Sabtu, 16 Mei 2009

SUATU HARI DI BATANGHARI

Perahu ketek perlahan menembus asap di perairan Batang Hari. Matahari siang itu tampak bagaikan bulan emas dengan latar langit dan air yang berwarna sama: kelabu. Inilah pemandangan khas Batang Hari saat berlangsungnya panen raya asap di Jambi. Hutan dan gambut yang terbakar saat kemarau panjang telah menuai asap yang dirasakan langsung oleh masyarakat luas: sesak nafas, mata perih dan terganggunya transportasi darat, udara dan air.

Setelah melewati pelabuhan Talang Duku di Jambi menuju ke hulu, samar-samar terlihat belasan kelompok perahu mengapung di tengah sungai. Perahu ketek kemudian merapat pada sebuah tongkang yang memuat batu-batu kerikil dan kerakal. Sebuah perahu ponton sedang menyedot kerikil dan pasir dari dasar sungai dengan menggunakan mesin. Batu-batu kerikil dan kerakal ditampung di tongkang, sedangkan pasir dan air dibuang kembali ke sungai. Di antara pasir-pasir, bila sedang mujur, terdapat butir-butir emas. Untuk memisahkan butir-butir emas dengan pasir dan kerikil disediakan sebuah karpet. Butir-butir emas akan menempel pada karpet itu.

Salah seorang penumpang perahu ketek, turun memunguti benda-benda kecil yang terselip di antara batu-batu kerikil di dalam tongkang. “Banyak pecahan keramik Cina dan tembikar-tembikar kuno dari dasar sungai”, ujar Tri Marhaeni, peneliti dari Balai Arkeologi Palembang. Ia memperlihatkan beberapa pecahan dasar mangkuk abad ke-11-13 Masehi berasal dari Dinasti Song dan fragmen-fragmen wadah tembikar kuno. Artefak-artefak semacam itu banyak ditemukan dalam penggalian arkeologis di situs Muara Jambi, sebuah kompleks percandian agama Buddha dari abad ke-11 – 13 Masehi.

Ponton penyedot pasir di Batang Hari dikenal dengan nama donfeng dan kegiatan mereka oleh pemerintah setempat disebut PETI alias Penambangan Emas Tanpa Ijin. Ternyata tidak hanya kerikil dan kerakal, artefak-artefak kecil pun ikut tersedot dari dasar sungai oleh mesin penyedot untuk mencari emas.

Nana (21), salah seorang pekerja, membantah kalau mereka mencari emas dengan menggunakan air raksa atau merkuri, yang dianggap telah mencemarkan air Batang Hari. “Kami hanya menyedot pasir dan kerikil dari dasar sungai dan mengangkutnya dengan tongkang-tongkang”, ujar pemuda dari Subang, Jawa Barat itu yang sudah dua tahun mengadu nasib di Jambi.

Peradaban di Batang Hari

Para penumpang yang turun dari perahu ketek bukan petugas yang akan merazia kegiatan penambangan itu, meski juga punya perhatian terhadap emas Batang Hari. Mereka adalah tim arkeologi yang tengah menelusuri Batang Hari untuk merekam sisa-sisa peradaban kuno di daerah aliran sungai dan juga yang terdapat di dasar sungai.

Emas memang identik dengan Sumatera yang disebut Swarnadwipa, pulau emas. Batang Hari pun telah menyumbangkan banyak emas untuk menumbuhkan peradaban manusia di sepanjang tubuhnya. Sungai sepanjang 1740 kilometer itu, memiliki ribuan tinggalan arkeologis. Artefak-artefak emas, prasasti, arca, keramik, tembikar, manik-manik,sisa perahu, pelabuhan, sisa-sisa hunian dan bangunan suci tersebar dari hulu Batang Hari di Sumatera Barat sampai ke muara di pantai timur Sumatra di wilayah Provinsi Jambi.

Tercatat dalam sejarah, sejak abad ke-7 Batang Hari pernah menjadi ajang politik ekonomi Kerajaan Malayu dan Sriwijaya. Tubuh dan cabang-cabang sungai Batang Hari merupakan jalur dan jaringan perdagangan dari hulu ke hilir dan keluar Pulau Sumatera. Selain emas, komoditi andalan masa lalu adalah madu, lada, kayu gharu, damar dan gading. Komoditi itu ditukar dengan barang-barang dari luar negeri, seperti keramik Cina, barang-barang logam dan kaca. Bahkan berita Arab tahun 661 – 681 mencatat adanya sebuah bandar besar yang lokasinya di Zabag Sribusa. Lokasi Zabag sekarang adalah Muara Sabak di hilir Batang Hari.

Pada abad ke-13, Bala tentara Singhasari dari Jawa Timur pernah mengarungi Batang Hari dalam Ekspedisi Pamalayu tahun 1284. Tak pelak ekspedisi ini akhirnya mempertemukan kebudayaan Jawa dan Sumatera di Batang Hari. Lihat saja, ciri-ciri Singhasari (Jawa) dan lokal bertemu pada pahatan arca Prajnaparamita di Situs Muara Jambi.

Kerikil dan Candi

Mesin penyedot pasir baru saja dimatikan. Pada saat pekerja beristirahat, tim arkeologi mulai mengais kerikil-kerikil mencari artefak. Pecahan-pecahan keramik kuna pun semakin banyak ditemukan. “Biasanya pecahan-pecahan keramik kuno itu ditemukan di antara lapisan pasir dan kerikil di dasar sungai”, kata Nana. Ia menjelaskan bahwa kedalaman dasar sungai sekitar delapan meter, sedangkan pipa penyedot pasir sampai dua belas meter menembus lapisan pasir, kerikil dan tanah berlumpur.

Agus Widiatmoko, arkeolog dari Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Jambi, mengamati batu-batu kerikil dan kerakal yang diperoleh dari dasar sungai itu. “Jenis batu kerikil dan kerakal ini dijadikan batu isian Candi Kedaton di kompleks percandian Muara Jambi”, katanya.

Bangunan induk candi Kedaton, berukuran 26,30 X 27 meter, merupakan bangunan terbesar di Situs Muara Jambi. Sebagai batu isian bangunan digunakan batu kerikil dan kerakal jenis basalt, kuarsa susu, andesit, obsidian, granit, kalsedon dan konglomerat. Jenis-jenis batuan ini tidak ditemukan di Muara Jambi, sebagian sarjana memperkirakan berasal dari hulu Batang hari sekitar Pegunungan Duabelas atau Pegunungan Tigapuluh, yang berjarak seratus kilometer lebih dari Muara Jambi.

Tak disangka, dasar Batang Hari memendam jenis-jenis batuan semacam itu. Bagi Nana, batu-batu kecil itu merupakan bahan bangunan yang harganya lebih mahal ketimbang pasir. Tiap hari berton-ton kerikil dan kerakal diangkut tongkang-tongkang untuk dipasarkan, sedangkan emas yang didapat hanya sekitar dua hingga tiga gram, itu pun tidak tiap hari.

Bagi tim arkeologi, kerikil dan kerakal yang ditambang dari dasar sungai merupakan pengetahuan baru tentang adaptasi manusia masa lalu terhadap lingkungan sekitar. Siapa sangka pula, penambangan emas tanpa ijin di Batang Hari telah mempertemukan masa lalu dan masa kini, melalui butir emas, pecahan keramik dan kerikil.






Tidak ada komentar: