Selasa, 12 Mei 2009

ARKEOLOGI LAHAN BASAH DI SUMATERA BAGIAN SELATAN

1. Latar Belakang

Permukaan bumi merupakan lingkungan hidup manusia, yaitu suatu lingkungan yang mempengaruhi kehidupan manusia dan lingkungan dimana manusia mengubah dan membangunnya (Bintarto dan Surastopo 1987). Permukaan bumi sebagai tempat tinggal manusia digolong-golongkan menjadi wilayah-wilayah alamiah berdasarkan bentang alamnya, misalnya daerah pegunungan, perbukitan, lembah, dataran rendah dan pantai.

Sebagaimana wilayah alami yang lain, wilayah lahan basah (wetland) yang alami juga menjadi tempat tinggal manusia sejak masa lampau sampai sekarang. Daerah lahan basah mencakup banyak macam bentuk semuanya disatukan oleh ciri-ciri sebagai berikut.

Lahan berair tetap atau berkala, airnya ladung (stagnant) atau mengalir yang bersifat tawar, payau atau asin, merupakan habitat pedalaman, pantai atau marin, dan terbentuk secara alami atau buatan. Kategori-kategori lahan basah yang alami di Indonesia yang utama ialah lebak, bonowo, danau air tawar, rawa pasang surut air tawar dan air payau, hutan rawa, lahan gambut, dataran banjir, pantai terbuka, estuari, hutan mangrove dan hamparan lumpur lepas pantai (mud flat). Kategori-kategori lahan basah buatan yang utama di Indonesia ialah waduk, sawah, perkolaman air tawar dan tambak (Notohadiprawiro; 2006:1).

Lahan basah di Pulau Sumatera sebagian besar terdiri dari perairan rawa air tawar dan gambut dan hutan mangrove (bakau). Persebaran lahan basah tersebut sebagian besar terdapat di daerah pantai timur, sebagian kecil di pantai barat.

Pada awalnya penelitian arkeologi di daerah lahan basah Sumatera Bagian Selatan bertujuan untuk mencari lokasi pusat-pusat peradaban zaman Sriwijaya dan kerajaan-kerajaan masa sebelumnya. Daerah lahan basah di Sumatera sebagian besar terdapat di pantai timur. Menurut Obdeyn (1942 dalam Sartono 1978), seorang geolog, daerah pantai timur Sumatera masih berupa laut pada permulaan tarikh Masehi. Pada masa sekarang daerah itu berupa rawa-rawa yang tersebar sampai jarak 80 – 100 km dari garis pantai sekarang. Menurut Verstappen (1956 dalam Ulrich Scholz 1986) daerah berawa-rawa itu seluruhnya merupakan tanah dataran baru yang berbatasan dengan laut Jawa di bagian timur. “Daerah kontinental” ini berdampingan dengan Pulau Bangka dan Belitung di timur Sumatera. S. Sartono (1978), seorang geolog, menyatakan faktor penentu terjadinyadataran baru itu antara lain karena faktor sedimentasi sungai, sedimentasi marin, undak-undak pantai, vegetasi rhizofora berupa hutan bakau yang kemudian mati dan bertumpuk di rawa sehingga menjadi gambut (peat).

Hasil penelitian arkeologi yang mutakhir menunjukkan bahwa pada daerah rawa-rawa yang dulunya adalah laut, ditemukan situs-situs “pra-Sriwijaya” atau “proto-Sriwijaya” dari abad IV-V Masehi, masa Sriwijaya di Sumatera (abad VII –XIII Masehi) sampai masa pasca Sriwijaya . Sejumlah situs masa Sriwijaya ditafsirkan pula sebagai situs-situs Kerajaan Melayu Kuna, terutama situs-situs yang terdapat di wilayah Jambi, oleh karena Sriwijaya dan Melayu Kuno memiliki kurun waktu yang hampir bersamaan.

Text Box:

Text Box: Peta 1. Lahan basah di Sumatera (Sumber:  Bakosurtanal 1990 dengan perubahan)

Perkembangan selanjutnya penelitian arkeologi di daerah lahan basah dikaitkan dengan kehidupan masyarakat masa lalu yang tinggal di daerah lahan basah yang meliputi berbagai ekosistem. “Arkeologi lahan basah” atau “wetland archaeology adalah studi interaksi antara manusia masa lalu dan lingkungan lahan basah. Dari studi ini dapat diperoleh pengetahuan tentang cara-cara manusia masa lalu menyesuaikan diri dengan lingkungan lahan basah serta kearifan mereka dalam mengelola lingkungan hidupnya itu. Studi arkelogi lahan basah juga berupaya mengungkapkan budaya bahari masa lalu, mengingat daerah lahan basah di pantai timur Sumatera memiliki akses ke laut dan ke pedalaman dengan menggunakan transportasi air, yaitu perahu.

Text Box: Peta 2. Persebaran situs-situs arkeologi di  daerah lahan basah pantai timur Jambi-Palembang (Sumber: Balai Arkeologi Palembang 2008)

2. Situs Tempayan Kubur dan Garis Pantai Purba

Obdeyn membuat peta rekonstruksi pantai purba di wilayah Jambi dan Palembang- Sumatera Selatan. Menurutnya sedikit ada dua garis pantai purba yang terletak lebih ke pedalaman dari garis pantai sekarang. Garis pantai purba yang pertama berbatasan dengan Bukit Barisan yang merupakan dataran tinggi atau rendah. Bagian-bagian tertentu dari daratan tersebut menjorok jauh ke lautan merupakan tanjung, pulau, tempat dangkal. Tanjung-tanjung tersebut di antaranya Pegunungan Tiga Puluh dengan Bukit Tutuhan dan Bukit Sirih serta Bukit Bakar, Bukit Dua Belas, Bukit Ketawah, Tanjung Jambi, Tanjung Jabung yang semuanya di Provinsi Jambi, serta Bukit Siguntang di Palembang (Sartono 1978). Garis pantai purba yang kedua lebih dekat dengan garis pantai sekarang.

Penelitian arkeologi di Situs Lebakbandung, Provinsi Jambi dan Situs Sentang di Provinsi Sumatera Selatan, menghasilkan data tentang kehidupan prasejarah di pantai timur Sumatera. Kedua situs tersebut terletak pada garis batas antara daratan dan lahan basah berupa rawa lebak dan dikaitkan dengan peta Obdeyn berada pada garis pantai purba. Pada kedua situs itu ditemukan tempayan-tempayan kubur dan bekal kubur.

Pada bulan April 2008 tim Balai Arkeologi Palembang melaksanakan penggalian arkeologis di Situs Sentang yang terletak di Dusun Sentang, Desa Muara Medak, Kecamatan Bayung Lincir, Kabupaten Musi Banyuasin, Provinsi Sumatera Selatan. Situs Sentang tampak seperti “lidah tanah” yang dikelilingi rawa lebak dari limpasan banjir Sungai Medak, Sungai Sentang dan Sungai Putot. Sungai-sungai itu merupakan bagian dari Daerah Aliran Sungai Lalan. Rawa-rawa yang terdapat di DAS Lalan terdiri dari dua jenis rawa yaitu rawa pasang surut (tidal swamp) di daerah hilir mendekati pantai dan rawa lebak (backswamp) di bagian hulu Sungai Lalan. Situs Sentang berada pada jarak lurus sekitar 85 km dari garis pantai terdekat.

Penggalian arkeologis (ekskavasi) dilakukan di belakang rumah-rumah penduduk. Pada kedalaman sekitar 100 cm dari permukaan tanah ditemukan pecahan tepian periuk retak. Setelah ditelusuri dijumpai tempayan-tempayan yang berasosiasi dengan beberapa periuk kecil. Sebilah mata tombak dari besi penuh karat ditemukan tertancap ke tanah di samping tempayan.

Penggalian kotak berukuran 2 X 2 meter itu menemukan dua tempayan ganda (double jar burial) dan satu tempayan tunggal pada lapisan pasir geluhan kedalaman mulai 150 cm sampai 250 cm dari permukaan tanah . Dimaksud tempayan ganda adalah tempayan yang mulutnya ditutup oleh tempayan pula di atasnya. Dalam tempayan yang dipenuhi tanah ditemukan sisa-sisa tulang manusia dan manik-manik dari kaca.

Tempayan kubur serupa ditemukan sebelumnya di Situs Lebak Bandung, Kelurahan Jelutung, Kota Jambi dalam penggalian tahun 1997-1998 oleh Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Jambi. Lokasi situs berjarak lurus sekitar 80 km dari garis pantai terdekat. Selain tempayan kubur ditemukan pula bekal kubur berupa periuk-periuk tanah liat dan mata tombak dari besi dan manik-manik kaca pada lapisan tanah bertekstur pasir geluhan.

Text Box: Peta 3. Peta Pantai Purba Jambi-Palembang (Obdeyn 1942).Tempayan kubur dikenal sebagai budaya prasejarah. Para arkeolog mengenal dua jenis penguburan masa prasejarah yaitu penguburan primer dan penguburan sekunder. Penguburan primer merupakan penguburan langsung dan biasanya jasad dikelilingi oleh benda–benda miliknya sebagai bekal kubur. Tempayan kubur merupakan penguburan sekunder. Tulang-tulang dan rangka manusia yang telah dikubur dimasukan ke dalam wadah berupaya tempayan atau guci. Wadah kemudian dikubur bersama bekal kubur.

Ditemukannya dua situs yang memiliki ciri-ciri prasejarah menarik perhatian untuk dikaji lebih lanjut. Apalagi lokasi kedua situs berada pada daerah perbatasan antara daratan dan daerah rawa-rawa. Menilik peta Obdeyn lokasi itu merupakan garis pantai purba. Sampai sejauh ini belum diketahui secara pasti sejak kapan pantai purba itu terjadi. Hasil penelitian gambut (peat) di Pakbiban Beyuku, Kecamatan Air Sugihan di Kabupaten Ogan Komering Ilir, pantai timur Sumatera Selatan (Wijaya 2006) mungkin dapat memberi petunjuk tentang kurun waktu pantai purba. Endapan gambut di Sumatera Selatan dapat diklasifikasikan sebagai " low land peat" (gambut dataran rendah) yang umumnya menempati bagian pantai (coastal peat). Terbentuknya akumulasi endapan gambut yang mencapai + 4,3 mm/th dapat dianalogikan dengan gambut Siak-Riau, yang berdasarkan pentarikan C-14 (carbon dating) berumur absolut sekitar 4700-5220 + 200 tahun yang lalu (Diemont dan Supardi 1987 dalam Wijaya 2006).

Berdasarkan umur endapan gambut diperkirakan garis pantai purba terbentuk sebelum 4000-5000 tahun yang lalu. Pada masa itu daerah rawa dan endapan gambut masih berupa laut. Dikaitkan dengan situs-situs tempayan kubur di Lebakbandung (Jambi) dan Sentang (Sumatera Selatan), kemungkinan kegiatan penguburan masa prasejarah berlangsung di daerah pantai pada masa itu. Sebagaimana diketahui situs-situs kubur masa prasejarah banyak ditemukan di daerah pantai seperti situs kubur di Plawangan (Kabupaten Rembang, Jawa Tengah) dan pantai Gilimanuk (Bali).

Apabila umur situs tempayan kubur di Lebakbandung dan Sentang yang diperkirakan sebelum 4000-5000 tahun yang lalu dapat diterima, maka daerah pantai timur Sumatera merupakan salah satu lokasi awal hunian masyarakat prasejarah zaman neolitik yang kemudian berkembang ke pedalaman di dataran tinggi. Serangkaian penelitian arkeologi di dataran tinggi Jambi yaitu di Merangin dan Kerinci serta di dataran tinggi Pasemah dan Lahat (Sumatera Selatan) banyak menemukan situs-situs tempayan kubur dan peninggalan megalitik lainnya. Untuk mengetahui secara pasti memang perlu analisis pentarikhan C-14 pada temuan-temuan di Situs Sentang dan Situs Lebakbandung.

Text Box: Foto 1. Tempayan kubur dan bekal kubur dari Situs SentangBenda-benda bekal kubur di Situs Sentang banyak dimiliki penduduk yang melakukan penggalian liar pada tahun 1980-an. Pada umumnya koleksi penduduk berupa tembikar berbentuk periuk dengan hiasan jala di badannya. Sebuah temuan yang dimiliki penduduk berbentuk kendi memerlukan analisis lebih lanjut. Kendi berukuran tinggi 28 cm, diameter badan 20 cm dan diameter mulut 3,5 cm. Bagian leher kendi terdapat hiasan berupa kelopak bunga. Kendi dibuat dari bahan batuan (stoneware) warna merah muda yang terlihat di bagian dasar. Secara umum terlihat keramik tersebut berglasir, tetapi sudah aus. Warna glasir coklat kekuningan dengan teknik celup. Berdasarkan jenis bahan dan warna serta glasirnya diperkirakan kendi itu berasal dari China dari masa Dinasti Han (3 SM – 3 M).

Text Box: Foto 2. Kendi dari Situs Sentang.Kendi itu perlu diidentifikasi ulang oleh beberapa ahli keramik untuk memastikan asal dan masanya. Walaupun demikian dapat disimpulkan bahwa kendi tersebut berasal dari luar. Apabila kendi itu berasal dari China masa Dinasti Han, dapat diajukan hipotesis bahwa Situs Sentang merupakan salah satu situs masa “proto Sriwijaya” atau “pra-Sriwijaya”. Pada masa tersebut diperkirakan bentang alam tidak jauh berbeda dengan kondisi sekarang, yaitu dataran yang dikelilingi oleh rawa-rawa lebak. Sungai Medak yang berhubungan dengan Sungai Lalan menjadi jalur transportasi dari hulu ke hilir.

3. Situs-situs masa “proto-Sriwijaya”

Menurut data tertulis, sebelum muncul Sriwijaya sebagai kerajaan telah ada kerajaan-kerajaan di Sumatera. Berita China menyebutkan antara tahun-tahun 430-473 ada lima kerajaan yang mengirimkan 20 utusan persahabatan ke negeri China, antara lain perutusan dari Ho-lo-tan, P’o-huang, dan Kan-t’o-li. Setelah tahun 473 hanya Kan-t’o-li yang mengirimkan perutusan ke China dan diperkirakan kerajaan ini sebagai kerajaan Sriwijaya yang mula-mula atau “proto-Sriwijaya”.

Situs-situs yang diduga berasal dari masa “pra-Sriwijaya” atau disebut juga “proto-Sriwijaya” ditemukan relatif dekat dengan garis pantai sekarang. Situs-situs tersebut adalah Kawasan Situs Karangagung Tengah dan Kawasan Situs Air Sugihan di Sumatera Selatan.

Situs Karangagung Tengah (Kabupaten Musi Banyuasin, Provinsi Sumatera Selatan) berasal dari sekitar abad IV Masehi (220-440 dan 320-560 Masehi) berdasarkan analisis radio karbon pada sampel tiang kayu rumah yang ditemukan dalam penggalian tahun 2000 oleh Balai Arkeologi Palembang. Selain sisa bangunan ditemukan pula kemudi perahu kuno dari kayu, tembikar, manik-manik batu dan kaca, anting, gelang kaca, batu asah, cincin dan anting emas serta liontin perunggu.

Kawasan situs terletak di antara Sungai Lalan dan Sungai Sembilang yang dihubungkan oleh sungai-sungai kecil. Persebaran situs Karangagung Tengah berpola linear mengikuti aliran sungai terutama situs-situs di Mulyaagung dan Karyamukti, sedangkan situs-situs lainnya berpola menyebar (Tri Marhaeni 2005). Sisa tiang-tiang kayu rumah di kawasan situs Karangagung Tengah ditemukan dalam keadaan insitu. Tiang-tiang utama dibuat dari batang pohon kayu keras dengan diameter antara 14- 35 cm. Bagian bawah tiang setelah dicabut dari tanah tampak dilancipkan dengan alat logam dan bekas pangkasan pada permukaan kayu setelah dilepaskan kulit kayunya. Kemungkinan tiang kayu berasal dari sejenis kayu besi, misalnya pohon ulin atau tembesu, jenis kayu kualitas baik yang banyak ditemukan di DAS Lalan. Selain batang pohon kayu keras, ditemukan pula tiang-tiang dari batang pohon nibung (oncosperma filamentosa) dengan ukuran garis tengah antara 8- 18 cm.

