoh Budha dan Bodhisattwa Awalokiteswara dalam penggalian tahun 2001 yang dilaksanakan oleh tim dari Proyek Pembinaan Peninggalan Sejarah dan Purbakala dan Permuseuman Provinsi Sumatera Selatan.


Para ahli memperkirakan kronologi kawasan situs Bumiayu berasal dari abad IX – XIII Masehi berdasarkan analisis keramik (lihat tulisan Eka Asih Putrina), gaya arsitektur candi (lihat tulisan Tri Marhaeni) dan bentuk tulisan kuno (paleografi) pada selembar kerta emas yang ditemukan pada buli-buli di sekitar situs (Atmodjo 1993). Analisis C-14 dari sampel arang yang ditemukan dalam penggalian Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional (Puslitbang Arkenas) pada 2007, menghasilkan pertanggalan sekitar tahun 1110 – 1330 atau abad XII – XIV Masehi.

Kronologi kawasan situs candi tersebut mengarah pada hubungan antara Kerajaan Sriwijaya di Sumatera dan kerajaan-kerajaan di Jawa. Pada abad IX Masehi terjadi peperangan antara raja Balaputra dengan iparnya, Rakai Pikatan. Balaputra berhasil dikalahkan kemudian melarikan diri ke Suwarnadwipa dan menjadi raja di Sriwijaya (BB Utomo 1993). Satyawati Sulaiman (dalam BB Utomo 1993) beranggapan bahwa arca-arca yang bergaya seni Jawa Tengah atau bergaya Sailendra dibawa oleh keluarga Sailendra (Balaputra) yang menyingkir ke Sumatera pada pertengahan abad IX Masehi.

Pemetaan awal pada situs ini pada tahun 1991 oleh Pusat Penelitian Arkeologi Nasional menampakkan adanya gundukan-gundukan tanah yang dikelilingi oleh sungai-sungai kecil, yaitu Sungai Piabung, Sungai Tebat Jambu, Sungai Tebat Tholib, Sungai Tebat Siku dan Sungai Tebat Panjang. Sungai-sungai tersebut saling berhubungan sebagai pembatas lahan candi dan alirannya kemudian masuk ke Sungai Batanghari Siku yang bermuara ke Sungai Lematang.

Lahan percandian seluas kurang lebih 75 ha yang dikelilingi sungai-sungai merupakan lokasi yang dipilih para elit (Guru, silpin) untuk mendirikan bangunan suci. Menurut pandangan agama Hindu, suatu tempat suci adalah suci karena potensinya, yaitu tanahnya, sedangkan bangunan menduduki tempat nomor dua (Soekmono 1974; Ferdinandus 1993). Hal ini mengacu pada konsep ksetra dan tirtha dalam persyaratan mendirikan bangunan suci di India. Ksetra adalah tempat-tempat tinggi (gunung, bukit) yang dianggap suci, sedangkan tirtha atau air yang dianggap suci, sehingga lokasi yang dianggap suci untuk mendirikan bangunan candi adalah lokasi yang terletak dekat air atau dikelilingi air.

Di luar area percandian yang dikelilingi sungai yang membentuk parit keliling, ditemukan situs-situs permukiman di sepanjang Sungai Lematang. Tidak tertutup kemungkinan di sepanjang tepi aliran Lematang dari percandian Bumiayu sampai ke situs Modong dan Babat pernah dimukimi oleh penduduk masa lalu dalam beberapa kelompok, namun jejak-jejaknya sebagian telah terhapus oleh erosi tebing meander dan berpindah-pindahnya aliran Sungai Lematang. Sisa-sisa hunian juga ditemukan di dalam area percandian (di dalam parit keliling) melalui penggalian-penggalian arkeologis yang dilaksanakan oleh Balai Arkeologi Palembang dan Puslitbang Arkenas.

Struktur Internal dan Hubungan Eksternal

Serangkaian penelitian arkeologi menggambarkan adanya kelompok-kelompok permukiman penduduk pada masa berfungsinya candi-candi di Bumiayu, yaitu permukiman pada area candi dan permukiman di sepanjang tepi aliran Sungai Lematang. Bukti-bukti arkeologis tersebut menggiring kita kepada skenario mengenai kehidupan kelompok-kelompok sosial di kawasan Bumiayu. Dapat dibayangkan sedikitnya ada dua kelompok sosial yang mendukung tumbuhnya peradaban di wilayah Bumiayu, yaitu kelompok elit dan kelompok penghasil bahan makanan dan pengumpul bahan baku.

Kelompok elit menempati lokasi pusat (central place), mungkin pada area percandian atau dekat area percandian. Kelompok ini mengatur dan mengelola kegiatan-kegiatan ritual keagamaan, memelihara candi dan bangunan-bangunan serta lainnya di area percandian. Kelompok ini terdiri dari para pendeta dan pembantu-pembantu pendeta yang bertugas menyiapkan upacara serta kelengkapannya dan mengurus bangunan suci. Kelompok elit lainnya adalah kalangan birokrasi yang mengatur daerah Bumiayu secara otonom. Kelompok ini dipimpin oleh seorang yang berkuasa di wilayahnya yang mengatur segala urusan untuk kepentingan status dan kekuasaan mereka. Mengacu pada model teritori Kulke (1993) pimpinan kelompok elit itu semacam datu yang membawahi sebuah mandala. Datu, keluarga dan pembantu-pembantunya menempati lokasi pusat (central place) yang dilingkungi oleh hunian kaum elit lainnya yang terdiri dari kalangan birokrasi, kaum pendeta dan para pembantu mereka.

Kelompok kedua, yaitu kelompok penghasil bahan makanan dan pengumpul bahan baku lainnya, merupakan kelompok yang bertumpu pada kegiatan ekonomi dan subsistensi. Kelompok ini terdiri dari para penghasil bahan makanan (pertanian dan perikanan) pengumpul dan peramu hasil hutan dan tambang. Kelompok inilah yang mendiami tempat-tempat di sepanjang tepi Sungai Lematang. Sungai tersebut merupakan akses menuju hilir (pusat Sriwijaya) dan daerah pedalaman (samaryyada) yang ada di sekitar kawasan Bumiayu sampai hulu Lematang di dataran tinggi Pasemah untuk memperoleh bahan baku lainnya yang dibutuhkan.

Skenario tentang kehidupan sosial-ekonomi masyarakat di wilayah Bumiayu mengacu pada tipe masyarakat “rank redistribution” yang memiliki ciri-ciri: bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri dan subsistensi. Pada masyarakat semacam itu muncul kelompok elit yang memperlihatkan status mereka yang lebih tinggi antara lain melalui bidang keagamaan dengan bangunan-bangunan sucinya. Dengan memperlihatkan status dan kekuasaan, mereka menganggap dirinya layak menerima upeti yang akan membebaskan mereka dari keharusan bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup sendiri. Untuk membangun candi misalnya dibutuhkan tenaga arsitek demikian pula untuk kelengkapan upacara diperlukan jasa pembantu pendeta. Hal itu menumbuhkan kelas pekerja baru yang bukan subsistensi (non-food producer) yang pada gilirannya masuk dalam kelompok elit pula. Kelompok elit ini menempatkan huniannya terpisah dari kelompok lain dan biasanya menempati lokasi pusat (central place) dimana masyarakat datang membawa upeti yang dibutuhkan (Johnston 1984).

Kembali kepada masyarakat masa lampau Bumiayu. Kelompok elit mengelola surplus produksi bahan makanan dan bahan baku lainnya yang selanjutnya menumbuhkan kegiatan pertukaran (exchange) atau perdagangan. Kegiatan tersebut mendatangkan kelompok pedagang (vaniyaga) dari luar yang mengorganisasikan transaksi komoditi di wilayah Bumiayu untuk didistribusikan ke Palembang. Berkaitan dengan hal itu wilayah Bumiayu diduga kuat menjadi tempat penyimpanan komoditi (entrepot) bahan makanan dan bahan baku lainnya. Hal itu dapat terjadi dengan adanya pelabuhan di Sungai Lematang sebagai jalur distribusi komoditi hulu-hilir.

Posisi Sungai Lematang sangat strategis karena memiliki akses langsung ke pusat-pusat penghasil produk di dataran tinggi Pasemah dan sekitarnya. Dataran tinggi ini memasok barang-barang komoditi yang sangat dibutuhkan seperti hasil pertanian, komoditi-komoditi hasil hutan, emas dan pertambangan bijih besi. Oleh para saudagar komoditi-komoditi tersebut selanjutnya didistribusikan ke tempat pusat utama di Palembang melalui Sungai Lematang sampai ke hilir Musi.

