Rabu, 10 Juni 2009

DANAU SENTANI DAN ARKEOLOGI







2 Juni 2009. Jam 7 pagi pesawat terbang menghampiri tanah. Pohon-pohon sagu dan tumbuhan rawa lainnya berkelebat dengan cepat. Roda pesawat menyentuh landasan pacu dengan halus. Bandara Sentani, gerbang utama ke Jayapura seolah mengucapkan selamat pagi kepada penumpang untuk menikmati keindahan Danau Sentani, daerah lahan basah yang luas di Sentani.


Bagi orang yang baru pertama datang ke tanah Papua, Danau Sentani mengundang decak kagum. Dari udara danau itu terlihat seperti empang yang menggenangi kaki Pegunungan Cyclops. Ada 16 pulau kecil terserak di tengah danau tampak seperti bunga-bunga teratai yang mengapung di atas air berwarna hijau kebiruan. Danau ini menampung sekitar 35 aliran sungai kecil yang berhulu di pegunungan.

Perjalanan dilanjutkan dengan mobil ke kota Jayapura selama satu jam menyusuri pinggiran danau. Danau yang panjangnya sekitar 26 km itu terletak pada ketinggian sekitar 75 meter di atas permukaan air laut. Sepanjang tepi danau berdiri rumah-rumah penduduk yang sebagian besar berbentuk rumah panggung.

Pagi itu berdatangan para arkeolog seluruh Indonesia ke Jayapura dengan membawa poster dan artefak-artefak dari batu, tanah liat, kaca dan logam. Mereka mengadakan pameran akbar tentang kehidupan prasejarah di nusantara. Papua Trade Center di Jayapura dipilih sebagi tempat pameran yang mempertemukan pendukung-pendukung budaya prasejarah dari bangsa Austronesia dan bangsa Melanesid, asal nenek moyang bangsa Indonesia.

Bagi masyarakat Sentani dan Papua pada umumnya tradisi prasejarah masih berlangsung sampai saat ini. Masyarakat yang tinggal di sekitar Danau Sentasi ikut terlibat dalam pameran dengan memperagakan cara-cara membuat tembikar, alat batu, alat tulang dan lukisan pada kulit kayu. Teknologi yang digunakan berasal dari masa prasejarah. Lihat saja, mereka membuat wadah tembikar langsung dengan tangan, tanpa roda putar. Beliung batu yang diupam halus dibuat dengan cara menggosok bakal alat itu dengan batu juga. Beliung batu itu bentuk dan tekniknya mirip dengan beliung batu zaman neolitik. Mereka mencari tulang-tulang burung kasuari dan tulang-tulang babi untuk dibentuk menjadi alat pisau. Bentuk alat-alat tulang tersebut mirip dengan artefak dari tulang yang ditemukan pada gua-gua prasejarah di Pegunungan Seribu, di Jawa. Para arkeolog menyebut bentuk alat tulang itu sebagai spatula.

Danau Sentani dengan ekosistem lahan basah (wetland) memiliki keanekaragaman hayati yang dibutuhkan untuk kehidupan manusia. Sejak zaman prasejarah di tempat itu telah dihuni oleh manusia. Teknologi yang diperagakan masyarakat Sentani sekarang boleh dibilang menjadi dokumentasi hidup tentang kehidupan prasejarah di nusantara.