Kawasan Situs Air Sugihan terletak di wilayah Kabupaten Banyuasin dan Ogan Komering Ilir, Provinsi Sumatera Selatan. Kawasan situs ini sebagian besar berupa daerah rawa gambut dengan ketinggian sekitar 2--3 meter d.p.l.

Temuan arkeologis yang ditemukan di Situs Air Sugihan berupa manik-ma­nik kaca dan batu Carnelian, pecahan tembikar dan keramik, dan sejumlah perhiasan emas. Berdasarkan pertanggalan keramiknya. Situs Air Sugihan berasal dari sekitar abad ke-5--6 Masehi. Ke­ramik yang ditemukan di daerah itu berasal dari China masa Dinasti Sui (abad V Masehi). Keramik-keramik Cina yang berasal dari abad XI Masehi banyak ditemukan dalam ekskavasi tahun 2007 oleh Puslitbang Arkeologi Nasional

Penggunaan kayu nibung (oncosperma filamentosa) untuk tiang-tiang bangunan kuno dijumpai pula di Situs Kertamukti1 Air Sugihan (Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan). Penggalian arkeologi di Kertamukti1 Air Sugihan pada tahun 2007 dilakukan pada lahan bekas sungai kecil dan rawa yang terletak di daerah permukiman transmigrasi. Dalam ekskavasi ditemukan sisa-sisa bangunan rumah panggung yang seluruh tiangnya dari kayu nibung. Selain itu ditemukan pula tali ijuk, pecahan-pecahan tembikar dan keramik China, manik-manik, sudip dari kayu dan fosil kayu.

4. Situs-situs masa Sriwijaya

Penelitian arkeologis yang intensif di Palembang sejak tahun 1970an sampai 1990an oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional (Puslitbang Arkenas) dan Balai Arkeologi Palembang, telah memperkuat bukti bahwa Palembang pernah menjadi pusat Kerajaan Sriwijaya. Lokasi-lokasi penemuan prasasti masa Sriwijaya abad VII Masehi meliputi Situs Talang Tuo, Telaga Batu, Kedukan Bukit, Kambang Unglen, Boom Baru, dan Bukit Siguntang. Situs-situs arkeologi yang pernah disurvei dan digali oleh para arkeolog terdiri dari Bukit Siguntang, Kambang Unglen, Karanganyar, Lorong Jambu, Tanjungrawa, Talang Kikim, Padang Kapas, Lebakkranji, Ladangsirap, Candi Angsoka, Sarangwati, Gedingsuro, Sungai Buah dan Samirejo. Bukti-bukti arkeologis yang ditemukan terdiri dari arca, sisa-sisa bangunan batu dan bata, kanal-kanal, kolam-kolam, sisa-sisa perahu kayu, sisa-sisa industri manik-manik, stupika tanahliat dan cetakan stupika, tembikar dan keramik. Secara keseluruhan tinggalan arkeologis tersebut berasal dari abad VII – XIII Masehi.

Di wilayah Jambi situs-situs masa Sriwijaya dari abad IX – XIII Masehi ditemukan di kawasan Delta Berbak, Muara Jambi, dan kawasan sepanjang Sungai Batanghari. Delta Batanghari atau disebut juga Delta Berbak (Kabupaten Tanjung Jabung Timur, Provinsi Jambi) dialiri oleh sungai-sungai kecil, antara lain Sungai Pemusiran, Sungai Simbur Naik, Sungai Siau dan Lambur. Beberapa bagian tubuh sungai kini tinggal alur, demikian penduduk menyebut aliran sungai yang telah mati. Justru pada alur-alur itu para arkeolog banyak menemukan situs arkeologi.

Penemuan artefak-artefak macam keramik asing, kaca kuno dan tembikar dalam jumlah besar pada situs-situs arkeologi menggambarkan padatnya penduduk yang tinggal di daerah lahan basah itu pada abad X-XIII Masehi. Sisa-sisa permukiman kuno yang padat mengelompok di kawasan Lambur (Lambur Luar dan Lambur Dalam) dan Pemusiran Dalam (Sitihawa). Selain situs-situs permukiman di kawasan Delta Berbak juga ditemukan sisa-sisa perahu kuno dari kayu.

Text Box: Foto 3. Tiang-tiang kayu nibung di situs Kertamukti1, Air Sugihan

5. Bentang Budaya Masa Lalu

Kawasan situs arkeologi yang menggambarkan bentang budaya masa lalu (archaeological landscape) di daerah lahan basah terdapat di kawasan situs Muaro Jambi dan kawasan situs Karanganyar, Palembang. Kedua kawasan itu menunjukkan adanya upaya manusia masa lalu mengubah sebagian bentang alam dalam menata permukimannya.

Kawasan Situs Muaro Jambi terletak di Desa Muaro Jambi, Kabupaten Muaro Jambi. Serangkaian penelitian di Situs Muaro Jambi, mulai dari dari F.M. Schnitger (1935-1936), Soekmono (1954), Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (1979, 1981-1988), Bakosurtanal (1985), Tim Koordinasi Penelitian Sejarah Malayu Kuno (1994), Balai Arkeologi Palembang (2005-2006), sedikit demi sedikit menyingkap rahasia situs Muaro Jambi. Persebaran bangunan-bangunan bata di Muaro Jambi memanjang sepanjang kurang lebih tujuh kilometer mengikuti aliran Sungai Batanghari. Muaro Jambi terletak pada tanggul alam (natural levee) dan rawa belakang (back swamp) di sepanjang tepi Sungai Batanghari. Tanggul alam sungai dimanfaatkan untuk membangun candi-candi dan tempat tinggal para pengelola candi. Pada daerah rawa dijumpai kanal-kanal dan sungai kecil yang berhubungan dengan lokasi percandian dan Sungai Batanghari. Aliran pada sungai dan kanal saling berhubungan dan merupakan pintu masuk dari Sungai Batanghari menuju rawa belakang di utara situs. Diduga kanal-kanal adalah hasil buatan manusia.

Kawasan Situs Karanganyar di Palembang terletak pada meander Sungai Musi. Kawasan tersebut dikelilingi oleh kanal-kanal atau parit buatan dan di dalamnya terdapat kolam-kolam buatan. Sebuah kanal sepanjang 3,3 kilometer, yaitu kanal Suak Bujang, memotong meander Sungai Musi. Kanal-kanal lainnya saling berhubungan. Survei dan penggalian arkeologis di Kawasan Situs Karanganyar menemukan pecahan-pecahan keramik China dari masa Dinasti Tang (VIII – X Masehi), tembikar manik-manik, dan struktur bata kuno di Pulau Cempaka.

Kawasan situs Karanganyar memiliki konteks dengan Situs Bukit Siguntang yang terletak di bagian utara. Pada masa Sriwijaya, Bukit Siguntang merupakan bukit sakral sebagai tempat upacara keagamaan. Arca Buddha dari batu granit berukuran tinggi 277 cm. lebar bahu 100 cm, dan tebal 48 cm berasal dari bukit ini. Selain itu dijumpai pula sisa-sisa bangunan stupa dan fragmen prasasti batu dari abad VII Masehi.

Text Box: Peta 4. Bukit Siguntang dan Taman Purbakala Kedatuan Sriwijaya di Palembang (Sumber: Balai Arkeologi Palembang 2007).

6. Pola Hidup Masyarakat di Lahan Basah

Bukti-bukti arkeologis yang diperoleh melalui serangkaian penelitian menggambarkan pola hidup komuniti masa lalu yang bermukim di daerah pantai timur Sumatera. Diakui data arkeologi mempunyai keterbatasan dalam jumlah, kualitas dan relasinya sehingga diperlukan analogi etnografis pada komuniti tradisional suatu sukubangsa yang memiliki kemiripan lingkungan. Studi etnoarkeologi dilakukan dengan memperhatikan adanya perubahan-perubahan kebudayaan karena rentang waktu yang panjang, perubahan lingkungan dan perubahan dalam masyarakat itu sendiri. Walaupun demikian, masih dapat ditelusuri benang merah antara budaya masa lalu dan budaya sekarang yang memiliki kemiripan lingkungan alam, yaitu mitologi, pandangan hidup dan keyakinan (belief) sebagai nilai-nilai budaya yang merupakan inti dari suatu kebudayaan (Bambang Rudito 2006).

Bahan, alat dan teknologi pembuatan bangunan rumah tradisional masa sekarang, misalnya, sedikitnya akan mengalami perubahan karena perkembangan zaman, inovasi dari dalam dan adanya hubungan dengan luar. Oleh karena itu sulit diharapkan adanya persamaan yang mutlak dengan bahan, alat dan teknologi pembuatan rumah yang digunakan pada masa Sriwijaya (abad VII-XIII Masehi). Namun mitologi, pandangan hidup dan keyakinan (belief) tentang cara bermukim dan penguasaan sumberdaya yang ada di daerah pesisir, merupakan inti kebudayaan yang masih dapat ditelusuri jauh ke belakang.

Studi analogi etnografi pada hakekatnya ingin memahami nilai-nilai budaya yang terkandung dalam pola hidup komuniti di daerah pantai timur, yang berkaitan dengan bentuk permukiman, cara bermukim dan kegiatan mata pencaharian terkait dengan sumberdaya yang ada di lingkungannya.

Pada tahun 2007 dan 2008 tim Balai Arkeologi Palembang melakukan studi analogi etnografi di bagian hulu Sungai Lalan di wilayah Kecamatan Bayung Lincir, Kabupaten Musi Banyuasin, Provinsi Sumatera Selatan. Untuk melengkapi data dilakukan pengamatan di daerah lahan basah lainnya, yaitu di Banyuasin dan Kayu Agung.

Daerah lahan basah yang terdapat di bagian hulu Sungai Lalan sebagian besar adalah rawa lebak (backswamp) yang terjadi akibat limpasan banjir sungai. Semakin ke hilir mendekat pantai, dijumpai rawa pasang surut, lahan gambut dan hutan bakau. Pola kehidupan komuniti-komuniti di bagian hulu Sungai Lalan dalam beradaptasi dengan lingkungannya dapat memberikan petunjuk mengenai pola hidup komuniti kuno di Situs Karangagung Tengah dan di situs-situs lainnya di daerah rawa. Walaupun terdapat artefak-artefak dari luar yang menunjukkan adanya indikasi perdagangan dengan luar, namun berdasarkan pola kehidupan yang berhubungan dengan kebutuhan akan makanan diperkirakan komuniti kuno di Situs Karangagung Tengah adalah komuniti berladang dan nelayan yang tinggal menetap. Selain itu mereka juga mengumpulkan hasil hutan, misalnya kayu, rotan, kemenyan dan tumbuh-tumbuhan lain. Sebagaimana diketahui DAS Lalan kaya dengan berbagai jenis kayu dan memiliki kualitas tinggi, misalnya ulin, tembesu, petaling, merawan, medang, dan meranti. Tiang-tiang kayu rumah panggung yang dimiliki komuniti kuno tersebut merupakan contoh pemanfaatan hasil hutan berupa kayu kualitas baik yang diperoleh dari lingkungan sekitar. Sumber ekonomi lainnya dari hutan adalah daun nipah atau sejenis pandan. Daun ini digunakan untuk atap rumah dan perahu yang menggunakan atap daun –daunan. Jenis tanaman ini biasanya digunakan pula untuk membuat keranjang dan perlengkapan hidup lainnya.

Hal yang jarang terdapat di situs-situs permukiman lainnya adalah ditemukannnya tempurung kelapa dalam jumlah yang relatif besar dalam penggalian arkeologis di kawasan situs Karangagung Tengah. Tempurung kelapa ditemukan dalam bentuk potongan-potongan dan ada pula yang berupa batok kelapa yang dipotong menjadi dua dengan menggunakan benda tajam dari logam (Tri Marhaeni 2005). Tinggalan arkeologis tersebut memberikan indikasi adanya jenis tanaman hasil ladang dan peralatan benda tajam yang digunakan.

Selain tempurung kelapa, tinggalan ekofak di Situs Mulyagung1 berupa tulang dan gigi hewan, cangkang molusca dapat menjadi indikasi tentang pola hidup mereka mengenai kebutuhan makanan yang diperoleh dari lingkungan sekitar. Tulang-tulang yang ditemukan terdiri dari tiga kelas, yaitu mamalia (binatang menyusui), aves (burung dan unggas) dan pisces (ikan). Gigi yang ditemukan berasal dari gigi dari famili suidae (babi). Berbagai jenis ekofak tersebut berasal dari hewan dan tumbuhan yang hidup di DAS Lalan.

Ditemukannya sisa-sisa tulang ikan (pisces) di dalam sisa hunian komuniti pra Sriwijaya di Karangagung Tengah lebih memperjelas adanya aktivitas menangkap ikan. Sejumlah artefak yang diduga berfungsi sebagai bandul jaring (net sinker) ditemukan dalam ekskavasi di Mulyagung1 dan Mulyaagung 4. Artefak dibuat dari sebatang kawat yang dibengkokkan sehingga membentuk lingkaran. Benda ini berdiameter lubang antara 1,7 cm – 3,4 cm dengan berat sekitar 14 gram (Tri Marhaeni 2005). Bandul jaring merupakan pemberat jaring yang dipasang di bagian bawah jaring.

Ribuan pecahan tembikar kuna ditemukan dalam ekskavasi dan survei. Bentuk-bentuk yang telah diidentifikasi berupa wadah seperti guci, tempayan, jambangan, buyung, mangkuk, cawan, kendi dan buli-buli. Berdasarkan adonan bahan tembikar, ada dua tipe tembikar, yaitu tembikar kasar dan tembikar halus. Sebagian jenis tembikar halus diperkirakan berasal dari luar yaitu Arikamedu, India (Tri Marhaeni 2005). Tembikar kasar yang diamati bahannya ada yang mengandung pirit (piryte) pada campuran pasirnya ada pula yang tidak. Selain wadah, ditemukan pula tembikar yang bentuknya mirip pelandas (anvil) yaitu peralatan membuat wadah tembikar dibuat dari tanahliat adonan kasar. Bila dikaitkan dengan artefak tersebut dapat disimpulkan wadah tembikar kasar dibuat sendiri oleh komuniti pra Sriwijaya di kawasan situs Karangagung Tengah. Sampai saat ini masih timbul keragu-raguan mengenai fungsi benda tembikar itu sebagai pelandas, mungkin pula berfungsi sebagai alat giling (Tri Marhaeni 2007), yaitu semacam gandik pada pipisan untuk melumat tumbuh-tumbuhan. Kehadiran artefak tersebut juga menimbulkan spekulasi sebagai alat pemberat untuk timbangan.

Apabila memang benar tradisi pembuatan tembikar telah dikenal oleh komuniti di DAS Lalan sejak awal tarikh Masehi, rupa-rupanya tradisi itu tidak berlanjut, hilang dan kemungkinan berkembang di daerah lain di Sumatera Selatan[1]. Berdasarkan data etnografi komuniti-komuniti di DAS Lalan tidak membuat tembikar. Kerajinan tembikar baru dimulai pada tahun 1990-an di Karangagung oleh sekelompok transmigran asal Pulau Jawa. Mereka hanya membuat anglo. Secara tradisional kebutuhan akan barang-barang tembikar diperoleh dari Kayuagung terutama tungku (keran), guci dan tempayan. Menurut keterangan penduduk kualitas bahan tembikar Kayuagung lebih baik daripada tembikar buatan transmigran di Karangagung. Ciri khas bahan tembikar Kayuagung adalah adanya pirit pada campuran pasir. Tembikar kasar yang ditemukan pada situs-situs masa Sriwijaya di Palembang umumnya memiliki pirit pada bahannya (Rangkuti dan Fadhlan 1993).