Peran kaum pedagang (vaniyaga) sangat besar dalam pengembangan ekonomi Kerajaan Sriwijaya sejak abad VII Masehi, seperti yang disebutkan dalam Prasasti Telaga Batu dan data tekstual lainnya (Cina, Arab). Sebenarnya yang ingin dikemukakan sehubungan dengan kelompok pedagang adalah kehidupan sosial penduduk masa Sriwijaya yang berciri “rank redistribution” terutama di daerah hulu mengalami proses perubahan dalam pengelolaan surplus bahan makanan dan bahan baku lainnya dengan kedatangan para pedagang dari luar. Pada gilirannya kegiatan perdagangan mempengaruhi organisasi sosial dari “rank redistribution” ke “merkantilisme” (merchantilism).

Pada awal mula merkantil pedagang dalam jumlah kecil bepergian dari satu tempat ke tempat lain membeli surplus produksi dan menjual produk lain sebagai gantinya. Frekuensi kunjungan mereka ke setiap tempat akan tergantung pada volume produksi di sana dan sifat produk (misalnya bulanan, tahunan). Seiring dengan peningkatan produksi yang melibatkan jumlah orang dalam sistem produksi yang dikelola kelompok elit, menimbulkan permintaan (demand) yang lebih besar bagi jasa merkantil. Terlebih lagi dengan semakin terspesialisasi penghasil dalam kegiatan mereka dan juga semakin tergantung pada penghasil lain dalam berbagai produk yang dibutuhkan, maka mereka perlu lebih banyak membeli kebutuhan hidup mereka. Para pedagang menyiapkan hal ini dengan mengumpulkan berbagai produk terlebih dulu di tempat tertentu dan waktu tertentu. Kumpulan para pedagang ini merupakan tempat-tempat terartikulasinya perdagangan (trade articulation point). Para pedagang dan penghasil produk bertemu pada waktu tertentu di tempat-tempat itu untuk kegiatan jual-beli atau pasar (Johnston 1984).

Dalam hal ini wilayah Bumiayu merupakan pasar berbagai produk hasil bumi dan bahan baku lainnya dimana para pedagang dari tempat pusat tingkat pertama atau dari pusat Kerajaan Sriwijaya datang untuk melakukan transaksi. Kegiatan perdagangan ini mendatangkan keuntungan bagi kelompok elit lokal. Kelompok ini menikmati pendapatan dari upeti dan keuntungan dari perdagangan untuk kepentingan status sosial mereka dan kekuasaan. Sebagian dari pendapatan digunakan untuk pemeliharaan bangunan-bangunan candi dan kelangsungan hidup para pengelolanya, termasuk membeli komoditi impor antara lain keramik kualitas tinggi untuk memperlihatkan status mereka (lihat tulisan Eka Asih). Sebagian lagi dari keuntungan mungkin disetorkan ke pusat Kerajaan Sriwijaya sebagai pajak atau penghasilan (dravya), dimana pusat mengendalikan dan mengawasi tempat-tempat pusat (central places) yang ada di daerah.

Berdasarkan data arkeologi, keramik yang berasal dari abad X – XIII Masehi merupakan keramik yang paling banyak ditemukan di kawasan situs Bumiayu (lihat tulisan Sukowati dan Eka Asih Putrina). Hal ini menunjukkan bahwa perkembangan permukiman penduduk termasuk bangunan-bangunan suci terjadi pada masa-masa tersebut. Tumbuh dan berkembangnya mandala Bumiayu sebagai tempat pusat (central place) terjadi sekitar dua abad setelah wanua Sriwijaya dibangun di Palembang. Mandala Bumiayu tetap eksis selama kurang lebih empat abad. Hampir tidak ada tempat pusat lainnya di wilayah Sumatera Selatan (kecuali pusat Sriwijaya di Palembang) yang mengimbangi kawasan Bumiayu, berdasarkan besaran dan kompleksitas situs serta banyaknya bangunan-bangunan suci.

Pada abad XI – XIII Masehi Bumiayu sebagai tempat pusat (central place) tingkat kedua tampaknya menyaingi pusat Sriwijaya di Palembang, apalagi ketika Kerajaan Sriwijaya mengalami penyerbuan pasukan Rajendra Cola dari India pada tahun 1025 dan pindahnya ibukota Sriwijaya ke Jambi. Berita Cina menyebutkan bahwa pada 1079 dan 1082 ibukota Sriwijaya pindah dari Palembang ke Jambi dan utusan yang dikirim ke Cina pada tahun 1079 dan 1088 berasal dari Zanbei (Jambi) (Ninie Susanti 2006). Akibat peristiwa-peristiwa politik tersebut, kontrol pusat terhadap mandala Bumiayu berkurang dan semakin longgar. Hal ini memberikan keleluasaan bagi kelompok elit lokal Bumiayu untuk mempertahankan bahkan mengembangkan kekuasaannya. Wilayah Bumiayu menjadi tempat pusat terpenting sebagai entrepot produk pertanian dan bahan baku lainnya yang diperoleh dari daerah pedalaman Kerajaan Sriwijaya.

Dalam bidang keagamaan kelompok elit Bumiayu mengadakan kontak langsung dengan para penguasa dan kalangan pendeta dari luar pusat Sriwijaya. Kontak budaya tersebut berkaitan dengan pendalaman ajaran-ajaran dan aliran-aliran agama Hindu (antara lain Tantis Siwa) dengan memadukan unsur-unsur budaya setempat dengan unsur-unsur budaya luar. Hal ini tercermin dari bentuk-bentuk arsitektur candi dan ikonografi arca-arca dari abad XI-XIII Masehi yang ditemukan di kawasan situs Bumiayu (lihat tulisan Tri Marhaeni dan Sondang S. Siregar).

Uraian-uraian tersebut di atas merupakan sebuah skenario untuk menyingkap tabir peradaban di daerah aliran Sungai Lematang. Tentunya skenario ini perlu didukung oleh penelitian-penelitian lebih lanjut yang berkesinambungan.


DAFTAR PUSTAKA

Atmodjo, MM Sukarto, 1993, Tirthayatra, dalam Sriwijaya dalam Perspektif Arkeologi dan Sejarah (ed. Mindra F). Palembang: Pemerintah Daerah Tingkat I Sumatera Selatan.

Bambang Budi Utomo, 1993, Menyingkap Lumpur Lematang, dalam Sriwijaya dalam Perspektif Arkeologi dan Sejarah (ed. Mindra F). Palembang: Pemerintah Daerah Tingkat I Sumatera Selatan.

Bintarto, H.R., 1995, “Geografi Manusia”. Yogyakarta: Fakultas Geografi Univ. Gadjah Mada.

Ferdinandus, Peter, 1993, Peninggalan Arsitektural dari Situs Bumi Ayu Sumatera Selatan, dalam Amerta Berkala Arkeologi 13. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional.

Intan, Fadhlan S., 1994, Candi Tanah Abang di Antara Kemegahan dan Ancaman Kepunahannya: Suatu Sumbangan Pemikiran, dalam Amerta Berkala Arkeologi 14. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional.

Johnston, R.J., 1984, City and Society An Outline for Urban Geography. London: Hutchinson University Library.

Kulke,Hermann, 1993, “Kadatuan Srivijaya”- Empire or Kraton of Srivijaya? A Reassesment of the Epigraphical Evidence, dalam Bulletin de l’Ecole Francaise d’Extreme-Orient. Paris: EFEO.

Manguin, Piere-Yves, 2002, “The Amorphous nature of Coastal Polities in Insular Southeast Asia: Restricted Centres, Extended Peripheries”. Moussons. dalam The Early Historical Maritime States

Manguin, Piere-Yves, Soeroso, Muriel Charras, 2006, “Bab 3 – Daerah Dataran Rendah dan Daerah Pesisir: Periode Klasik” dalam Menyelusuri Sungai, Merunut Waktu: Penelitian Arkeologi di Sumatera Selatan. Jakarta: Puslibang Arkeologi Nasional.

Ninie Susanti, Y.,2006, Sejarah Kerajaan Melayu Kuno: Keterkaitannya dengan Kerajaan-Kerajaan Lain di Nusantara, dalam Seminar Melayu Kuno “Titik Temu” Jejak Peradaban di Tepi Batanghari. Jambi 16 Desember 2006: Bappeda Provinsi.

Soekmono, 1974, Candi, Fungsi dan Pengertiannya. Disertasi Universitas Indonesia.

Soeroso, M.P., 1994, South Sumatra in the 12th – 13th Century AD”., dalam Southeast Asian Archaeology 1994 Proceedings of the 5th International Conference of the European Association of Southeast Asian Archaelogist. Paris, 24th-28th October 1994.

Tjia, H.D., 1987, Geomorfologi. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka Kementerian Pendidikan Malaysia.



[1] Beberapa tahun setelah pengukuran itu Bupati Muara Enim memerintahkan untuk membuat saluran untuk mengurangi aliran Sungai Lematang. Mungkin karena penempatan sudetan itu kurang tepat, erosi masih tetap terjadi sampai sekarang.

SEBIDUK DI SUNGAI MUSI

Akhirnya warung kopi yang ditunggu datang juga. Warung itu perlahan menyeberangi Sungai Musi menuju ilir. Sampai di depan Benteng Kuto Besak, warung ditambatkan di antara perahu-perahu ketek yang sedang menunggu penumpang.

“Maaf saya baru mengantar rombongan Bapak Gubernur dan Walikota meninjau rumah-rumah rakit”, kata Harun (47), pengelola warung kopi terapung. Sore itu Harun terlambat satu jam. Biasanya setiap habis ashar perahu yang tampil beda dari perahu-perahu lainnya itu merapat di dermaga Benteng Kuto Besak (BKB), Palembang.

Rais (17), putra Harun, dengan cekatan menyodorkan tangga kepada pelanggan yang lama menunggu untuk naik ke warung kopi. Ibunya sedang sibuk menggoreng pisang di dalam perahu. Empek-empek, bakwan, tahu goreng, tekwan, pastel, pisang goreng merupakan menu tetap tiap sore di warung itu. Makanannya bersih, rasanya lumayan dan harga murah meriah.

Warung kopi terapung yang dikelola Harun, merupakan satu dari enam warung perahu yang dapat dijumpai di tepi Musi di Kota Palembang. Empat warung nasi terapung beroperasi di Pasar 16 Ilir, sedangkan dua warung kopi terapung mangkal di depan BKB. Selain keenam warung bergoyang itu, terdapat pula rumah-rumah rakit buatan baru di Seberang Ulu untuk pengunjung yang memiliki dompet lebih tebal menikmati masakan khas Palembang sambil karoke sampai larut malam. Rumah makan terapung itu namanya Warung Legenda dikelola oleh Pemerintah Kota Palembang.



Situs multi-komponen

Sejak dicanangkannya Palembang sebagai Kota Wisata Sungai oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tanggal 27 September 2005, Sungai Musi digarap serius. Jembatan Ampera yang diresmikan Presiden pertama RI, Ir Soekarno pada tahun 1964 itu kini tampak indah dengan lampu warna-warni di malam hari. Jembatan unik yang panjangnya 1777 meter itu memang telah jadi tetenger (landmark) Kota Palembang.

Pertama kali mengunjungi Palembang lima belas tahun yang lalu, di depan BKB dan Museum Sultan Mahmud Badaruddin II merupakan pasar buah yang kumuh dan tidak aman. Kini tempat itu dijadikan pelataran yang sering digunakan untuk ajang kesenian, rekreasi, pendidikan, panggung hiburan, mancing dan tempat dua sejoli memadu kasih diiringi lagu-lagu cinta yang dilantunkan para pengamen remaja penuh gaya.

Benteng Kuto Besak dan Museum SMB II telah dipugar dan dipercantik untuk obyek wisata dan pendidikan. Pada awalnya kedua bangunan ini bagian dari kompleks kraton Kesultanan Palembang Darussalam yang dikelilingi oleh kuta atau benteng. Pada masa itu ada dua benteng yang menghadap ke Sungai Musi: Kuta Lama alias Kuta Tengkuruk dan Kuta Besak.

Kuta Lama didirikan oleh Sultan Mahmud Badaruddin I dan Kuta Besak dibangun semasa Sultan Mahmud Bahauddin yang memerintah tahun 1776-1803. Belanda menghancurkan Kuta Lama pada tahun 1823 dan lahannya dijadikan rumah Komisaris Belanda yang dihuni oleh Komisaris IJ van Sevenhoven pada tahun 1825 (Djohan Hanafiah, 1988). Sekarang rumah komisaris itu jadi Museum SMB II.

Penggalian arkeologis di halaman Museum SMB II pada tahun 1990 memperlihatkan lapisan-lapisan budaya dari masa Sriwijaya dan masa Kesultanan Palembang sebelum dan sesudah benteng dihancurkan Belanda. Lapisan budaya Sriwijaya berada di bawah pada kedalaman sekitar lima meter dari permukaan tanah. Pada lapisan ini ditemukan sejumlah pecahan tembikar dan keramik Cina dari masa Dinasti Tang (abad ke-8 – 10 Masehi).

Para arkeolog meyakini daerah sepanjang Sungai Musi di Kota Palembang tersebar situs multi komponen (multi component site) yaitu situs yang menjadi tempat aktivitas manusia dari berbagai masa dan budaya. Persebarannya mulai dari Karanganyar di bagian barat sampai Sabokingking di bagian timur kota.

Di luar tapak kawasan Keraton, masih dapat dijumpai puluhan bangunan kuna di sepanjang Sungai Musi. Bangunan-bangunan tempat tinggal, makam, kelenteng, gereja dan bangunan publik lainnya. Berbagai bentuk bangunan tempat tinggal macam bangunan indis, bangunan rumah panggung dan bangunan beratap limas khas Palembang yang berumur ratusan tahun terdapat di sekitar Pasar 16 Ilir, Kampung Kapiten, Kuto Batu, Almunawar dan beberapa tempat lainnya.

Namun rumah rakit lama yang ada di Palembang sekarang tinggal hitungan jari tangan. Bentuk rumah dari zaman Sriwijaya ini biasanya digunakan sebagai tempat tinggal, gudang dan warung. Pada masa Kesultanan Palembang Darussalam, masyarakat dari etnis China tinggal di rumah-rumah rakit.

Sebiduk

Segala kekayaan budaya di sepanjang Sungai Musi memang sangat disayangkan bila dibiarkan tak terurus apalagi tergusur. Berbagai pemangku kepentingan dalam pengelolaan warisan budaya di Kota Palembang telah berbagi pengalaman dan ide dalam lokakarya yang bertajuk “ Sebiduk di Sungai Musi” diselenggarakan oleh Balai Arkeologi Palembang bulan Mei 2006. Judul lagu yang pernah populer tahun enampuluhan itu dijadikan tema lokakarya karena dianggap pas. Sebiduk dalam mengelola warisan budaya di Palembang adalah satu visi, misi dan tujuan yang sama, yaitu melestarikan dan memanfaatkan warisan budaya untuk kepentingan ilmu pengetahuan, sejarah, pendidikan dan juga pariwisata.

Tak dapat dipungkiri, mengelola warisan budaya di kota besar yang terus berkembang bukanlah hal yang mudah. Berbagai konflik kepentingan yang terus terjadi mengharuskan semua pemangku kepentingan memahami manajemen perubahan, yaitu pembangunan tanpa mengorbankan warisan budaya.

Para peserta lokakarya sepakat bahwa perencanaan pembangunan harus berwawasan pelestarian dan berkelanjutan yang mampu mengembangkan dan meningkatkan vitalitas, serta menghidupkan kembali nilai-nilai luhur yang telah pudar. Untuk itu diperlukan kebijakan pengelolaan warisan budaya secara profesional, komprehensif, terpadu, dan berkelanjutan serta mampu mengakomodasi berbagai kepentingan, agar warisan budaya terlestarikan.

Masyarakat Cinta Musi

Sore berikutnya warung kopi terapung penuh sesak. Maklum saja hujan turun dengan deras, banyak orang berteduh sambil makan dan minum. Tiba-tiba sebuah perahu ketek menyeruak mencari posisi berlabuh di sebelah warung. Rais dan dua wisatawan asing basah kuyup melompat dari perahu ketek ke warung.

Selama tiga jam Rais mengantar turis bule itu berwisata sepanjang Sungai Musi dengan perahu ketek. Wajah turis tampak puas ketika memberi bonus dua ratus ribu rupiah kepada Rais atas pelayanannya, lalu pergi menuju mobil yang telah menunggu di halaman Museum SMB II.

Tak lama kemudian seorang pemuda datang minta uang kepada Harun. “Yah...., kebiasaan lama belum juga bisa dihilangkan”, ujar Harun setelah pemuda itu pergi mengantongi beberapa ribu rupiah. Lebih lanjut lelaki kurus yang menjadi anggota Masyarakat Cinta Musi itu menjelaskan bahwa kebiasaan mengeroyok, membuntuti dan memaksa wisatawan yang hendak mencarter perahu, mengakibatkan turunnya minat wisatawan untuk berwisata sungai. Bukan itu saja, calo-calo yang main paksa itu dapat merusak citra wisata sungai Musi di Palembang.

Tampaknya Harun dan para pengemudi perahu ketek di depan BKB ingin “Sebiduk di Sungai Musi” menurut cara pandang mereka sendiri.