Barang-barang impor seperti tembikar Arikamedu, manik-manik, kaca dan timah yang banyak ditemukan di Karangagung Tengah merupakan data arkeologi yang ditafsirkan adanya kontak dagang dengan luar. Kesimpulan tersebut telah dikemukakan para peneliti antara lain Trimarhaeni (2005), PY Manguin, Soeroso, Murriel Charas (2006) bahwa komuniti kuno di Karangagung Tengah pra-Sriwijaya telah terlibat dalam perdagangan internasional dan inter insuler, serta kemungkinan adanya pelabuhan di sekitar kawasan Karangagung Tengah untuk memasarkan komoditi mereka.

Perahu merupakan sarana yang penting untuk transportasi dan perdagangan. Sebuah kemudi perahu dari kayu keras dan berat ditemukan di Karangagung Tengah. Kemudi ini panjangnya 287 cm dan ditemukan tidak bersama dengan sisa-sisa perahu sehingga tidak diketahui bentuk dan ukuran perahu. Berdasarkan lokasi penemuan kemudi perahu tersebut diperkirakan bentuk dan ukuran perahu dapat memasuki anak-anak sungai di daerah rawa. Di bagian hulu Sungai Lalan, penduduk memberi informasi adanya temuan-temuan perahu kuno (pinis) di Sentang dan rawa-rawa di sepanjang aliran Sungai Merang. Hal ini menunjukkan bahwa telah ada komunikasi antara komuniti-komuniti di hulu dan hilir Sungai Lalan.

Perahu yang digunakan oleh komuniti Karangagung Tengah dibuat dengan teknik tradisi Asia Tenggara[2] (Manguin dkk 2006). Jenis dan ukuran perahu niaga yang dapat memasuki anak-anak sungai di daerah rawa diperkirakan jenis perahu kajang. Perahu ini menggunakan atap dari daun-daunan kering misalnya daun nipah (kajang), menggunakan satu kemudi perahu yang berada di buritan dan dua dayung dari kayu di bagian haluan. Jenis perahu kajang yang memiliki ciri khas atap dari daun nipah terdapat pula di daerah lain yang disebut perahu kabang (Sopher 1977). Perahu ini menggunakan layar dari bahan daun-daun nipah.

Jenis perahu ini masih tersisa di daerah Kayuagung, Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan. Jenis kayu yang digunakan untuk kemudi perahu adalah jenis kayu yang berat sehingga dapat tenggelam dalam air, sedangkan jenis kayu untuk dayung adalah kayu yang ringan. Untuk ukuran perahu kajang yang panjangnya antara 6 – 8 meter digunakan kemudi perahu yang berukuran panjang sekitar 250 cm dan dayung memiliki ukuran yang lebih panjang yaitu sekitar 3 meter.

Perahu kajang dapat memuat barang-barang komoditi yang ditempatkan di bagian depan perahu. Pada bagian tengah adalah ruang keluarga dan di bagian buritan untuk dapur serta kamar mandi. Perahu kajang Kayuagung memuat satu keluarga untuk membawa barang-barang komoditi tembikar yang dijual ke daerah lain melalui sungai. Mereka meninggalkan tempat tinggalnya sampai berbulan-bulan bahkan tahun dan ketika pulang muatan perahu penuh dengan bahan-bahan makanan misalnya beras dan keperluan rumah tangga lainnya serta kayu-kayu yang diperoleh dengan cara barter maupun jual-beli. Menurut keterangan penduduk Kayuagung, perahu kajang juga dapat mengarungi laut dengan menambah layar pada bagian depan perahu.

Tidak tertutup kemungkinan jenis perahu yang digunakan komuniti pra-Sriwijaya yang hidup di daerah rawa sungai merupakan jenis perahu kajang, jenis perahu yang dapat memasuki daerah hulu sungai dan juga dapat berlayar di lautan. Dengan menggunakan jenis perahu tersebut, mereka dapat membawa komoditi hasil hutan seperti kayu-kayu kualitas tinggi, rotan, kemenyan, gading gajah, kulit harimau untuk ditukarkan dengan barang-barang impor.

Komuniti kuno yang terdapat di Kawasan Karangagung Tengah, Air Sugihan dan Delta Berbak merupakan komuniti yang tinggal menetap pada ekosistem rawa pasang surut. Oleh karena itu kepercayaan-kepercayaan tentang lingkungan darat dan air tempat mereka hidup merupakan hal yang universal. Berkaitan dengan hal tersebut hasil budaya materi seperti misalnya bangunan tempat tinggal dan perahu tentunya sesuatu yang memiliki makna dan nilai budaya bagi mereka selain fungsi praktis.

Berdasarkan data etnografi komuniti di DAS Lalan, terdapat kepercayaan-kepercayaan tentang darat dan air. Di darat terdapat kegiatan-kegiatan ritual pendirian rumah, ritual menanam padi dan berladang (beselang nugal). Komuniti yang bertumpu kehidupannya pada Sungai Lalan memiliki kepercayaan tentang antu banyu. Kepercayaan-kepercayaan semacam itu terdapat pula pada Suku Sekah di Kepulauan Bangka-Belitung, yang percaya adanya antu laut dan antu darat (Sopher 1977). Suku Sekah merupakan salah satu komuniti Orang Laut (sea nomad) yang sebagian besar waktunya berada dalam perahu. Ritual-ritual di perahu sering dilakukan, antara lain kegiatan ritual saji-sajian beras atau padi dan daun kelapa yang dibawa dalam perahu sebelum melaut.

Komuniti kuna Karangagung Tengah tentunya memiliki kepercayaan dan kegiatan ritual berkaitan dengan tanah darat dan perairan. Tanah-tanah kering yang lebih tinggi di sekitar rawa (talang) digunakan untuk penguburan, seperti yang terdapat di Situs Sentang dan Lebak Bandung. Di kawasan situs Karangagung Tengah juga terdapat tanah-tanah talang yang dikelilingi oleh rawa, namun belum ada penggalian arkeologis di lokasi-lokasi tersebut. Berdasarkan informasi di sekitar Situs Tanah Abang dan di daerah Air Sugihan terdapat lokasi-lokasi penguburan dengan tempayan kubur seperti di Situs Sentang. Tidak tertutup kemungkinan komuniti pra-Sriwijaya di Karangagung Tengah melakukan penguburan jasad manusia dengan tradisi prasejarah pada tanah kering.

DAFTAR PUSTAKA

Bambang Rudito, 2006, “Pengembangan Pola Hidup Masyarakat di Muara Jambi”, dalam Seminar Melayu Kuno “Titik Temu” Jejak Peradaban di Tepi Batanghari, di Jambi 16 Desember 2006.

Bintarto dan Soerastopo, 1987, Metode Analisa Geografi. Jakarta: L

Jazanul Anwar, Sengli J. Damanik, Nazaruddin Hisyam, 1984 Ekologi Ekosistem Sumatera. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Manguin, Piere-Yves, Soeroso, Muriel Charras, 2006, “Bab 3 – Daerah Dataran Rendah dan Daerah Pesisir: Periode Klasik” dalam Menyelusuri Sungai, Merunut Waktu: Penelitian Arkeologi di Sumatera Selatan. Jakarta: Puslibang Arkeologi Nasional.

Notohadiprawiro, Tejoyuwono, 2006, “Pemanfaatan Lahan Basah : Kontroversi yang Tidak Ada Habisnya” Repro: Jurnal Ilmu Tanah.

Rangkuti, Nurhadi, 2005, “Candi di Rawa Kalimantan” dalam Kompas (Rabu, 21 September 2005).

--------------------, 2007, “Pola Hidup Komuniti Pra Sriwijaya di Daerah Rawa: Studi Etnoarkeologi di Kecamatan Bayung Lencir, Kab. Musi Banyuasin Provinsi Sumatera Selatan”, dalam Berita Penelitian Arkeologi No.15. Palembang: Balai Arkeologi.

Rangkuti, Nurhadi dan Fadhlan S Intan, 1993, “Tembikar Kayuagung” dalam Sriwijaya dalam Perspektif Sejarah dan Arkeologi (Mindra F. ed.). Palembang: Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan.

Sartono, S., 1978, “Pusat-Pusat Kerajaan Sriwijaya Berdasarkan Interpretasi Paleogeografi” dalam Pra Seminar Penelitian Sriwijaya. Jakarta: Pusat Penelitian Purbakala dan Peninggalan Nasional.

Scholz, Ulrich, 1986, “ Persediaan Tanah di Sumatra Selatan dan Potensinya untuk Kepentingan Pertanian”, dalam Geografi Pedesaan Masalah Pengembangan Pangan (ed. Jurgen H Hohnholz). Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Soeroso, 2002, “Pesisir Timur Sumatera Selatan Masa Proto Sejarah: Kajian Permukiman Skala Makro” dalam Pertemuan Ilmiah Arkeologi IX, Kediri 23-27 Juli 2002.

Sopher, David E, 1977, The Sea Nomads: A Study of the Maritime Boat People of Southeast Asia. Singapore: National Museum.

Tri Marhaeni S Budisantosa, 2002 “Permukiman Pra-Sriwijaya di Karang Agung Tengah: Sebuah Kajian Awal” dalam Jurnal Arkeologi Siddhayatra, vol 7, No.2 Nov. 2002, halaman 65-89, Palembang; Balai Arkeologi.

--------------------------------, 2005, “Permukiman Pra-Sriwijaya di Situs Karangagung Tengah” dalam Berita Penelitian Arkeologi No:13. Palembang: Balai Arkeologi

--------------------------------, 2007, “Tinggalan Rumah Kayu di Karangagung Tengah Kabupaten Musi Banyuasin, Provinsi Sumatera Selatan” dalam Menelusuri Jejak-Jejak Peradaban di Sumatera Selatan. Palembang: Balai Arkeologi

Wijaya, Truman, 2006 “Pengkajian Endapan Gambut Bersistim di Daerah Pakbiban-Beyuku Kec. Air Sugihan, Kab. Ogan Komering Ilir, Provinsi Sumatera Selatan” (paper lepas).



[1] Tradisi pembuatan tembikar di daerah rawa masih dijumpai pada salah komuniti di Kayuagung (Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan) sampai sekarang. Belum ada kajian sejarah awal mula berkembangnya tradisi tembikar di tempat itu dalam kaitannya dengan tembikar-tembikar kuno yang ditemukan di situs-situs arkeologi di Sumatera Selatan.

[2] teknik rancang bangun perahu tradisi Asia Tenggara menggunakan teknik papan ikat dan kupingan pengikat (sewn plank and lushed plug technique). Tonjolan segi empat atau tambuku digunakan untuk mengikat papan-papan dan mengikat papan dengan gading-gading dengan menggunakan tali ijuk (Arrenga pinnata). Tali ijuk dimasukan pada lubang di tambuku. Digunakan pula pasak kayu untuk memperkuat ikatan tali ijuk.

Tidak ada komentar: