tag:blogger.com,1999:blog-65588200353910867892024-03-05T14:19:19.646-08:00WETLAND ARCHAEOLOGYArkeologi Lahan Basah (Wetland Archaeology) di Indonesia. Lahan basah yang mencakup rawa pasang surut, rawa gambut,rawa belakang sungai, hutan bakau, danau, lagun, dataran banjir sungai dan lainnya pernah menjadi tempat bermukim manusia masa lalu. Pusat peradaban kuna juga muncul dari lahan basah. Penelitian, pelestarian dan pemanfaatan situs-situs arkeologi di lahan basah sudah waktunya diprioritaskan untuk mengungkap kejayaan maritim bangsa Indonesia.Nurhadi Rangkutihttp://www.blogger.com/profile/05987175295898025688noreply@blogger.comBlogger16125tag:blogger.com,1999:blog-6558820035391086789.post-3784390287392830702010-03-04T23:31:00.000-08:002010-03-04T23:31:01.059-08:00WETLAND ARCHAEOLOGY: EKSPEDISI SRIWIJAYA : PENGEMBANGAN ARKEOLOGI MARITIM DI BALAI ARKEOLOGI PALEMBANG<a href="http://nurhadirangkuti.blogspot.com/2009/12/ekspedisi-sriwijaya.html#links">WETLAND ARCHAEOLOGY: EKSPEDISI SRIWIJAYA : PENGEMBANGAN ARKEOLOGI MARITIM DI BALAI ARKEOLOGI PALEMBANG</a>Nurhadi Rangkutihttp://www.blogger.com/profile/05987175295898025688noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6558820035391086789.post-77935093379845094552009-12-10T18:33:00.002-08:002009-12-10T21:58:04.368-08:00EKSPEDISI SRIWIJAYA : PENGEMBANGAN ARKEOLOGI MARITIM DI BALAI ARKEOLOGI PALEMBANG<b></b><br />
<div align="center" class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: center;"><b><o:p _moz-userdefined=""></o:p></b><br />
</div><div align="center" class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: center;"><b>Nurhadi Rangkuti<o:p _moz-userdefined=""></o:p></b><br />
</div><div align="center" class="MsoNormal" style="line-height: normal; text-align: center;"><b><i><o:p _moz-userdefined=""> </o:p></i></b><br />
</div><div class="MsoSubtitle" style="line-height: normal;"><i><span lang="IN" style="font-size: 10pt;">Abstrak<o:p _moz-userdefined=""></o:p></span></i><br />
</div><div class="MsoSubtitle" style="line-height: normal;"><i><span lang="IN" style="font-size: 10pt;">Wilayah kerja Balai Arkeologi Palembang kaya dengan sumberdaya arkeologi , baik di darat maupun di perairan. Daerah pantai timur Sumatera dan Kepulauan Bangka-Belitung merupakan wilayah yang padat dengan tinggalan budaya masa lalu, antara lain situs-situs hunian, dan pelabuhan-pelabuhan di daerah pesisir serta peninggalan bawah air berupa kepingan-kepingan kapal (shipwrecks) dan barang muatan kapal tenggelam (BMKT) banyak dijumpai di daerah tersebut. Bukti-bukti arkeologis tersebut yang didukung oleh sumber-sumber tertulis menggambarkan adanya kontak budaya antara Sumatera-Bangka Belitung dengan daerah luar sejak awal Masehi.<o:p _moz-userdefined=""></o:p></span></i><br />
</div><div class="MsoSubtitle" style="line-height: normal;"><i><span lang="IN" style="font-size: 10pt;">Peninggalan bawah air yang berada di wilayah kerja Balai Arkeologi Palembang belum banyak dikaji dalam upaya merekonstruksi kebudayaan masa lampau, terutama kehidupan bahari bangsa Indonesia pada masa lalu. Sebagai contoh, wilayah kerja Balai Arkeologi Palembang mengandung banyak peninggalan maritim Kerajaan Sriwijaya dari abad ke VII-XIII Masehi. Oleh karena itu penelitian arkeologi maritim (maritime archaeology) sudah saatnya dikembangkan di Indonesia.</span></i><br />
<br />
<i><span lang="IN" style="font-size: 10pt;">Tulisan ini bertujuan untuk memberitakan upaya-upaya, rencana-rencana serta kendala-kendala yang dihadapi dalam mengembangkan arkeologi-maritim khususnya di Balai Arkeologi Palembang.<o:p _moz-userdefined=""></o:p></span></i><br />
<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><i><o:p _moz-userdefined=""> </o:p></i><br />
</div>Kata kunci: Arkeologi-maritim, Sriwijaya, Sumatera, Bangka-Belitung<br />
<br />
<br />
<i><span lang="IN" style="font-size: 10pt;"></span></i><br />
<i><span lang="IN" style="font-size: 10pt;"></span></i><br />
<i><span lang="IN" style="font-size: 10pt;"><o:p _moz-userdefined=""></o:p></span></i><br />
</div><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgvrj4Kfr3xEEPjNvQFtVhx1Fhnj-47ihyphenhyphenc1nHLK12njsY4irmLASeTYRgztc2aPR9KxEpMV0i4Qf_WzBB25W6cX0koiE4zjaLrZqV0t3Fi1bKf96kbyFWHbfHJ2U4USBp8gpnxhruLTtvO/s1600-h/IMG_2568.JPG" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgvrj4Kfr3xEEPjNvQFtVhx1Fhnj-47ihyphenhyphenc1nHLK12njsY4irmLASeTYRgztc2aPR9KxEpMV0i4Qf_WzBB25W6cX0koiE4zjaLrZqV0t3Fi1bKf96kbyFWHbfHJ2U4USBp8gpnxhruLTtvO/s320/IMG_2568.JPG" /></a><br />
</div><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><i>Gambar 1. Menuju laut dari Situs Kota Kapur</i><br />
</div><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><br />
</div><div class="MsoSubtitle" style="line-height: normal;"><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhZW9LJKgvumLjRjiE4iiSVQk1hGsedDktAdMDnstU2cLED5KHe4MbpBmu3HmzUOdgFRAoq4RU-Rn6ZHJw-uYe_bjt6jmmpxjU1hxAf7JVAy_YdklYj1H0N0RZZ-oMSLxoLsu2ayZlvnKXX/s1600-h/jalujr_ekspedisi.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhZW9LJKgvumLjRjiE4iiSVQk1hGsedDktAdMDnstU2cLED5KHe4MbpBmu3HmzUOdgFRAoq4RU-Rn6ZHJw-uYe_bjt6jmmpxjU1hxAf7JVAy_YdklYj1H0N0RZZ-oMSLxoLsu2ayZlvnKXX/s320/jalujr_ekspedisi.jpg" /></a><br />
</div><i><span lang="IN" style="font-size: 10pt;"> Gambar 2. Jalur tim Ekspedisi Sriwijaya (garis merah)<br />
</span></i><br />
<br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><br />
<o:p _moz-userdefined=""></o:p><br />
</div><ol start="1" style="margin-top: 0in;" type="1"><li class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><b>Pendahuluan<o:p _moz-userdefined=""></o:p></b></li>
</ol><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">Daerah pantai timur Sumatera (di Jambi dan Sumsel) dan Kepulauan Bangka-Belitung merupakan wilayah yang padat dengan tinggalan budaya masa lalu. Situs-situs permukiman dan pelabuhan-pelabuhan di daerah pesisir serta peninggalan bawah air berupa kepingan-kepingan kapal (<i>shipwrecks)</i> dan barang muatan kapal tenggelam (BMKT) banyak dijumpai di daerah tersebut. Bukti-bukti arkeologis tersebut yang didukung oleh sumber-sumber tertulis menggambarkan adanya kontak budaya antara Sumatera-Bangka Belitung dengan daerah luar sejak awal Masehi. <o:p _moz-userdefined=""></o:p><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">Peninggalan bawah air yang berada di wilayah kerja Balai Arkeologi Palembang belum banyak dikaji dalam upaya merekonstruksi kebudayaan masa lampau, terutama kehidupan bahari bangsa Indonesia pada masa lalu. Sebagai contoh, wilayah kerja Balai Arkeologi Palembang mengandung banyak peninggalan maritim Kerajaan Sriwijaya dari abad ke VII-XIII Masehi. Oleh karena itu penelitian arkeologi maritim (<i>maritime archaeology</i>) sudah saatnya dikembangkan di Indonesia. <o:p _moz-userdefined=""></o:p><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">Tulisan ini bertujuan untuk memberitakan upaya-upaya mengembangkan arkeologi-maritim khususnya di Balai Arkeologi Palembang. Salah satu upaya pengembangan tersebut antara lain diselenggarakannya kegiatan Ekspedisi Sriwijaya pada tanggal 6-10 Oktober 2009 oleh Balai Arkeologi Palembang dan Direktorat Peninggalan Bawah Air, Departemen Kebudayaan dan Pariwisata.<o:p _moz-userdefined=""></o:p><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-left: 0.25in; text-align: justify; text-indent: -0.25in;"><b>2.<span style="font-family: "Times New Roman"; font-size-adjust: none; font-size: 7pt; font-stretch: normal; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; line-height: normal;"> </span></b><b>Arkeologi Maritim<o:p _moz-userdefined=""></o:p></b><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify;">Peninggalan bawah air berupa sisa-sisa kapal kuno dan barang muatannya merupakan bagian dari sumberdaya arkeologi (<i>archaeological resources</i>). Sebagaimana sumberdaya arkeologi yang terdapat di darat, peninggalan bawah air merupakan data arkeologi yang perlu dikaji oleh arkeologi sebagai disiplin ilmu. Cabang disiplin arkeologi yang menangani peninggalan bawah air di Indonesia dikenal dengan istilah arkeologi bawah air (<i>underwater archaeology</i>). Selain arkeologi bawah air ada beberapa istilah dari cabang disiplin arkeologi untuk menggambarkan lingkup kajian peninggalan bawah air, antara lain <i>marine archaeology</i>, <i>maritime archaeology</i>, <i>nautical archaeology</i>. <o:p _moz-userdefined=""></o:p><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify;"><o:p _moz-userdefined=""> </o:p><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify;">Jeremy Green (2004) menggunakan istilah arkeologi-maritim (<i>maritime archaeology).</i> Menurut Green (2004:4) arkeologi- maritim berkenaan dengan aspek-aspek arkeologi dan teknik-teknik yang digunakan untuk menangani arkeologi dalam lingkungan bawah air. Istilah arkeologi maritim digunakan untuk menangani peninggalan arkeologi yang berhubungan dengan kebudayaan maritim baik peninggalan arkeologi di darat (misalnya penemuan sisa-sisa perahu di darat) maupun peninggalan arkeologi di bawah air. Istilah arkeologi bawah air (<i>underwater archaeology</i>) digunakan semata-mata untuk penyederhanaan istilah dari arkeologi-maritim.<o:p _moz-userdefined=""></o:p><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify;"><o:p _moz-userdefined=""> </o:p><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">Penelitian arkeologi maritim di bawah air memiliki tingkat kesulitan yang lebih tinggi dibandingkan kegiatan di darat. Diperlukan rencana yang matang meliputi studi arsip, persiapan lapangan, penyusunan tim, perlengkapan dan logistik, dan keselamatan dalam pelaksanaan. Diakui penelitian secara sistematis pada peninggalan bawah air yang meliputi survey, ekskavasi, perekaman data, penggambaran temuan, dan analisis temuan, terbentur oleh kendala keterbatasan alat dan teknologi, tenaga professional dan dana. Penelitian arkeologi bawah air merupakan penelitian interdisipliner sehingga memerlukan kerjasama dengan berbagai fihak yang terkait. Oleh karena itu proposal-proposal penelitian arkeologi maritim perlu disusun bersama dan diperlukan <i>sharing</i> alat, tenaga profesional dan dana. <o:p _moz-userdefined=""></o:p><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">Pada tahap integrasi dan sintesa data diperlukan studi eksperimen dan analogi etnografi. Eksperimen arkeologi antara lain berupa pembuatan replika kapal kuno berdasarkan hasil penelitian yang memerlukan tenaga-tenaga ahli dan dana yang memadai. Pembuata replika kapal kuno dianggap penting karena salah satu bentuk publikasi arkeologi-maritim kepada masyarakat.<o:p _moz-userdefined=""></o:p><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify;">Studi etnografi pada suku-suku laut (<i>sea nomad</i>) perlu dilakukan untuk menjelaskan teknologi dan cara hidup masyarakat maritim pada masa lalu. Dampak pembangunan modern menyebabkan banyak perahu dan teknologi tradisional yang telah punah, serta perubahan cara hidup pada masyarakat lokal. Hal ini menjadi salah satu kendala dalam studi etnografi untuk memahami kehidupan masyarakat maritim masa lampau. <o:p _moz-userdefined=""></o:p><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify;"><span style="color: #231f20;"><o:p _moz-userdefined=""> </o:p></span><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><b>3. Ekspedisi Sriwijaya<o:p _moz-userdefined=""></o:p></b><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">Ekspedisi Sriwijaya merupakan satu kegiatan arkeologi-maritim yang berupaya mengintegrasikan peninggalan-peninggalan arkeologi di bawah perairan dan peninggalan arkeologi di darat dalam konteks budaya maritim. Peserta ekspedisi terdiri dari para arkeolog, antropolog, ahli kelautan, penyelam, polisi air dan wartawan. <o:p _moz-userdefined=""></o:p><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">Ekspedisi Sriwijaya bertujuan untuk menelusuri jalur pelayaran masa lampau dari Situs Kota Kapur (Bangka) menuju Palembang melalui Air Sugihan, Sungai Upang dan Sungai Musi dengan naik perahu kayu. Rute ekspedisi dipilih dengan mempertimbangkan data prasasti masa Sriwijaya, serta data persebaran situs arkeologi di Kota Kapur, Air Sugihan dan di Palembang. Prasasti yang menjadi acuan adalah Prasasti Kota Kapur dan Prasasti Kedukan Bukit yang berbahasa Melayu Kuna, ditulis dengan huruf Pallawa. Kedua prasasti tersebut dibuat pada masa pemerintahan Dapunta Hiyan Sri Jayanasa, raja Sriwijaya pada abad VII Masehi. <o:p _moz-userdefined=""></o:p><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">Situs Kota Kapur yang terletak di Desa Kota Kapur, Kecamatan Mendo Barat, Kabupaten Bangka, Provinsi Kepulauan Bangka-Belitung, adalah tempat ditemukannya prasasti batu berbentuk tugu pada tahun 1892. Prasasti setinggi 177 cm dan lebar 32 cm itu diterbitkan pada 28 Februari 686 Masehi, memuat kutukan bagi siapa saja yang tidak setia dan berkhianat kepada Kedatuan Sriwijaya. Pembuatan prasasti berlangsung pada saat bala tentara Sriwijaya baru berangkat untuk menyerang Bumi Jawa yang tidak takluk kepada Sriwijaya. <o:p _moz-userdefined=""></o:p><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">Empat tahun sebelum Prasasti Kota Kapur ditulis, Dapunta Hiyan datang ke Palembang bersama d<span lang="IN">ua puluh ribu serdadu naik perahu menyusuri Sungai Musi dengan perbekalan 200 peti. Rombongan yang berjalan kaki 1.312 tentara. Mereka berangkat dari suatu tempat yang bernama Minanga melakukan perjalanan menuju Mukha Upang selama 29 hari. Sampai di tempat tujuan, </span>Dapunta Hiyan<span lang="IN"> kemudian membangun kampung (<i>wanua</i>). Sang raja menyebut ekspedisi itu sebagai <i>jaya siddayatra</i>, yaitu perjalanan suci untuk kejayaan Sriwijaya.</span> Boechari (1993), ahli epigrafi, menyatakan <i>wanua</i> yang dibangun Dapunta Hiyan kemudian berkembang jadi pusat kerajaan Sriwijaya di Palembang.<o:p _moz-userdefined=""></o:p><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><span lang="IN">Kisah </span>ekspedisi<span lang="IN"> itu terukir dalam prasasti batu yang ditemukan oleh seorang bangsa Belanda tahun 1920 di Desa Kedukan Bukit di bagian barat Kota Palembang. Prasasti </span>Kedukan Bukit dipahat pada<span lang="IN"> tanggal 16 Juni 682 Masehi</span>.<o:p _moz-userdefined=""></o:p><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><b>3.1. Metode dan teknik<o:p _moz-userdefined=""></o:p></b><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">Dalam kegiatan ekspedisi dilakukan pengumpulan data arkeologis, keadaan lingkungan dan kondisi sosial-budaya pada tempat-tempat yang disinggahi dalam ekspedisi. Pengumpulan data dilakukan dengan cara survey dan wawancara. Kegiatan arkeologi bawah air dilakukan di perairan Selat Bangka tepatnya di sekitar Pulau Pelepas yang terletak di sebelah selatan Situs Kota Kapur. Dalam kegiatan tersebut dilakukan survey dan penyelaman untuk mengidentifikasi tinggalan arkeologis di bawah air.<o:p _moz-userdefined=""></o:p><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">Posisi (situs dan obyek lainnya) dan jalur ekspedisi dilakukan dengan menggunakan <i>Global Position System</i> (GPS). Data yang direkam dengan GPS itu kemudian dipetakan dengan aplikasi Geographic Information System (GIS) dengan program Arc view 3.2. Pemetaan menggunakan peta digital (basemap) yang diterbitkan oleh Bakosurtanal. Hasil ekspedisi berupa jalur pelayaran masa lamapu dikaji dengan memperhatikan data arkeologi dan sumber-sumber sejarah.<o:p _moz-userdefined=""></o:p><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><b>3.2 Hasil Kegiatan<o:p _moz-userdefined=""></o:p></b><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">Di Situs Kota Kapur, tim ekspedisi mengadakan survey arkeologi, lingkungan dan pengamatan sosial budaya. Berdasarkan pengamatan lingkungan, Situs Kota Kapur mulai terancam oleh aktivitas penambang timah yang areanya mendekati zona inti situs. <o:p _moz-userdefined=""></o:p><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">Pada hari yang sama tim arkeologi bawah air melakukan survey laut dengan perahu dari Dermaga Kota Kapur menuju pulau-pulau kecil (Pulau Pelepas, Pulau Pegadung dan Pulau Nangka), dekat Tanjung Tedung yang berada di selatan Kota Kapur. Sebuah mercusuar Belanda masih berdiri kokoh di Pulau Pelepas. Mercusuar yang pernah dipugar oleh Ratu Wilhelmina pada tahun 1893 itu digunakan sebagai pemandu navigasi kapal-kapal yang ramai melintasi perairan Bangka-Belitung. <o:p _moz-userdefined=""></o:p><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">Nelayan setempat menunjukkan di sebelah barat Pulau Pelepas terdapat bangkai kapal tenggelam di dasar laut. Penyelaman arkeologi bawah air pun di lakukan pada saat permukaan laut tenang, namun arus di bawahnya sangat kencang dan jarak pandang hanya 1 – 3 meter. Sebuah kapal perang Belanda ditemukan terbenam di dasar laut pada kedalaman 17-25 meter. Kapal besi berukuran panjang 70 meter itu tenggelam dalam kondisi terbelah dua.<o:p _moz-userdefined=""></o:p><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">Di sekitar Selat Bangka dan perarian Kepulauan Bangka-Belitung memang banyak ditemukan bangkai kapal tenggelam (<i>shipwrecks</i>) oleh karena banyaknya gosong karang di perairan ini. Namun perahu-perahu kayu zaman Sriwijaya malah seringkali ditemukan di rawa-rawa. Di Situs Kota Kapur ditemukan kepingan-kepingan papan perahu kuna dari dasar rawa pada saat penelitian tahun 2007 (Rangkuti 2007). Teknik rancang bangun perahu dibuat dengan teknik papan ikat dan kupingan pengikat (<i>sewn plank and lushed technique</i>). Sisa-sisa perahu dari teknik pembuatan dan masa yang sama ditemukan pula di rawa-rawa Mariana dan Sungai Buah (Palembang), Tulung Selapan (Kabupaten Ogan Komering Ilir), Situs Karangagung Tengah (Kabupaten Musi Banyuasin) dan di Lambur (Jambi).<o:p _moz-userdefined=""></o:p><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">Setelah melakukan survey dan penyelaman selama dua hari di Bangka, tim kemudian menyeberangi selat Bangka dengan<i> speedboat</i> kayu yang ditempuh dalam waktu tiga puluh menit. Sampai di muara Air Sugihan tim langsung menelusuri Air Sugihan yang semakin ke hulu semakin sempit dan hutan <i>mangrove</i> pun semakin berkurang. Di belakang hutan <i>mangrove</i>, terbentang lahan-lahan transmigrasi yang disekat oleh jalur-jalur irigasi sekaligus untuk jalur transportasi air. Sebagian daerah lahan basah itu direklamasi untuk kawasan transmigrasi.<o:p _moz-userdefined=""></o:p><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><i>Speedboat</i> masuk ke Jalur 27 dan merapat di dermaga Desa Kertamukti, Kecamatan Air Sugihan, Kabupaten Ogan Komering Ilir . Desa ini kaya dengan tinggalan arkeologis berupa manik-manik berbahan kaca dan batuan, fragmen-fragmen tembikar dan keramik kuno, benda-benda emas dan logam lainnnya, serta sisa tiang rumah kuno dari batang pohon nibung (<i>oncosperma filamentosa</i>). Tim mengunjungi Situs Kertamukti 1 yang pernah diteliti melalui ekskavasi oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional. Situs berada pada lahan bekas sungai kecil (alur) dan rawa yang kini telah direklamasi untuk lahan transmigrasi. Dalam ekskavasi ditemukan sisa-sisa bangunan rumah panggung bertiang nibung. Selain itu ditemukan pula tali ijuk (<i>arrenga pinnata</i>), pecahan-pecahan tembikar dan keramik Cina, manik-manik, sudip dari kayu dan fosil kayu. Di kawasan Air Sugihan keramik dari Cina yang paling banyak ditemukan berasal dari abad IX-X Masehi dari Dinasti Tang.<o:p _moz-userdefined=""></o:p><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">Esok paginya tim berangkat ke Palembang dengan kembali menelusuri Air Sugihan. Untuk masuk ke Sungai Musi, <i>speedboat </i>melewati Jalur 21. Jalur itu menghubungkan Air Sugihan dengan Sungai Saleh kemudian melewati satu jalur lainnya yang menghubungkan Sungai Saleh dengan Sungai Upang. Pada masa sekarang, sulit sekali mencari cabang dan anak sungai alamiah yang dulu menghubungkan Air Sugihan, Sungai Saleh dan Sungai Upang yang akhirnya bertemu dengan Sungai Musi di Delta Upang. Sungai-sungai alam itu telah hilang, digantikan oleh jalur-jalur irigasi. <o:p _moz-userdefined=""></o:p><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">Tim mampir di Desa Upang, Kecamatan Makarti Jaya, Kabupaten Banyuasin, yang terletak di Delta Upang. Desa ini menjadi terkenal di kalangan ahli-ahli Sriwijaya, ketika Boechari (1993) mengidentikasi lokasi Desa Upang ini pernah dikunjungi oleh Dapunta Hiyan dan ribuan tentara dengan naik perahu. Mukha Upang yang teridentifikasi dalam Prasasti Kedukan Bukit disamakan dengan Upang, desa yang terdapat di Delta Upang.<o:p _moz-userdefined=""></o:p><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">Perjalan dari Desa Upang ke Palembang menempuh waktu sekitar satu jam. Di Palembang, tim merapat di Benteng Kuto Besak. Jalur ekspedisi berakhir di tempat itu. Rute Ekspedisi Sriwijaya 2009 dapat dilihat pada gambar 1.<o:p _moz-userdefined=""></o:p><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: 6pt; text-align: justify;"><b><span lang="SV">3.3 Pembahasan<o:p _moz-userdefined=""></o:p></span></b><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">Pada zaman dahulu para pelaut asing yang berlayar dari Selat Malaka dan Laut China Selatan ketika memasuki Selat Bangka mendapat petunjuk tentang Pulau Bangka dari tanda-tanda geografis: bukit, tanjung dan pulau kecil. <o:p _moz-userdefined=""></o:p><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">Bukit Menumbing, yang terletak di Pulau Bangka telah dikenal oleh para pelaut asing sebagai pedoman untuk masuk menuju ibukota kerajaan di Palembang. Bukit ini letaknya berhadapan dengan mulut Sungai Musi, jalur transportasi ke ibukota Sriwijaya. Pada abad XV-XVI Masehi pelaut-pelaut China menyebut Bukit Menumbing dengan nama <i>Peng-chia shan</i> (<i>Peng-chia</i> = Bangka, <i>shan</i> = gunung) menurut penafsiran OW Wolters (Bambang Budi utomo, 2003:65).<br />
<o:p _moz-userdefined=""></o:p><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><o:p _moz-userdefined=""> </o:p><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><o:p _moz-userdefined=""></o:p><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">Para pelaut Portugis menggunakan <i>Roteiros</i> (Buku Panduan Laut) dari masa-masa yang sama untuk melayari Selat Bangka. Bukit Menumbing disebut sebagai <i>Monopim</i>. <i>“Berlayar dari baratlaut ke tenggara, setelah melihat Monopim di Bangka, kapal-kapal mendekati Sumatera sampai garis hijau rendah hutan-hutan bakau kelihatan. Di sebelah barat Monopim pelayaran harus mengitari sebuah tanjung berkarang yang menjorok ke laut”</i>. (P.Y. Manguin 1984:18).<o:p _moz-userdefined=""></o:p><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">Ada beberapa jalan masuk ke kota Palembang dari Selat Bangka . Berhadapan dengan Pulau Bangka terdapat muara-muara sungai, yaitu Sungai Banyuasin, Sungai Musi (Sungsang), Sungai Upang (bertemu dengan Musi di Delta Upang), Sungai Saleh dan Air (sungai) Sugihan. Berita China <i>Shun-feng hsiang-sung</i> (abad XV Masehi) memberi petunjuk tentang jalan yang benar ke ibukota kerajaan : <o:p _moz-userdefined=""></o:p><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; text-align: justify;"><i>“Ketika buritan kapal diarahkan ke Niu-t’ui-ch’in (pusat bukit pada rangkaian perbukitan Menumbing), anda dapat terus berlayar memasuki Terusan Lama (= Musi). Garis daratan di hadapan Bangka terdapat tiga buah terusan. Terusan yang di tengah (Terusan Lama) adalah jalan yang benar. Di situ ada sebuah pulau kecil”</i> (Wolters tanpa tahun dalam Bambang Budi Utomo, 2003:65). <o:p _moz-userdefined=""></o:p><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">Berita China itu merekomendasikan kalau mau ke Palembang sebaiknya melalui jalur Sungai Musi (Sungsang).<o:p _moz-userdefined=""></o:p><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">Ekspedisi Sriwijaya 2009 memilih jalur Air Sugihan dalam perjalanan menuju Palembang dari Situs Kota Kapur di Pulau Bangka. Selain lebih dekat, di daerah aliran Air Sugihan para arkeolog menemukan situs-situs arkeologi dari masa pra Sriwijaya sampai abad XVI Masehi. Balai Arkeologi Palembang mencatat 26 lokasi situs di kawasan tersebut.<o:p _moz-userdefined=""></o:p><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">Jalur ekspedisi yang dipilih itu antara lain untuk menjajaki kemungkinan adanya hubungan antara Situs Kota Kapur dan situs-situs yang tersebar di kawasan Air Sugihan. Sebelum Dapunta Hiyan dan bala tentaranya mengadakan ekspedisi ke Kota Kapur, kawasan itu merupakan daerah bermukim komuniti yang menganut agama Hindu. Ditemukannya arca Wisnu dari abad V-VI Masehi di Situs Kota Kapur merupakan bukti arkeologis yang terbantahkan. Berhadapan dengan Kota Kapur yang dipisahkan oleh Selat Bangka, terdapat permukiman masyarakat pantai timur Sumatera dari masa awal abad-abad Masehi hingga abad XVI Masehi, terutama terkonsentrasi di Kawasan Air Sugihan. <o:p _moz-userdefined=""></o:p><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">Rute Kota Kapur - Air Sugihan masih dimanfaatkan pada masa-masa berikutnya. Pada zaman Sriwijaya Bukit Besar di Kota kapur, Pulau Nangka dan tanjung-tanjung di pantai Sumatera dan Bangka-Belitung menjadi pedoman navigasi pelayaran. Pada abad XIX Masehi Belanda membangun mercusuar di Pulau Pelepas juga untuk pedoman pelayaran. Pada masa sekarang jalur Bangka – Air Sugihan masih digunakan untuk membawa penumpang dan barang dengan <i>speedboat</i> kayu dan tongkang.<o:p _moz-userdefined=""></o:p><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">Sementara itu jalur dari Air Sugihan – Palembang pada masa sekarang harus melalui kanal-kanal buatan yang menghubungkan Sungai Musi, Sungai Saleh dan Air Sugihan. Dalam ekspedisi tidak dapat dilacak jalur alamiah yang menghubungkan Palembang – Air Sugihan pada masa lampau. Banyak sungai-sungai yang telah hilang karena adanya reklamasi dan pengendapan material sungai.<o:p _moz-userdefined=""></o:p><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><b>4. Penutup<o:p _moz-userdefined=""></o:p></b><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">Penelitian arkeologi-maritim merupakan penelitian interdisipliner yang memerlukan berbagai tenaga ahli di bidang maritim dan arkeologi. Diperlukan peralatan dan teknologi yang memadai dalam kegiatan penyelaman, ekskavasi bawah air, dan perekaman data. Semua itu mengharuskan perencanaan dan rancangan penelitian arkeologi maritim yang jelas dan berkesinambungan didukung sumber dana yang memadai. Oleh karena itu pengembangan arkeologi-maritim di Indonesia memerlukan kolaborasi dengan berbagai fihak.<o:p _moz-userdefined=""></o:p><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;">Dalam lingkup yang lebih luas, pengembangan arkeologi-maritim tidak semata di bidang penelitian saja tetapi juga ditindaklanjuti oleh kegiatan pelestarian dan pemanfaatan peninggalan bawah air. Ekspedisi Sriwijaya yang diselenggarakan oleh Balai Arkeologi Palembang dan Direktorat Peninggalan Bawah Air berupaya untuk mengintegrasikan kegiatan penelitian, pelestarian dan pemanfaatan dalam konsep dan pelaksanaannya. Diharapkan di masa mendatang dapat disusun kebijakan menteri dalam pengelolaan peninggalan arkeologi bawah air yang meliputi bidang penelitian, pelestarian dan pemanfaatan.<o:p _moz-userdefined=""></o:p><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><b>Daftar Pustaka<o:p _moz-userdefined=""></o:p></b><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; text-align: justify;">Bambang Budi Utomo, 2003, <i>Masalah Sekitar Penaklukan Sriwijaya Atas Bumi Jawa</i>, dalam <b>Siddhayatra vol 8 No 2 November 2003</b>. Palembang: Balai Arkeologi<o:p _moz-userdefined=""></o:p><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; text-align: justify;">Bowens, Amanda (ed), 2009, <b>Underwater Archaeology. The NAS Guide to Principles and Practice</b>. Nautical Archaeology Society ISBN: 978-1-405-17592-0.<o:p _moz-userdefined=""></o:p><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; text-align: justify;">Budi Wiyana, 2008, Laporan Pelatihan Arkeologi Bawah Air di Selat Bangka, Provinsi Kepulauan Bangka-Belitung. Palembang: Balai Arkeologi.<o:p _moz-userdefined=""></o:p><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; text-align: justify;">Green, Jeremy, 2004, <b>Maritime Archaeology. A Technical Handbook</b>. Elsevier Academic Press.<o:p _moz-userdefined=""></o:p><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; text-align: justify;">Manguin, P.Y., 1984, “<i>Garis Pantai di Selat Bangka: Sebuah bukti baru tentang keadaan yang permanen pada masa sejarah</i>” dalam <b>Amerta 8</b>, hal. 17-24. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi.<o:p _moz-userdefined=""></o:p><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; text-align: justify;">Rangkuti, Nurhadi, 2007, <i> Jejak Bahari Kota Kapur, Kompas tanggal 5 November 2007. </i><o:p _moz-userdefined=""></o:p><br />
</div>Nurhadi Rangkutihttp://www.blogger.com/profile/05987175295898025688noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6558820035391086789.post-59920357767926722852009-06-14T18:17:00.000-07:002009-06-14T19:33:54.993-07:00PULAU MAYA-KARIMATA<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgJ82ggf6Mivk_wu2ZjWqD2G037fsLzeMVeL2OqOi2SX-Jg6nocadDSCgP2hTJJTxdfl7m6kWX6JFY3uzW-s709BV5RbGg_P91yQLtRnkU9DcfAWxUf-AJyDQNjUnDCasBttChPDCqjSr-C/s1600-h/eksplorasi+karimata+062.jpg"><img style="cursor: pointer; width: 214px; height: 320px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgJ82ggf6Mivk_wu2ZjWqD2G037fsLzeMVeL2OqOi2SX-Jg6nocadDSCgP2hTJJTxdfl7m6kWX6JFY3uzW-s709BV5RbGg_P91yQLtRnkU9DcfAWxUf-AJyDQNjUnDCasBttChPDCqjSr-C/s320/eksplorasi+karimata+062.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5347373932984359618" border="0" /></a><br /><br /><span style="">Undangan dari Balai Arkeologi Banjarmasin setahun yang lalu sangat menantang. Eksplorasi pulau-pulau terpencil di sekitar Selat Karimata dengan pendekatan arkeologi. Tentu saja yang dicari adalah bukti-bukti peradaban masa lampau yang menunjukkan peran penting Selat Karimata. <o:p></o:p></span> <p class="MsoNormal"><a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjq-5u_g7qGWBrYW5kqVmPInljcgI3WCMR-6cMFMD9S8AZCtEwnGT8bd0m1VPnegPz1toiNkZT7AnLzcgHsiDq1V5dvmhUFDOcZgSZF-jktz4ZpkwcnpLSpfgT1rxXtKxFFNB_TDZnyFd1g/s1600-h/sunset_go.jpg"><img style="cursor: pointer; width: 320px; height: 240px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjq-5u_g7qGWBrYW5kqVmPInljcgI3WCMR-6cMFMD9S8AZCtEwnGT8bd0m1VPnegPz1toiNkZT7AnLzcgHsiDq1V5dvmhUFDOcZgSZF-jktz4ZpkwcnpLSpfgT1rxXtKxFFNB_TDZnyFd1g/s320/sunset_go.jpg" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5347372621194463970" border="0" /></a></p><p class="MsoNormal"><span style="">Selat<span style=""> </span>Karimata <span style=""> </span>memang pen</span><span style="">ting dan strategis. Selat yang lebarnya 150 km itu menghubungkan antara Laut Cina Selatan dan Laut Jawa.<span style=""> </span>Letaknya di antara Pulau Belitung dan Pulau Kalimantan. Dari Pulau Belitung sekitar 70 mil di sebelah timur laut.</span></p> <p class="MsoNormal"><span style="">Menurut David E. Shoper (1977) dalam bukunya:<span style=""> </span><b style="">The Sea Nomads: A Study of the Maritime Boat People of Southeast Sumatra</b>, kelompok pulau-pulau di Selat Karimata memiliki hubungan dengan Pulau Belitung dan Kepulauan Riau-Lingga pada masa lalu, terutama tentang budaya orang laut (<i style="">sea nomad</i>). Di Pulau Belitung terdapat Suku Sekah yang menyebut diri mereka sebagai orang “Manih Bajau” yang berarti “descendant of the Bajau”, atau keturunan orang Bajau dari Sulawesi. Orang-orang Sekah sering menjelajah mencari <i style="">tripang </i>sampai ke pesisir Kalimantan dan Lampung. Orang Sekah memiliki tempat penguburan di Pulau Selanduk di sebelah barat Pulau Belitung.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal"><span style="">Di Pulau Karimata terdapat permukiman Suku Galang yang muncul pada pertengahan abad XIX Masehi yang pernah dikunjungi oleh orang laut (<i style="">sea nomad</i>) dari Pulau Belitung. Selain Suku Sekah, di Pulau Belitung terdapat orang laut lainnya, yaitu orang Juru yang beragama Islam dan tinggal di Pulau Lepar. Mereka telah menggunakan perahu yang lebih besar daripada perahu orang Sekah. Telah terjadi percampuran budaya antara orang Sekah dan orang Juru melalui perkawinan. Mereka bermukim di Tanjung Pandan, Mangar dan memiliki tempat (<i style="">outlet</i>) timah di bagian timur Belitung dan sebuah perkampungan di Pulau Karimata.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal"><span style="">Banyak pulau yang tersebar <span style=""> </span>di sekitar Selat Karimata, sebagian masuk wilayah Provinsi Kepulauan Bangka-Belitung dan pulau-pulau lainnya masuk <span style=""> </span>wilayah Provinsi Kalimantan Barat. Pulau-pulau yang masuk wilayah Provinsi Kalimantan Barat, terutama<span style=""> </span>di Kabupaten Kayong Utara , <span style=""> </span>tercatat ada 108 pulau yang meliputi :<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoListParagraph" style="margin-left: 0in; line-height: normal; text-align: justify;"><!--[if !supportLists]--><span style="font-family: verdana;"><span style="">-<span style=""> </span></span></span><!--[endif]--><span style="font-family: verdana;"></span><span style="font-family: "Verdana","sans-serif";"><span style="font-family: verdana;">Kecamatan Kendawangan 30 pulau, Matan Hilir Selatan dan Benua Kayong 2 pulau, Matan Hilir Utara, Delta Pawan, Muara Pawan 5 pulau, Sukadana 10 pulau, Pulau Maya Karimata 61 pulau (tidak berpenghuni 26 pulau).</span><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal"><b style=""><span style=""><o:p> </o:p></span></b></p> <p class="MsoNormal"><b style=""><span style="">Gunung Tote<o:p></o:p></span></b></p> <p class="MsoNormal"><span style="">Eksplorasi <span style=""> </span>baru dilakukan pada tahun 2009 dengan fokus Pulau Maya dan pulau-pulau kecil<span style=""> </span>sekitarnya. Tanggal 17 Mei 2009 saya bertolak dari Palembang menuju Pontianak . Esoknya berangkat menuju Kota Ketapang untuk bergabung dengan Tim Balai Arkeologi Banjarmasin. Hanya 35 menit <i style="">numpak</i> pesawat kecil dari Pontianak ke Kota Ketapang.<span style=""> </span>Perjalanan dilanjutkan dengan mobil selama 1,5 jam menuju Sukadana, ibukota Kabupaten Kayong Utara (KKU). Sukadana lebih mendekati ciri-ciri desa daripada kota.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal"><span style="">Tim bermalam di hotel yang dibangun di atas pantai pasang surut hutan mangrove. Waswas juga tidur di hotel yang mengangkangi laut <span style=""> </span>itu, jangan-jangan muncul pasang besar yang dapat menggenangi kamar.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal"><span style="">Esok pagi tim berangkat dengan<i style=""> speedboat</i> ke Pulau Maya. Empat puluh lima menit lamanya perjalanan sampai di Desa Tanjung Satai. Di desa ini issue tentang peninggalan purbakala yang spektakuler telah santer dibicarakan penduduk. Foto-foto yang diperlihatkan seorang petugas kecamatan membuat tim tercengang. Foto-foto itu memperlihatkan patung-patung kuno dan lukisan bangunan candi yang dipahat pada permukaan batu besar. Selain itu penduduk menceritakan harta karun lainnya berupa emas, manik-manik, dan keramik kuno. Semua peninggalan tersebut terdapat di kaki Gunung Tote yang masuk wilayah Desa Dusun Kecil.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal"><span style="">Dua jam perjalanan dengan <i style="">speedboat </i>menuju Desa Dusun Kecil, kemudian dilanjutkan dengan naik perahu kecil menyusuri Sungai Tote. Sampai di hulu sungai, perjalanan dilanjutkan sampai ke lokasi situs dengan jalan kaki selama 30 menit menapaki lumpur hutan mangrove.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal"><span style="">Situs Gunung Tote tampak porak poranda. Sisa-sisa lubang galian liar bertebaran dimana-mana. Sesosok patung batu berbentuk sapi alias arca <i style="">nandi</i> (Hindu) telah dipotong kepalanya karena disangka di dalamnya terdapat emas. Perusakan itu dilakukan karena sebelumnya para penjarah menemukan benda-benda emas di bawah kaki arca batu berbentuk dewa Wisnu (?) setinggi 120 cm dan bobot 125 kg. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal"><span style="">Pahatan dua bangunan stupa<span style=""> </span>pada batu besar masih dapat dilihat di lokasi. Pahatan ini diperkirakan sezaman dengan pahatan serupa di Situs Batu Pait di Kalimantan Barat, diperkirakan abad V-VI Masehi.<span style=""> </span>Terlihat ada upaya menggeser batu besar itu untuk <span style=""> </span>mencari emas di bawahnya, namun batu itu tidak dapat digerakkan karena terlalu besar dan berat.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="">Seorang informan menceritakan penggalian massal itu dilakukan pada tahun 2007. Mereka menemukan </span><span style="" lang="IN">8 arca batu yang terdiri satu arca besar dan 7 arca kecil. Arca besar sempat di simpan di rumah Bapak Saleh, seorang dukun yang tinggal di Dusun Tote. Ketika ditemui di rumahnya, arca itu tidak berada di tempatnya lagi. Menurut Bapak Soleh arca itu telah dibawa oleh orang-orang dari Desa Paritjali, Kecamatan Teluk Batang sekitar dua bulan yang lalu.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="">Berdasarkan </span><span style="" lang="IN">informasi dari berbagai sumber, penggalian tersebut dilakukan orang-orang dari Desa Paritjali, Kecamatan Teluk Batang. </span><span style="">Tim Balai Arkeologi Banjarmasin segera melacak temuan sampai ke Parit Jali. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="">Di Paritjali tim langsung bertemu dengan penyandang dana “Proyek Gunung Tote”. Sang boss <span style=""> </span>mengeluarkan</span><span style="" lang="IN"> dana</span><span style=""> besar</span><span style=""> </span><span style="">untuk menyediakan</span><span style="" lang="IN"> mesin penyedot pasir dan dongkrak hidrolik untuk mengangkat bebatuan gunung (relief stupa) yang diduga terdapat emas di bawahnya. </span><span style="">Selain arca mereka menemukan</span><span style="" lang="IN"> keramik, gerabah, manik-manik, senjata logam (kapak), nampan dan penginangan dari </span><span style="">kuningan.</span><span style=""> </span><span style="">Seorang penduduk Desa Paritjali menceritakan mereka<span style=""> </span>berhasil mengumpulkan </span><span style="" lang="IN">emas seberat ± 4 kg emas dalam bentuk bulatan, lantakan, dan lembaran. Emas-emas te</span><span style="">r</span><span style="" lang="IN">sebut ditemukan di bawah arca </span><span style="">besar tadi kemudian dilebur lalu dijual</span><span style="" lang="IN">. </span><span style=""><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="">Tim Arkeologi memperkirakan peninggalan-peninggalan tersebut berasal dari abad V hingga abad XVIII Masehi. Sejak awal Masehi daerah sekitar Selat Karimata memang telah ramai sebagai jalur perdagangan dari Cina dan <span style=""> </span>India menuju Kalimantan, pantai timur Sumatera dan Jawa.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="">Rupa-rupanya perompak atau <i style="">lanun</i> tidak hanya ada pada zaman dulu. Bila dulu mereka membajak muatan kapal-kapal dengan senjata, lanun zaman sekarang merompak situs dengan mesin penyedot air dan dongkrak hidrolik. Dilakukan secara terang-terangan tanpa ada yang mencegahnya. Tanpa ada yang peduli. Hah?!<o:p></o:p></span></p>Nurhadi Rangkutihttp://www.blogger.com/profile/05987175295898025688noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6558820035391086789.post-2112967238273694222009-06-10T20:41:00.000-07:002009-06-10T21:08:16.539-07:00DANAU SENTANI DAN ARKEOLOGI<a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhBuwWTFiJIEjEJwyWF9AxljDQK7k-2BVvX3ooDAW4oHhyphenhyphenDW8GyOAdiyM3qI6S69LsiNHCj2R97fGZr5Ss6N5ZVW-EvnJNGqAKl98KxDzvOvg32Gl-18lSXf4B1gCcUVCAThgVr8NZwSrMD/s1600-h/tembikar09.JPG"><img style="margin: 0pt 0pt 10px 10px; float: right; cursor: pointer; width: 320px; height: 240px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhBuwWTFiJIEjEJwyWF9AxljDQK7k-2BVvX3ooDAW4oHhyphenhyphenDW8GyOAdiyM3qI6S69LsiNHCj2R97fGZr5Ss6N5ZVW-EvnJNGqAKl98KxDzvOvg32Gl-18lSXf4B1gCcUVCAThgVr8NZwSrMD/s320/tembikar09.JPG" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5345916542593004018" border="0" /></a><br /><a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiYw4kIBlBDPI9q7-OArxaZyxXTPYGBJycVaxMElybTxYVPizM_Du-zWtDcHCfUpoYCjsv9NTBvHHRi0aX4UZ3vXWsXmz2b8dxaq056HlRTFYE597Q5mF7EnQNNUfRymo5GFD_iI57mjDn6/s1600-h/danau02.JPG"><img style="margin: 0pt 0pt 10px 10px; float: right; cursor: pointer; width: 320px; height: 240px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiYw4kIBlBDPI9q7-OArxaZyxXTPYGBJycVaxMElybTxYVPizM_Du-zWtDcHCfUpoYCjsv9NTBvHHRi0aX4UZ3vXWsXmz2b8dxaq056HlRTFYE597Q5mF7EnQNNUfRymo5GFD_iI57mjDn6/s320/danau02.JPG" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5345915607548987330" border="0" /></a><br /><a onblur="try {parent.deselectBloggerImageGracefully();} catch(e) {}" href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh7trAhSU31WW3xd97XZEDCQiCIrt-Lv-7rCPFTM7VFd9RWF3qL9_CiG5eGcy-FNCcqX8W4t6UJf5DJMVdd_pnxB4uscjykWy8EW9j8N7iximEE01xbh_uXbJ9-fSRECPekv6ZXhtCDAnQo/s1600-h/ifale13.JPG"><img style="margin: 0pt 0pt 10px 10px; float: right; cursor: pointer; width: 320px; height: 240px;" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh7trAhSU31WW3xd97XZEDCQiCIrt-Lv-7rCPFTM7VFd9RWF3qL9_CiG5eGcy-FNCcqX8W4t6UJf5DJMVdd_pnxB4uscjykWy8EW9j8N7iximEE01xbh_uXbJ9-fSRECPekv6ZXhtCDAnQo/s320/ifale13.JPG" alt="" id="BLOGGER_PHOTO_ID_5345914912452966002" border="0" /></a><br /><p class="MsoNormal"><span style=""><br /></span></p><p class="MsoNormal"><span style=""><br /></span></p><p class="MsoNormal"><span style=""><br /></span></p><p class="MsoNormal"><span style="">2 Juni 2009. Jam 7 pagi pesawat<span style=""> </span>terbang menghampiri tanah. Pohon-pohon sagu dan tumbuhan rawa lainnya berkelebat dengan cepat. Roda<span style=""> </span>pesawat menyentuh landasan pacu dengan halus.<span style=""> </span>Bandara Sentani, gerbang utama ke Jayapura<span style=""> </span>seolah mengucapkan selamat pagi<span style=""> kepada penumpang untuk menikmati keindahan Danau Sentani, </span>daerah lahan basah yang luas di Sentani.</span></p><p class="MsoNormal"><br /><span style=""> <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal"><span style="">Bagi orang yang baru pertama datang ke<span style=""> </span>tanah Papua, Danau Sentani<span style=""> </span>mengundang decak kagum. Dari udara danau itu terlihat seperti<span style=""> </span>empang yang menggenangi kaki Pegunungan Cyclops. Ada 16 pulau kecil terserak di tengah danau tampak seperti bunga-bunga teratai yang mengapung di atas air berwarna hijau kebiruan. Danau ini menampung sekitar 35 aliran sungai kecil yang berhulu di pegunungan. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal"><span style="">Perjalanan dilanjutkan dengan mobil ke kota Jayapura selama satu jam menyusuri pinggiran danau. Danau yang panjangnya sekitar 26 km itu terletak<span style=""> </span>pada ketinggian sekitar 75 meter di atas permukaan air laut. Sepanjang tepi danau berdiri rumah-rumah penduduk yang sebagian besar berbentuk rumah panggung.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal"><span style="">Pagi itu berdatangan para arkeolog seluruh Indonesia ke Jayapura dengan membawa poster dan artefak-artefak dari batu, tanah liat, kaca dan logam. Mereka<span style=""> </span>mengadakan pameran akbar tentang kehidupan prasejarah di nusantara.<span style=""> </span> Papua Trade Center di Jayapura dipilih sebagi tempat pameran yang mempertemukan pendukung-pendukung budaya prasejarah dari bangsa Austronesia dan bangsa Melanesid, asal nenek moyang bangsa Indonesia.</span></p><p class="MsoNormal"><span style="">Bagi masyarakat Sentani dan Papua pada umumnya<span style=""> </span>tradisi prasejarah masih berlangsung sampai saat ini. Masyarakat yang tinggal di sekitar Danau Sentasi ikut terlibat dalam pameran dengan memperagakan cara-cara membuat tembikar, alat batu, alat tulang dan lukisan pada kulit kayu. Teknologi yang digunakan berasal dari masa prasejarah. Lihat saja, mereka membuat wadah tembikar langsung dengan tangan, tanpa roda putar. Beliung batu yang diupam halus dibuat dengan cara menggosok bakal alat itu dengan batu juga. Beliung batu itu bentuk dan tekniknya mirip dengan beliung batu zaman neolitik. Mereka mencari tulang-tulang burung kasuari dan tulang-tulang babi untuk dibentuk menjadi alat pisau. Bentuk alat-alat tulang tersebut mirip dengan artefak dari tulang yang ditemukan pada gua-gua prasejarah di Pegunungan Seribu, di Jawa. Para arkeolog menyebut bentuk alat tulang itu sebagai <span style="font-style: italic;">spatula</span>.</span></p><p class="MsoNormal"><span style="">Danau Sentani dengan ekosistem lahan basah (wetland) memiliki keanekaragaman hayati yang dibutuhkan untuk kehidupan manusia. Sejak zaman prasejarah di tempat itu telah dihuni oleh manusia. Teknologi yang diperagakan masyarakat Sentani sekarang boleh dibilang menjadi dokumentasi hidup tentang kehidupan prasejarah di nusantara.<br /></span></p><p class="MsoNormal"><span style=""></span><br /><span style=""> <o:p></o:p></span></p>Nurhadi Rangkutihttp://www.blogger.com/profile/05987175295898025688noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-6558820035391086789.post-75264113771027614252009-05-16T01:02:00.000-07:002009-05-16T01:08:36.941-07:00TABIR PERADABAN SUNGAI LEMATANG<p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 11pt; font-family: "Verdana","sans-serif";"><o:p></o:p></span><b style=""><span style="font-size: 11pt; font-family: "Verdana","sans-serif";">Latar Belakang<o:p></o:p></span></b></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 0.25in; text-align: justify;"><span style="font-size: 11pt; font-family: "Verdana","sans-serif";"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 11pt; font-family: "Verdana","sans-serif";">Wilayah Sumatera Selatan terdapat <span style=""> </span><span style=""> </span>sungai-sungai besar yang dapat dilayari sampai ke hulu, yaitu Sungai Musi, Ogan, Komering, Lematang, Kelingi, Rawas, Batanghari Leko, Calik dan Lalan. Sungai-sungai besar ini merupakan urat nadi kehidupan masyarakat sejak masa lampau berdasarkan bukti-bukti arkeologis yang tersebar di daerah aliran sungai. Sungai Lematang mengalir di tengah-tengah aliran-aliran sungai yang lain. Dilihat dari posisinya secara geografis, Sungai Lematang memiliki peran penting dalam jaringan komunikasi dan transportasi sungai di Daerah Batanghari Sembilan. <span style=""> </span><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 11pt; font-family: "Verdana","sans-serif";"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 11pt; font-family: "Verdana","sans-serif";">Sungai Lematang berhulu di dataran tinggi Pasemah kemudian mengalir melalui Muara Enim dan bertemu dengan Sungai Enim yang berhulu di daerah Sinar Bulan, Kabupaten Lahat. Aliran Sungai Lematang terus melewati <span style=""> </span>Tanah Abang <span style=""> </span>dan akhirnya bermuara di Sungai Musi, yaitu sungai antiklinal di bagian hilirnya. Di daerah dataran rendah Sungai Lematang memiliki banyak kelokan (<i style="">meander</i>) dan aliran sungai berpindah-pindah. Seperti sungai-sungai lainnya di Sumatera Selatan, Sungai Lematang mengalami pendangkalan oleh endapan-endapan material dari hulu. Perpindah aliran sungai dan pendangkalan sungai ini berpengaruh terhadap keberadaan situs-situs arkeologi yang ada di sepanjang aliran sungai dan bahkan telah mengakibatkan <span style=""> </span>tergerus dan hilangnya situs.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 11pt; font-family: "Verdana","sans-serif";"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 11pt; font-family: "Verdana","sans-serif";">Bukan hal yang kebetulan apabila di sepanjang aliran Sungai Lematang mengelompok situs-situs arkeologi<span style=""> </span>dari hulu ke hilir. Hulu Sungai Lematang melewati wilayah-wilayah yang subur dan telah dihuni manusia sejak zaman prasejarah. Tinggalan megalitik di Lahat dan Pagaralam menunjukan bahwa awal tumbuhnya peradaban di wilayah Sumatera Selatan di mulai dari dataran tinggi Pasemah. Di daerah hilir di dataran rendah tersebar situs-situs arkeologi, yaitu Kompleks percandian Bumiayu, Situs Babat dan Situs Modong.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 11pt; font-family: "Verdana","sans-serif";"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 11pt; font-family: "Verdana","sans-serif";">Sungai Lematang menghubungkan antara kebudayaan di pedalaman dan kebudayaan di hilir Sungai Musi, yaitu antara kebudayaan Pasemah dan pusat Sriwijaya di Palembang. Di antara kedua pusat kebudayaan itu terletak kawasan situs percandian Bumiayu, Situs Babat dan Situs Modong. Lokasi kawasan candi tersebut dalam ruang dan waktu sangat berpengaruh terhadap perkembangan kawasan dan karakteristik budaya kawasan tersebut.<span style=""> </span>Sebagaimana diketahui kebudayaan megalitik Pasemah merupakan sebuah tradisi budaya yang tetap eksis pada masa Sriwijaya (VII-XIII Masehi) dan bahkan sampai masa-masa berikutnya. Pada masa Sriwijaya komuniti-komuniti di dataran tinggi Pasemah hidup dalam tradisi budaya megalitik, walaupun pengaruh kekuasaan Sriwijaya di <st1:city st="on"><st1:place st="on">Palembang</st1:place></st1:City> khususnya dalam bidang politik perdagangan sampai ke daerah Pasemah. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 11pt; font-family: "Verdana","sans-serif";"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 11pt; font-family: "Verdana","sans-serif";">Sementara itu hubungan antara pusat Sriwijaya di Palembang dengan<span style=""> </span>kawasan situs Bumiayu merupakan hubungan yang struktural. Piere Yves Manguin dkk (2006) mempersoalkan apakah kawasan situs Bumiayu<span style=""> </span>adalah pusat sistem politik yang otonom (<i style="">mandala</i>)<span style=""> </span>yang berfungsi pada daerah yang mengelilingi<span style=""> </span>Sriwijaya, seperti yang tersirat dalam prasasti-prasasti abad VII Masehi yang diterbitkan oleh penguasa Sriwijaya. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 11pt; font-family: "Verdana","sans-serif";"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 11pt; font-family: "Verdana","sans-serif";"><o:p> </o:p></span><b style=""><span style="font-size: 11pt; font-family: "Verdana","sans-serif";">Pendekatan-Pendekatan<o:p></o:p></span></b></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 11pt; font-family: "Verdana","sans-serif";"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 11pt; font-family: "Verdana","sans-serif";">Tidak sedikit penelitian dan kajian tentang keberadaan kawasan percandian Bumiayu di daerah aliran Sungai Lematang dalam konteks lingkungan, sejarah dan budaya. Dalam konteks lingkungan dipaparkan kondisi geologis-geografis serta ditelaah adaptasi manusia dan faktor-faktor yang mempengaruhi pemilihan lokasi situs. Hal yang tidak dapat diabaikan adalah konteks sejarah untuk menempatkan situs candi Bumiayu dalam kaitannya dengan urut-urutan peristiwa pada masa Kerajaan Sriwijaya di Sumatera dan hubungan-hubungan sosial-ekonomi-politik dengan kerajaan-kerajaan lain. Konteks sejarah ini dapat bertalian dengan konteks budaya khususnya pengaruh kalangan elit (raja dan kaum pendeta) dalam menentukan teritori Kerajaan Sriwijaya, pemilihan lokasi bangunan suci dan agama yang melatarinya. Demikian pula campur tangan elit tetap dominan pada seni dan arsitektur bangunan dan arca, makna-makna simbolik yang terkandung dalam budaya materi dan aktivitas-aktivitas ritual bahkan aktivitas sosial-ekonomi sehari-hari di kawasan Bumiayu. Semua konteks tersebut harus ditafsirkan melalui artefak-artefak (dalam arti luas) yang ditemukan dalam konteks arkeologi, dimana tinggalan tersebut telah mengalami transformasi bentuk, ruang dan waktu.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 11pt; font-family: "Verdana","sans-serif";"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 11pt; font-family: "Verdana","sans-serif";">Sebenarnya berbagai kajian itu merupakan upaya para arkeolog dan peneliti untuk merekonstruksi kehidupan manusia masa lalu di kawasan candi Bumiayu secara multidimensi. Namun keterbatasan data (terutama data arkeologi dan data tekstual) yang diperoleh selama ini menyebabkan peradaban kuna itu masih merupakan tabir yang baru sebagian tersibak. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 11pt; font-family: "Verdana","sans-serif";"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 11pt; font-family: "Verdana","sans-serif";">Sungai Lematang yang punya peran besar <span style=""> </span>terhadap tumbuhnya peradaban tersebut tampaknya belum mendapat perhatian yang besar oleh para arkeolog untuk dikaji lebih luas dan lebih dalam. Karakteristik sungai Lematang dan jaringannya dengan aliran-aliran sungai lainnya, serta penempatan situs pada lokasi-lokasi tertentu di daerah aliran sungai merupakan salah satu kunci untuk menafsirkan peran dan fungsi kawasan situs Bumiayu dalam skala makro. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 11pt; font-family: "Verdana","sans-serif";"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 11pt; font-family: "Verdana","sans-serif";">Tulisan ini memfokuskan pada peranan Sungai Lematang sebagai jalur komunikasi pada masa Kerajaan Sriwijaya dalam tumbuh kembangnya peradaban di daerah alirannya. Kawasan situs Bumiayu merupakan situs masa Sriwijaya yang menjadi pokok bahasan kajian ini dengan menggunakan pendekatan keruangan dalam arkeologi (<i style="">spatial archaeology</i>) dan pendekatan wilayah. Bertitik tolak dari persebaran dan hubungan antarsitus serta kaitannya dengan lingkungan, maka situs arkeologi dan lingkungan sekitarnya dianggap sebagai tempat manusia masa lalu melakukan aktivitas-aktivitas misalnya aktivitas rumah tangga, subsistensi, ritual, dan aktivitas sosial lainnya. Dengan mengadopsi konsep-konsep geografi, situs merupakan ajang sosial (<i style="">social space</i>) masa lampau<span style=""> </span>dimana terjadi proses-proses kehidupan (<i style="">social processes</i>) yang berlangsung secara teratur dan terus menerus, atau juga dapat secara tidak tetap. Proses-proses kehidupan tersebut menimbulkan pola-pola kehidupan (<i style="">social patterns</i>) tertentu (Bintarto 1995).<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 11pt; font-family: "Verdana","sans-serif";"><span style=""> </span><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 11pt; font-family: "Verdana","sans-serif";">Identifikasi hubungan antarsitus pada gilirannya mengarah pada hubungan eksternal dari kegiatan sosial penduduk masa lalu pada suatu wilayah dengan penduduk di wilayah lain<span style=""> </span>melalui berbagai jalur komunikasi. Dalam hal ini dipelajari hubungan antara kawasan situs Bumiayu dengan pusat kerajaan Sriwijaya dan hubungan dengan daerah pedalaman yang kaya dengan sumber-sumber alam.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 11pt; font-family: "Verdana","sans-serif";"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 11pt; font-family: "Verdana","sans-serif";">Hubungan-hubungan eksternal semacam itu pada masa Sriwijaya telah ditelaah oleh beberapa ahli dalam bentuk model dan teori. Sebagai contoh diambil di sini adalah model tentang hubungan antara <i style="">kadatuan</i> Sriwijaya di pusat dengan <i style="">mandala-mandala</i> di sekitarnya dalam wilayah (<i style="">bhumi</i>) Sriwijaya oleh Hermann Kulke (1993) berdasarkan kajian terhadap Prasasti Telaga Batu (Sabokingking) abad VII Masehi. <i style="">Kadatuan</i> atau keraton sebagai tempat tinggal raja dilingkungi oleh sebuah wilayah yang disebut <i style="">wanua</i> yang berciri kekotaan (<i style="">urban</i>) dimana terdapat bangunan-bangunan suci<span style=""> </span>dan bangunan-bangunan publik lainnya. <st1:place st="on">Para</st1:place> saudagar (<i style="">vaniyaga</i>) dan nakhoda kapal (<i style="">puhavam</i>) dari luar melakukan hubungan langsung dengan pusat dalam kegiatan perniagaan dan komunikasi. Sementara itu <i style="">mandala-mandala</i> di luar pusat masing-masing dipimpin oleh <i style="">seorang datu </i>yang berasal dari kerabat kerajaan atau dari daerah setempat (<i style="">local</i>). Seperti halnya pusat, daerah yang dipimpin <i style="">datu</i> terdiri dari <i style="">wanua</i> dan daerah pedalaman (<i style="">samaryyada</i>). Pusat (<i style="">kadatuan</i>) mengendalikan dan mengawasi <span style=""> </span>daerah (<i style="">mandala</i>) oleh “para staf kerajaan” (<i style="">huluntuhan</i>), termasuk menerima pajak dan penghasilan (<i style="">dravya</i>) dari daerah. Model yang disusun Hermann Kulke merupakan “model konsentris” yang menganggap ruang sebagai teritori dari persepsi politik elit (raja, <i style="">datu</i>) pada masa itu.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 11pt; font-family: "Verdana","sans-serif";"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 11pt; font-family: "Verdana","sans-serif";">Dari segi ekonomi dan perdagangan dikembangkan model dendritik sebagai penyesuaian dari teori tempat pusat (<i style="">central place teory</i>). Beberapa ahli misalnya Bennet Bronson (1977), yang kemudian dikembangkan oleh John Miksic (1984) dan Piere Yves Manguin (2002) telah menerapkan model tersebut pada wilayah Sumatera yang memiliki jaringan sungai yang menghubungkan antara daerah pesisir dan daerah pedalaman melalui kajian arkeologi. Model dendritik digunakan untuk menjelaskan jenjang situs mulai dari situs yang dianggap sebagai tempat pusat tingkat pertama (di hilir dan muara sungai di pantai) dan kaitannya dengan situs-situs di tempat-tempat pusat yang lebih rendah tingkatannya yang terdapat pada anak dan cabang sungai di hulu dan di pertemuan sungai.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 11pt; font-family: "Verdana","sans-serif";"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 11pt; font-family: "Verdana","sans-serif";">Kedua model struktur keruangan tersebut (model teritori konsentris dan model dendritik tempat pusat) tentunya menjadi bahan pertimbangan untuk menafsirkan peran Sungai Lematang sebagai jalur komunikasi yang mempengaruhi tumbuh kembangnya peradaban kuna di kawasan situs Bumiayu.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 11pt; font-family: "Verdana","sans-serif";"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><b style=""><span style="font-size: 11pt; font-family: "Verdana","sans-serif";">Kawasan Situs Bumiayu<o:p></o:p></span></b></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 11pt; font-family: "Verdana","sans-serif";"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 11pt; font-family: "Verdana","sans-serif";">Keberadaan situs percandian Bumiayu pertama kali dilaporkan oleh Tombrink pada tahun 1864, kemudian oleh Knapp 1902 dan tahun 1930an oleh Westenenk, Bosch dan Schnitger. Dalam laporan Knapp yang mengadakan perjalanan melalui Sungai Lematang ia sampai pada sebuah gundukan (<i style="">tumulus</i>) yang tingginya 1,75 meter yang mengandung bata. Menurut penduduk situs itu merupakan peninggalan Kerajaan Kadebong Undang yang wilayahnya mencakup Modong dan Babat. <span style=""> </span>Di Situs Babat Schnitger mencatat adanya sebuah arca Brahma dan di Situs Modong terdapat sebuah lingga (Soeroso 1994). <span style=""> </span><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 11pt; font-family: "Verdana","sans-serif";"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 11pt; font-family: "Verdana","sans-serif";">Kawasan Situs Bumiayu, Situs Modong dan Babat menempati lembah Sungai Lematang. Secara administratif Kawasan situs Bumiayu terletak di Desa Bumiayu, Kecamatan Tanahabang, Kabupaten Muara Enim, Provinsi Sumatera Selatan, sedangkan Situs Modong berada di bagian hilirnya berjarak sekitar 17 km. Situs Modong dan Babat kini hanya<span style=""> </span>menyisakan pecahan-pecahan bata kuno dan lokasi sekitar situs Modong telah menjadi lahan pemakaman penduduk. Sebagian besar sisa bangunan bata telah hilang karena pengikisan tebing sungai. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 11pt; font-family: "Verdana","sans-serif";"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 11pt; font-family: "Verdana","sans-serif";">Proses fluvial yang terjadi di sepanjang <span style=""> </span>aliran Lematang berupa pengikisan, pengendapan dan pengangkutan material oleh air. Pada saat banjir air meluap sampai ke dataran, air mengendapkan material sungai sehingga membentuk tanggul alam (<i style="">natural levee</i>), yaitu tempat yang lebih tinggi, sedangkan daerah yang lebih rendah dan cekung selalu tergenang air banjir sehingga membentuk rawa belakang (<i style="">backswamp</i>). Pengikisan terjadi pada tebing luar meander sungai, sedangkan di teras bagian dalam meander terjadi pengendapan. Akibat pengikisan tebing luar meander terjadi pemenggalan meander dan air sungai mengalir meneruskan saluran yang dibentuk oleh pemenggalan itu. Meander yang terpenggal itu pada kedua ujungnya tersumbat oleh endapan tanahliat karena kederasan aliran air berkurang (Tjia 1987). Penggalan meander yang sudah terpisah dari sungai asalnya dan masih berisi air disebut danau ladam (<i style="">oxbow lake</i>), sedangkan jika kering dikenali sebagai saluran penggalan meander (<i style="">meander cut-off</i>).<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 11pt; font-family: "Verdana","sans-serif";"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 11pt; font-family: "Verdana","sans-serif";">Beberapa bentuklahan (<i style="">landform</i>) yang terbentuk oleh proses fluvial tersebut merupakan tempat-tempat yang dipilih manusia untuk bermukim. Pada masa sekarang perkampungan penduduk Bumiayu dan sekitarnya <span style=""> </span>menempati tanggul alam, teras meander, teras danau ladam (<i style="">ox-bowe lake</i>) dan dataran aluvial.<span style=""> </span>Kompleks percandian Bumiayu menempati dataran aluvial di sisi barat Sungai Lematang dengan latar belakang Danau Candi yang merupakan rawa belakang. Pada bagian utara kawasan situs dijumpai lagi rawa belakang yang dikenal dengan nama Danau Lebar. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 11pt; font-family: "Verdana","sans-serif";"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 11pt; font-family: "Verdana","sans-serif";">Pada sisi timur aliran Sungai Lematang terletak Danau Besar dan Danau kecil, keduanya merupakan ujung-ujung dari sebuah danau ladam yang terbentuk oleh penggalan meander. Penduduk menyebutnya Danau Keman. Pada teras bekas meander Sungai Lematang itu ditemukan artefak-artefak tembikar dan keramik kuna yang menunjukkan adanya<span style=""> </span>permukiman kuna. Pada masa lalu lokasi tersebut menyatu dengan kawasan percandian sebelum dipisahkan oleh aliran Sungai Lematang. Dahulu dusun lama Bumiayu terletak di teras danau ladam itu, ketika aliran Sungai Lematang berpindah, penduduk pun ikut pindah di lokasi sekitar candi sekarang.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 11pt; font-family: "Verdana","sans-serif";"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><!--[if gte vml 1]><v:shape id="_x0000_s1027" type="#_x0000_t202" style="'position:absolute;left:0;text-align:left;" strokecolor="white"><![endif]--><!--[if !vml]--><span style="position: absolute; z-index: 2; left: 0px; margin-left: 23px; margin-top: 331px; width: 402px; height: 54px;"></span><span style="font-size: 11pt; font-family: "Verdana","sans-serif";">Pada saat ini proses pengikisan tebing luar meander Sungai Lematang semakin mengancam keberadaan situs candi. Pengukuran erosi meander pada tahun 1991-1992 memperlihatkan bahwa perpindahan Sungai Lematang akibat erosi ke samping atau erosi meander adalah lebih kurang 10 meter/tahun. Pada saat itu diperkirakan pada tahun 2013 candi yang terdekat dengan sungai, yaitu Candi 1 akan lenyap karena erosi meander (Intan 1994)<a style="" href="#_ftn1" name="_ftnref1" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style=""><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 11pt; font-family: "Verdana","sans-serif";">[1]</span></span><!--[endif]--></span></span></a>. Pada tahun 2006 - 2007<span style=""> </span>beberapa rumah penduduk telah lenyap karena lahannya runtuh ke sungai. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 11pt; font-family: "Verdana","sans-serif";"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><!--[if gte vml 1]><v:shape id="_x0000_s1026" type="#_x0000_t202" style="'position:absolute;left:0;text-align:left;" strokecolor="white"><![endif]--><!--[if !vml]--><span style="position: absolute; z-index: -3; left: 0px; margin-left: 335px; margin-top: 180px; width: 258px; height: 72px;"> <table cellpadding="0" cellspacing="0"> <tbody><tr> <td style="border: 0.75pt solid white; background: white none repeat scroll 0% 50%; vertical-align: top; -moz-background-clip: -moz-initial; -moz-background-origin: -moz-initial; -moz-background-inline-policy: -moz-initial;" bgcolor="white" height="72" width="258"><!--[endif]--><!--[if !mso]--><span style="position: absolute; left: 0pt; z-index: -3;"> <table cellpadding="0" cellspacing="0" width="100%"> <tbody><tr> <td><!--[endif]--> <div shape="_x0000_s1026" style="padding: 4.35pt 7.95pt;" class="shape"> <p class="MsoNormal"><span style="font-size: 10pt;">Gambar 3. Erosi di tebing luar meander sungai telah melenyapkan rumah-rumah penduduk di Desa Bumiayu.<o:p></o:p></span></p> </div> <!--[if !mso]--></td> </tr> </tbody></table> </span><!--[endif]--><!--[if !mso & !vml]--> <!--[endif]--><!--[if !vml]--></td> </tr> </tbody></table> </span><!--[endif]--><span style="font-size: 11pt; font-family: "Verdana","sans-serif";"><!--[if gte vml 1]><v:shape id="_x0000_i1027" type="#_x0000_t75" style="'width:250.5pt;height:188.25pt'" wrapcoords="-65 0 -65 21514 21600 21514 21600 0 -65 0"> <v:imagedata src="file:///C:\DOCUME~1\BALARP~1\LOCALS~1\Temp\msohtmlclip1\01\clip_image005.jpg" title="erosisungai"> </v:shape><![endif]--><o:p><br /></o:p>Penggalian arkeologis pertama kali di Situs Bumiayu dilaksanakan oleh Pusat Penelitian Arkeologi Nasional pada tahun 1990. Gundukan tanah yang digali pertama adalah apa yang sekarang<span style=""> </span>disebut Candi Bumiayu 1. Penggalian berikutnya pada gundukan-gundukan tanah lainnya sampai tahun 2007 telah memunculkan bangunan-bangunan dari bata, baik berupa candi maupun sisa pondasi bangunan. Tercatat ada empat bangunan candi, satu struktur bangunan dan menyisakan <st1:city st="on"><st1:place st="on">lima</st1:place></st1:City> gundukan tanah yang belum dikupas. Bangunan-bangunan candi itu diketahui berasal dari agama Hindu yang bersifat tantris. Unsur-unsur agama Buddha terdapat di Candi 2, dengan ditemukannya </span><span style="font-size: 11pt; font-family: "Verdana","sans-serif";">dua arca perunggu yang menggambarkan tokoh Budha dan Bodhisattwa Awalokiteswara dalam penggalian tahun 2001 yang dilaksanakan oleh tim dari Proyek Pembinaan Peninggalan Sejarah dan Purbakala dan Permuseuman Provinsi Sumatera Selatan. </span><span style="font-size: 11pt; font-family: "Verdana","sans-serif";"><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 11pt; font-family: "Verdana","sans-serif";"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 11pt; font-family: "Verdana","sans-serif";"><br /></span></p><p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 11pt; font-family: "Verdana","sans-serif";">Para ahli memperkirakan kronologi kawasan situs Bumiayu berasal dari abad IX – XIII Masehi berdasarkan analisis keramik (lihat tulisan Eka Asih Putrina), gaya arsitektur candi (lihat tulisan Tri Marhaeni) dan bentuk tulisan kuno (paleografi) pada selembar kerta emas yang ditemukan pada buli-buli di sekitar situs (Atmodjo 1993). Analisis C-14 dari sampel arang yang ditemukan dalam penggalian Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional (Puslitbang Arkenas) pada 2007, menghasilkan pertanggalan sekitar tahun 1110 – 1330 atau abad<span style=""> </span>XII – XIV Masehi. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 11pt; font-family: "Verdana","sans-serif";"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 11pt; font-family: "Verdana","sans-serif";">Kronologi kawasan situs candi tersebut<span style=""> </span>mengarah pada hubungan antara Kerajaan Sriwijaya di Sumatera dan kerajaan-kerajaan di Jawa. Pada abad IX Masehi terjadi peperangan antara raja Balaputra dengan iparnya, Rakai Pikatan. Balaputra berhasil dikalahkan kemudian melarikan diri ke Suwarnadwipa dan menjadi raja di Sriwijaya (BB Utomo 1993).<span style=""> </span>Satyawati Sulaiman (dalam BB Utomo 1993) beranggapan bahwa arca-arca yang bergaya seni Jawa Tengah atau bergaya Sailendra dibawa oleh keluarga Sailendra (Balaputra) yang menyingkir ke Sumatera pada pertengahan abad IX Masehi.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 11pt; font-family: "Verdana","sans-serif";"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 11pt; font-family: "Verdana","sans-serif";">Pemetaan awal pada situs ini pada tahun 1991 oleh Pusat Penelitian Arkeologi Nasional menampakkan adanya gundukan-gundukan tanah yang dikelilingi oleh sungai-sungai kecil, yaitu Sungai Piabung, Sungai Tebat Jambu, Sungai Tebat Tholib, Sungai Tebat Siku dan Sungai Tebat Panjang. <span style=""> </span>Sungai-sungai tersebut saling berhubungan sebagai pembatas lahan candi dan alirannya kemudian masuk ke Sungai Batanghari Siku yang bermuara ke Sungai Lematang. <span style=""> </span><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 11pt; font-family: "Verdana","sans-serif";"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 11pt; font-family: "Verdana","sans-serif";">Lahan percandian seluas kurang lebih 75 ha yang dikelilingi sungai-sungai merupakan lokasi yang dipilih para elit (Guru, <i style="">silpin</i>) untuk mendirikan bangunan suci. Menurut pandangan agama Hindu, suatu tempat suci adalah suci karena potensinya, yaitu tanahnya, sedangkan bangunan menduduki tempat nomor dua (Soekmono 1974; Ferdinandus 1993). Hal ini mengacu pada konsep <i style="">ksetra</i> dan <i style="">tirtha</i> dalam persyaratan mendirikan bangunan suci di <st1:country-region st="on"><st1:place st="on">India</st1:place></st1:country-region>. Ksetra adalah tempat-tempat tinggi (gunung, bukit) yang dianggap suci, sedangkan <i style="">tirtha </i>atau air yang dianggap suci, sehingga lokasi yang dianggap suci untuk mendirikan bangunan candi adalah lokasi yang terletak <span style=""> </span>dekat air atau dikelilingi air.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 11pt; font-family: "Verdana","sans-serif";"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 11pt; font-family: "Verdana","sans-serif";">Di luar area percandian yang dikelilingi sungai yang membentuk parit keliling, ditemukan situs-situs permukiman di sepanjang Sungai Lematang. Tidak tertutup kemungkinan di sepanjang tepi aliran Lematang dari percandian Bumiayu sampai ke situs Modong dan Babat pernah dimukimi oleh penduduk masa lalu dalam beberapa kelompok, namun jejak-jejaknya sebagian telah terhapus oleh erosi tebing meander dan berpindah-pindahnya aliran Sungai Lematang. Sisa-sisa hunian juga ditemukan di dalam area percandian (di dalam parit keliling) melalui penggalian-penggalian arkeologis yang dilaksanakan oleh Balai Arkeologi Palembang dan Puslitbang Arkenas. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 11pt; font-family: "Verdana","sans-serif";"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><b style=""><span style="font-size: 11pt; font-family: "Verdana","sans-serif";">Struktur Internal dan Hubungan Eksternal<o:p></o:p></span></b></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 11pt; font-family: "Verdana","sans-serif";"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 11pt; font-family: "Verdana","sans-serif";">Serangkaian penelitian arkeologi menggambarkan adanya kelompok-kelompok permukiman penduduk pada masa berfungsinya candi-candi di Bumiayu, yaitu permukiman pada area candi dan permukiman di sepanjang tepi aliran Sungai Lematang. Bukti-bukti arkeologis tersebut menggiring kita kepada skenario mengenai kehidupan kelompok-kelompok sosial di kawasan Bumiayu. Dapat dibayangkan sedikitnya ada dua kelompok sosial yang mendukung tumbuhnya peradaban di wilayah Bumiayu, yaitu kelompok elit dan kelompok penghasil bahan makanan dan pengumpul bahan <st1:city st="on"><st1:place st="on">baku</st1:place></st1:City>.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 11pt; font-family: "Verdana","sans-serif";"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 11pt; font-family: "Verdana","sans-serif";">Kelompok elit menempati lokasi pusat (<i style="">central place),</i> mungkin pada area percandian atau dekat area percandian. Kelompok ini mengatur dan mengelola kegiatan-kegiatan ritual keagamaan, memelihara candi dan bangunan-bangunan serta lainnya di area percandian. Kelompok ini terdiri dari para pendeta dan pembantu-pembantu pendeta yang bertugas menyiapkan upacara serta kelengkapannya dan mengurus bangunan suci. Kelompok elit lainnya adalah kalangan birokrasi<span style=""> </span>yang mengatur daerah Bumiayu secara otonom. Kelompok ini dipimpin oleh seorang <span style=""> </span>yang berkuasa di wilayahnya yang mengatur segala urusan<span style=""> </span>untuk kepentingan status dan kekuasaan mereka. Mengacu pada model teritori Kulke (1993) pimpinan kelompok elit itu semacam <i style="">datu</i> yang membawahi sebuah <i style="">mandala</i>. <i style="">Datu</i>, keluarga dan pembantu-pembantunya menempati lokasi pusat (<i style="">central place</i>) yang dilingkungi oleh hunian kaum elit lainnya yang terdiri dari kalangan birokrasi, kaum pendeta dan para pembantu mereka.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 11pt; font-family: "Verdana","sans-serif";"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 11pt; font-family: "Verdana","sans-serif";">Kelompok kedua, yaitu kelompok penghasil bahan makanan dan pengumpul bahan <st1:city st="on"><st1:place st="on">baku</st1:place></st1:City> lainnya, merupakan kelompok yang bertumpu pada kegiatan ekonomi dan subsistensi. Kelompok ini terdiri dari para penghasil bahan makanan (pertanian dan perikanan) pengumpul dan peramu hasil hutan dan tambang. Kelompok inilah yang mendiami tempat-tempat di sepanjang tepi Sungai Lematang. Sungai tersebut merupakan akses menuju <span style=""> </span>hilir (pusat Sriwijaya) dan daerah pedalaman (<i style="">samaryyada</i>) yang ada di <span style=""> </span>sekitar kawasan Bumiayu sampai hulu Lematang di dataran tinggi Pasemah untuk memperoleh bahan <st1:city st="on"><st1:place st="on">baku</st1:place></st1:City> lainnya yang dibutuhkan. <span style=""> </span><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 11pt; font-family: "Verdana","sans-serif";"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 11pt; font-family: "Verdana","sans-serif";">Skenario tentang kehidupan sosial-ekonomi masyarakat di wilayah Bumiayu mengacu pada tipe masyarakat “<i style="">rank redistribution”</i> yang memiliki ciri-ciri: bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri dan subsistensi. Pada masyarakat semacam itu muncul kelompok elit yang memperlihatkan status mereka yang lebih tinggi antara lain melalui bidang keagamaan dengan bangunan-bangunan sucinya. Dengan memperlihatkan status dan kekuasaan, mereka <span style=""> </span>menganggap dirinya layak menerima upeti yang akan membebaskan mereka dari keharusan bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup sendiri. Untuk membangun candi misalnya dibutuhkan tenaga arsitek demikian pula untuk kelengkapan upacara diperlukan jasa pembantu pendeta. <span style=""> </span>Hal itu menumbuhkan kelas pekerja baru yang bukan subsistensi (<i style="">non-food producer</i>) yang pada gilirannya masuk dalam kelompok elit pula. Kelompok elit ini menempatkan huniannya <span style=""> </span>terpisah dari kelompok lain dan biasanya menempati lokasi pusat (<i style="">central place</i>) dimana masyarakat datang membawa upeti yang dibutuhkan (<st1:city st="on"><st1:place st="on">Johnston</st1:place></st1:City> 1984).<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 11pt; font-family: "Verdana","sans-serif";"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 11pt; font-family: "Verdana","sans-serif";">Kembali kepada masyarakat masa lampau Bumiayu. Kelompok elit mengelola surplus produksi bahan makanan dan bahan <st1:city st="on"><st1:place st="on">baku</st1:place></st1:City> lainnya yang <span style=""> </span>selanjutnya menumbuhkan kegiatan pertukaran (<i style="">exchange</i>) atau perdagangan. Kegiatan tersebut mendatangkan kelompok pedagang (<i style="">vaniyaga</i>) dari luar yang mengorganisasikan transaksi komoditi di wilayah Bumiayu untuk didistribusikan ke <st1:city st="on"><st1:place st="on">Palembang</st1:place></st1:City>. <span style=""> </span>Berkaitan dengan hal itu wilayah Bumiayu diduga kuat<span style=""> </span>menjadi <span style=""> </span>tempat penyimpanan komoditi (<i style="">entrepot</i>) bahan makanan dan bahan <st1:city st="on"><st1:place st="on">baku</st1:place></st1:City> lainnya. Hal itu dapat terjadi dengan adanya pelabuhan di <span style=""> </span>Sungai Lematang sebagai jalur distribusi komoditi hulu-hilir. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 11pt; font-family: "Verdana","sans-serif";"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 11pt; font-family: "Verdana","sans-serif";">Posisi Sungai Lematang sangat strategis karena memiliki akses langsung ke pusat-pusat penghasil produk <span style=""> </span>di dataran tinggi Pasemah dan sekitarnya.<span style=""> </span>Dataran tinggi ini memasok barang-barang komoditi yang sangat dibutuhkan seperti hasil pertanian, komoditi-komoditi hasil hutan, emas dan pertambangan bijih besi. Oleh para saudagar komoditi-komoditi tersebut selanjutnya didistribusikan ke tempat pusat utama di <st1:city st="on"><st1:place st="on">Palembang</st1:place></st1:City> melalui Sungai Lematang sampai ke hilir Musi. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 11pt; font-family: "Verdana","sans-serif";"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 11pt; font-family: "Verdana","sans-serif";">Peran kaum pedagang <span style=""> </span>(<i style="">vaniyaga</i>) sangat besar dalam pengembangan ekonomi Kerajaan Sriwijaya sejak abad VII Masehi, seperti yang disebutkan dalam Prasasti Telaga Batu dan data tekstual lainnya (Cina, Arab). Sebenarnya yang ingin dikemukakan sehubungan dengan kelompok pedagang adalah kehidupan sosial penduduk masa Sriwijaya yang berciri “<i style="">rank redistribution</i>” terutama di daerah hulu mengalami proses perubahan dalam pengelolaan surplus bahan makanan dan bahan <st1:city st="on"><st1:place st="on">baku</st1:place></st1:City> lainnya dengan kedatangan para pedagang dari luar. Pada gilirannya kegiatan perdagangan mempengaruhi organisasi sosial dari “<i style="">rank redistribution</i>” ke “merkantilisme” (<i style="">merchantilism</i>). <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 11pt; font-family: "Verdana","sans-serif";"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 11pt; font-family: "Verdana","sans-serif";">Pada awal mula merkantil pedagang dalam jumlah kecil bepergian dari satu tempat ke tempat lain membeli surplus produksi dan menjual produk lain sebagai gantinya. Frekuensi kunjungan mereka ke setiap tempat akan tergantung pada volume produksi di <st1:city st="on"><st1:place st="on">sana</st1:place></st1:City> dan sifat produk (misalnya bulanan, tahunan). Seiring dengan peningkatan produksi yang melibatkan jumlah orang dalam sistem produksi yang dikelola kelompok elit,<span style=""> </span>menimbulkan permintaan (<i style="">demand</i>) yang lebih besar bagi jasa merkantil. Terlebih lagi dengan semakin terspesialisasi penghasil dalam kegiatan mereka dan juga semakin tergantung pada penghasil lain dalam berbagai produk yang dibutuhkan, maka mereka perlu lebih banyak membeli kebutuhan hidup mereka. <st1:place st="on">Para</st1:place> pedagang menyiapkan hal ini dengan mengumpulkan berbagai produk terlebih dulu di tempat tertentu dan waktu tertentu.<span style=""> </span>Kumpulan para pedagang ini merupakan tempat-tempat terartikulasinya perdagangan (<i style="">trade articulation point</i>). <st1:place st="on">Para</st1:place> pedagang dan penghasil produk bertemu pada waktu tertentu di tempat-tempat itu untuk kegiatan jual-beli atau pasar (<st1:city st="on"><st1:place st="on">Johnston</st1:place></st1:City> 1984).<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 11pt; font-family: "Verdana","sans-serif";"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 11pt; font-family: "Verdana","sans-serif";">Dalam hal ini wilayah Bumiayu merupakan pasar berbagai produk hasil bumi dan bahan <st1:city st="on"><st1:place st="on">baku</st1:place></st1:City> lainnya dimana para pedagang dari tempat pusat tingkat pertama atau dari pusat Kerajaan Sriwijaya datang untuk melakukan transaksi. Kegiatan perdagangan ini mendatangkan keuntungan bagi kelompok elit lokal. Kelompok ini menikmati pendapatan dari upeti dan keuntungan dari perdagangan untuk kepentingan status sosial mereka dan kekuasaan. Sebagian dari pendapatan digunakan untuk pemeliharaan bangunan-bangunan candi dan kelangsungan hidup para pengelolanya, termasuk<span style=""> </span>membeli komoditi impor antara lain keramik kualitas tinggi untuk memperlihatkan status mereka (lihat tulisan Eka Asih). Sebagian lagi dari keuntungan mungkin disetorkan ke pusat Kerajaan Sriwijaya sebagai pajak atau penghasilan (<i style="">dravya</i>), dimana pusat mengendalikan dan mengawasi tempat-tempat pusat (<i style="">central places</i>) yang ada di daerah. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 11pt; font-family: "Verdana","sans-serif";"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 11pt; font-family: "Verdana","sans-serif";">Berdasarkan data arkeologi, keramik yang berasal dari abad X – XIII Masehi merupakan keramik yang paling banyak ditemukan di kawasan situs Bumiayu (lihat tulisan Sukowati dan Eka Asih Putrina). Hal ini menunjukkan bahwa perkembangan permukiman penduduk termasuk bangunan-bangunan suci terjadi pada masa-masa tersebut. Tumbuh dan berkembangnya <i style="">mandala </i><span style=""> </span>Bumiayu sebagai tempat pusat (<i style="">central place</i>) terjadi sekitar dua abad setelah <i style="">wanua</i> Sriwijaya dibangun di <st1:city st="on"><st1:place st="on">Palembang</st1:place></st1:City>. <span style=""> </span><i style="">Mandala</i> Bumiayu tetap eksis selama kurang lebih empat abad. Hampir tidak ada tempat pusat lainnya di wilayah Sumatera Selatan (kecuali pusat Sriwijaya di Palembang) yang mengimbangi kawasan Bumiayu, berdasarkan besaran dan kompleksitas situs serta banyaknya bangunan-bangunan suci. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 11pt; font-family: "Verdana","sans-serif";"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 11pt; font-family: "Verdana","sans-serif";">Pada abad XI – XIII Masehi Bumiayu sebagai tempat pusat (<i style="">central place</i>) tingkat kedua tampaknya menyaingi pusat Sriwijaya di Palembang, apalagi ketika Kerajaan Sriwijaya mengalami penyerbuan pasukan Rajendra Cola dari India pada tahun 1025 dan pindahnya ibukota Sriwijaya ke Jambi. Berita Cina menyebutkan bahwa pada 1079 dan 1082 ibukota Sriwijaya <span style=""> </span>pindah dari Palembang ke Jambi dan utusan yang dikirim ke Cina pada tahun 1079 dan 1088 berasal dari Zanbei (Jambi) (Ninie Susanti 2006). Akibat peristiwa-peristiwa politik tersebut, kontrol pusat terhadap <i style="">mandala</i> Bumiayu berkurang dan semakin longgar. Hal ini memberikan keleluasaan bagi kelompok elit lokal Bumiayu untuk mempertahankan bahkan mengembangkan kekuasaannya. Wilayah Bumiayu menjadi tempat pusat terpenting sebagai <i style="">entrepot</i> produk pertanian dan bahan <st1:city st="on"><st1:place st="on">baku</st1:place></st1:City> lainnya yang diperoleh dari <span style=""> </span>daerah pedalaman Kerajaan Sriwijaya. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 11pt; font-family: "Verdana","sans-serif";"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 11pt; font-family: "Verdana","sans-serif";">Dalam bidang keagamaan <span style=""> </span>kelompok elit Bumiayu mengadakan kontak langsung dengan para penguasa dan kalangan pendeta dari luar pusat Sriwijaya. <span style=""> </span>Kontak budaya tersebut berkaitan dengan pendalaman ajaran-ajaran dan aliran-aliran agama Hindu (antara lain Tantis Siwa) dengan memadukan unsur-unsur budaya setempat dengan unsur-unsur budaya luar. Hal ini tercermin <span style=""> </span>dari bentuk-bentuk arsitektur candi dan ikonografi arca-arca dari abad XI-XIII Masehi yang ditemukan di kawasan situs Bumiayu (lihat tulisan Tri Marhaeni dan Sondang S. Siregar). <span style=""> </span><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 11pt; font-family: "Verdana","sans-serif";"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 11pt; font-family: "Verdana","sans-serif";">Uraian-uraian tersebut di atas merupakan sebuah skenario untuk menyingkap tabir peradaban di daerah aliran Sungai Lematang. Tentunya skenario ini perlu didukung oleh penelitian-penelitian lebih lanjut yang berkesinambungan. <span style=""> </span><o:p></o:p></span></p> <span style="font-size: 11pt; font-family: "Verdana","sans-serif";"><br /> </span> <p class="MsoNormal" style="text-align: center;" align="center"><b style=""><span style="font-size: 11pt; font-family: "Verdana","sans-serif";">DAFTAR PUSTAKA<o:p></o:p></span></b></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 11pt; font-family: "Verdana","sans-serif";"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 0.5in; text-align: justify; text-indent: -0.5in;"><span style="font-size: 11pt; font-family: "Verdana","sans-serif";"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 0.5in; text-align: justify; text-indent: -0.5in;"><span style="font-size: 11pt; font-family: "Verdana","sans-serif";">Atmodjo, MM Sukarto, 1993, <i style="">Tirthayatra</i>, dalam <b style="">Sriwijaya dalam Perspektif Arkeologi dan Sejarah</b> (ed. Mindra F). <st1:city st="on"><st1:place st="on">Palembang</st1:place></st1:City>: Pemerintah Daerah Tingkat I Sumatera Selatan.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 0.5in; text-align: justify; text-indent: -0.5in;"><span style="font-size: 11pt; font-family: "Verdana","sans-serif";">Bambang Budi Utomo, 1993, <i style="">Menyingkap Lumpur Lematang</i>, dalam <b style="">Sriwijaya dalam Perspektif Arkeologi dan Sejarah</b> (ed. Mindra F). <st1:city st="on"><st1:place st="on">Palembang</st1:place></st1:City>: Pemerintah Daerah Tingkat I Sumatera Selatan.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 0.5in; text-align: justify; text-indent: -0.5in;"><span style="font-size: 11pt; font-family: "Verdana","sans-serif";">Bintarto, H.R., 1995,<span style=""> </span>“Geografi Manusia”. <st1:place st="on">Yogyakarta</st1:place>: Fakultas Geografi Univ. Gadjah Mada.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 0.5in; text-align: justify; text-indent: -0.5in;"><span style="font-size: 11pt; font-family: "Verdana","sans-serif";">Ferdinandus, Peter, 1993, <i style="">Peninggalan Arsitektural dari Situs Bumi Ayu Sumatera Selatan</i>, dalam<b style=""> Amerta Berkala Arkeologi 13</b>. <st1:city st="on"><st1:place st="on">Jakarta</st1:place></st1:City>: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 0.5in; text-align: justify; text-indent: -0.5in;"><span style="font-size: 11pt; font-family: "Verdana","sans-serif";">Intan, Fadhlan S., 1994, <i style="">Candi Tanah Abang di Antara Kemegahan dan Ancaman Kepunahannya: Suatu Sumbangan Pemikiran</i>, dalam <b style="">Amerta Berkala Arkeologi 14</b>. <st1:city st="on"><st1:place st="on">Jakarta</st1:place></st1:City>: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 0.5in; text-align: justify; text-indent: -0.5in;"><st1:city st="on"><st1:place st="on"><span style="font-size: 11pt; font-family: "Verdana","sans-serif";">Johnston</span></st1:place></st1:City><span style="font-size: 11pt; font-family: "Verdana","sans-serif";">, R.J., 1984, <b style="">City and Society An Outline for Urban Geography</b>. <st1:city st="on"><st1:place st="on">London</st1:place></st1:City>: <st1:place st="on"><st1:placename st="on">Hutchinson</st1:PlaceName> <st1:placetype st="on">University</st1:PlaceType></st1:place> Library.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 0.5in; text-align: justify; text-indent: -0.5in;"><span style="font-size: 11pt; font-family: "Verdana","sans-serif";">Kulke,Hermann, 1993, <i style="">“Kadatuan Srivijaya”- Empire or Kraton of Srivijaya? A Reassesment of the Epigraphical Evidence</i>, dalam <b style="">Bulletin de l’Ecole Francaise d’Extreme-Orient</b>. <st1:city st="on"><st1:place st="on">Paris</st1:place></st1:City>: EFEO.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 0.5in; text-align: justify; text-indent: -0.5in;"><span style="font-size: 11pt; font-family: "Verdana","sans-serif";">Manguin, Piere-Yves,<span style=""> </span>2002, “<i style="">The Amorphous nature of Coastal Polities in Insular <st1:place st="on">Southeast<span style=""> </span>Asia</st1:place>: Restricted Centres, Extended Peripheries</i>”. Moussons.<span style=""> </span>dalam The Early Historical Maritime States<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 0.5in; text-align: justify; text-indent: -0.5in;"><span style="font-size: 11pt; font-family: "Verdana","sans-serif";">Manguin, Piere-Yves, Soeroso, Muriel Charras, 2006, “Bab 3 – Daerah Dataran Rendah dan Daerah Pesisir: Periode Klasik” dalam <b style="">Menyelusuri Sungai, Merunut Waktu: Penelitian Arkeologi di Sumatera Selatan</b>. <st1:city st="on"><st1:place st="on">Jakarta</st1:place></st1:City>: Puslibang Arkeologi Nasional.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 0.5in; text-align: justify; text-indent: -0.5in;"><span style="font-size: 11pt; font-family: "Verdana","sans-serif";">Ninie Susanti, Y.,2006,<span style=""> </span><i style="">Sejarah Kerajaan Melayu Kuno: Keterkaitannya dengan Kerajaan-Kerajaan Lain di Nusantara</i>, dalam <b style="">Seminar Melayu Kuno “Titik Temu” Jejak Peradaban di Tepi Batanghari</b>. Jambi 16 Desember 2006: Bappeda Provinsi.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 0.5in; text-align: justify; text-indent: -0.5in;"><span style="font-size: 11pt; font-family: "Verdana","sans-serif";">Soekmono, 1974, <i style="">Candi, Fungsi dan Pengertiannya</i>. Disertasi Universitas <st1:country-region st="on"><st1:place st="on">Indonesia</st1:place></st1:country-region>.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 0.5in; text-align: justify; text-indent: -0.5in;"><span style="font-size: 11pt; font-family: "Verdana","sans-serif";">Soeroso, M.P., 1994, <i style="">South Sumatra in the 12<sup>th</sup> – 13<sup>th</sup> Century AD</i>”., dalam <b style="">Southeast Asian Archaeology 1994 Proceedings of the 5<sup>th</sup> International Conference of the European Association of Southeast Asian Archaelogist</b>. <st1:city st="on"><st1:place st="on">Paris</st1:place></st1:City>, <st1:date month="10" day="24" year="1994" st="on">24<sup>th</sup>-28<sup>th</sup> October 1994</st1:date>.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 0.5in; text-align: justify; text-indent: -0.5in;"><span style="font-size: 11pt; font-family: "Verdana","sans-serif";">Tjia, H.D., 1987, <b style="">Geomorfologi</b>. <st1:city st="on"><st1:place st="on">Kuala Lumpur</st1:place></st1:City>: Dewan Bahasa dan Pustaka Kementerian Pendidikan <st1:country-region st="on"><st1:place st="on">Malaysia</st1:place></st1:country-region>.<o:p></o:p></span></p> <div style=""><!--[if !supportFootnotes]--><br /> <hr align="left" size="1" width="33%"> <!--[endif]--> <div style="" id="ftn1"> <p class="MsoFootnoteText"><a style="" href="#_ftnref1" name="_ftn1" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style=""><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 10pt; font-family: "Times New Roman","serif";">[1]</span></span><!--[endif]--></span></span></a><span style=""> </span>Beberapa tahun setelah pengukuran itu Bupati Muara Enim memerintahkan untuk membuat saluran untuk mengurangi aliran Sungai Lematang. Mungkin karena penempatan sudetan itu kurang tepat, erosi masih tetap terjadi sampai sekarang.</p> <p class="MsoFootnoteText"><o:p> </o:p></p> <p class="MsoFootnoteText"><o:p> </o:p></p> <p class="MsoFootnoteText"><o:p> </o:p></p> <p class="MsoFootnoteText"><o:p> </o:p></p> <p class="MsoFootnoteText"><o:p> </o:p></p> <p class="MsoFootnoteText"><o:p> </o:p></p> <p class="MsoFootnoteText"><o:p> </o:p></p> </div> </div>Nurhadi Rangkutihttp://www.blogger.com/profile/05987175295898025688noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-6558820035391086789.post-35959615393730267522009-05-16T00:43:00.000-07:002009-05-16T00:46:45.978-07:00SEBIDUK DI SUNGAI MUSI<p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt; line-height: 150%;"><span style="line-height: 150%;font-family:";font-size:10;" ><!--[if gte vml 1]><v:shapetype id="_x0000_t136" coordsize="21600,21600" spt="136" adj="10800" path="m@7,l@8,m@5,21600l@6,21600e"> <v:formulas> <v:f eqn="sum #0 0 10800"> <v:f eqn="prod #0 2 1"> <v:f eqn="sum 21600 0 @1"> <v:f eqn="sum 0 0 @2"> <v:f eqn="sum 21600 0 @3"> <v:f eqn="if @0 @3 0"> <v:f eqn="if @0 21600 @1"> <v:f eqn="if @0 0 @2"> <v:f eqn="if @0 @4 21600"> <v:f eqn="mid @5 @6"> <v:f eqn="mid @8 @5"> <v:f eqn="mid @7 @8"> <v:f eqn="mid @6 @7"> <v:f eqn="sum @6 0 @5"> </v:formulas> <v:path textpathok="t" connecttype="custom" connectlocs="@9,0;@10,10800;@11,21600;@12,10800" connectangles="270,180,90,0"> <v:textpath on="t" fitshape="t"> <v:handles> <v:h position="#0,bottomRight" xrange="6629,14971"> </v:handles> <o:lock ext="edit" text="t" shapetype="t"> </v:shapetype><v:shape id="_x0000_i1025" type="#_x0000_t136" style="'width:27.75pt;" fillcolor="black"> <v:shadow color="#868686"> <v:textpath style="'font-family:" trim="t" fitpath="t" string="A"> </v:shape><![endif]--><!--[if !vml]--><img src="file:///C:/DOCUME%7E1/BALARP%7E1/LOCALS%7E1/Temp/msohtmlclip1/01/clip_image001.gif" alt="A" shapes="_x0000_i1025" height="39" width="72" /><!--[endif]-->khirnya warung kopi yang ditunggu datang juga. Warung itu perlahan menyeberangi Sungai Musi menuju <i style="">ilir</i>. Sampai di depan Benteng Kuto Besak, warung ditambatkan di antara perahu-perahu ketek yang sedang menunggu penumpang.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt; line-height: 150%;"><span style="line-height: 150%;font-family:";font-size:10;" ><span style=""> </span>“Maaf saya baru mengantar rombongan Bapak Gubernur dan Walikota meninjau rumah-rumah rakit”, kata Harun (47), pengelola warung kopi terapung. Sore itu Harun terlambat satu jam. Biasanya setiap habis<span style=""> </span>ashar perahu yang tampil beda dari perahu-perahu lainnya itu merapat di dermaga <span style=""> </span>Benteng Kuto Besak (BKB), <st1:city st="on"><st1:place st="on">Palembang</st1:place></st1:city>. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt; line-height: 150%;"><span style="line-height: 150%;font-family:";font-size:10;" ><span style=""> </span>Rais (17), putra Harun, dengan cekatan menyodorkan tangga kepada pelanggan yang lama menunggu untuk naik ke warung kopi. Ibunya sedang sibuk menggoreng pisang di dalam perahu. Empek-empek, bakwan, tahu goreng, tekwan, pastel, pisang goreng merupakan menu tetap tiap sore<span style=""> </span>di warung <span style=""> </span>itu. Makanannya bersih, rasanya lumayan<span style=""> </span>dan harga murah meriah. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt; line-height: 150%;"><span style="line-height: 150%;font-family:";font-size:10;" >Warung kopi terapung yang dikelola Harun, merupakan <span style=""> </span>satu dari enam warung perahu yang dapat dijumpai di tepi Musi<span style=""> </span>di Kota <st1:city st="on"><st1:place st="on">Palembang</st1:place></st1:city>. Empat warung nasi terapung beroperasi di Pasar 16 Ilir, sedangkan dua <span style=""> </span>warung kopi terapung mangkal di depan BKB. Selain keenam warung bergoyang itu, terdapat pula rumah-rumah rakit buatan baru di Seberang Ulu untuk pengunjung yang memiliki dompet lebih tebal menikmati masakan khas <st1:city st="on"><st1:place st="on">Palembang</st1:place></st1:city> sambil karoke sampai larut malam. Rumah makan terapung itu namanya Warung Legenda dikelola oleh Pemerintah Kota Palembang. <i style=""><o:p></o:p></i></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt; line-height: 150%;"><span style="line-height: 150%;font-family:";font-size:10;" ><o:p></o:p></span><b style=""><span style="line-height: 150%;font-family:";font-size:10;" ><o:p><br /><br /></o:p>Situs multi-komponen<o:p></o:p></span></b></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt; line-height: 150%;"><span style="line-height: 150%;font-family:";font-size:10;" >Sejak dicanangkannya <st1:city st="on"><st1:place st="on">Palembang</st1:place></st1:city> sebagai Kota Wisata Sungai oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tanggal <st1:date month="9" day="27" year="2005" st="on">27 September 2005</st1:date>, Sungai Musi <span style=""> </span>digarap serius. Jembatan Ampera yang diresmikan Presiden pertama RI, Ir Soekarno pada tahun 1964 itu kini tampak indah dengan lampu warna-warni di malam hari. Jembatan unik yang panjangnya 1777 meter itu memang telah jadi tetenger (<i style="">landmark</i>) Kota Palembang.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt; line-height: 150%;"><span style="line-height: 150%;font-family:";font-size:10;" >Pertama kali mengunjungi <st1:city st="on"><st1:place st="on">Palembang</st1:place></st1:city> <st1:city st="on"><st1:place st="on">lima</st1:place></st1:city> belas tahun yang lalu, di depan BKB dan Museum Sultan Mahmud Badaruddin II<span style=""> </span>merupakan pasar buah yang kumuh dan tidak aman. Kini tempat itu dijadikan pelataran yang sering digunakan untuk <span style=""> </span>ajang kesenian, rekreasi, pendidikan, panggung hiburan, mancing dan tempat dua sejoli memadu kasih diiringi lagu-lagu cinta yang dilantunkan para pengamen remaja penuh <st1:city st="on"><st1:place st="on">gaya</st1:place></st1:city>. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt; line-height: 150%;"><st1:place st="on"><st1:placename st="on"><span style="line-height: 150%;font-family:";font-size:10;" >Benteng</span></st1:placename><span style="line-height: 150%;font-family:";font-size:10;" > <st1:placename st="on">Kuto</st1:placename> <st1:placename st="on">Besak</st1:placename> <st1:placename st="on">dan</st1:placename> <st1:placetype st="on">Museum</st1:placetype></span></st1:place><span style="line-height: 150%;font-family:";font-size:10;" > <span style=""> </span>SMB II telah dipugar dan dipercantik untuk obyek wisata dan pendidikan. Pada awalnya kedua bangunan ini bagian dari kompleks kraton Kesultanan Palembang Darussalam yang dikelilingi oleh kuta atau benteng. Pada masa itu ada dua benteng yang menghadap ke Sungai Musi: Kuta Lama alias Kuta Tengkuruk dan Kuta Besak. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt; line-height: 150%;"><span style="line-height: 150%;font-family:";font-size:10;" >Kuta Lama didirikan oleh Sultan Mahmud Badaruddin I dan Kuta Besak dibangun semasa Sultan Mahmud Bahauddin yang memerintah tahun 1776-1803. Belanda menghancurkan Kuta Lama pada tahun 1823 dan lahannya dijadikan rumah Komisaris Belanda yang dihuni oleh Komisaris IJ van Sevenhoven pada tahun 1825 (Djohan Hanafiah, 1988). Sekarang rumah komisaris itu jadi Museum SMB II. <span style=""> </span><span style=""> </span><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt; line-height: 150%;"><span style="line-height: 150%;font-family:";font-size:10;" >Penggalian arkeologis di halaman Museum SMB II pada tahun 1990 memperlihatkan lapisan-lapisan budaya <span style=""> </span>dari masa Sriwijaya dan masa Kesultanan Palembang sebelum dan sesudah benteng dihancurkan Belanda. Lapisan budaya Sriwijaya berada di bawah pada kedalaman sekitar <st1:city st="on"><st1:place st="on">lima</st1:place></st1:city> meter dari permukaan tanah. Pada lapisan ini ditemukan sejumlah pecahan tembikar dan keramik Cina dari masa Dinasti Tang (abad ke-8 – 10 Masehi). <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt; line-height: 150%;"><st1:place st="on"><span style="line-height: 150%;font-family:";font-size:10;" >Para</span></st1:place><span style="line-height: 150%;font-family:";font-size:10;" > arkeolog meyakini daerah sepanjang Sungai Musi di Kota <st1:city st="on"><st1:place st="on">Palembang</st1:place></st1:city> tersebar situs multi komponen (<i style="">multi component site</i>) yaitu situs yang menjadi tempat aktivitas manusia dari berbagai masa dan budaya. Persebarannya mulai dari Karanganyar di bagian barat sampai Sabokingking di bagian timur <st1:city st="on"><st1:place st="on">kota</st1:place></st1:city>.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt; line-height: 150%;"><span style="line-height: 150%;font-family:";font-size:10;" >Di luar tapak kawasan <span style=""> </span>Keraton, masih dapat dijumpai puluhan bangunan kuna di sepanjang Sungai Musi. Bangunan-bangunan tempat tinggal, makam, kelenteng, gereja dan bangunan publik lainnya. Berbagai bentuk bangunan tempat tinggal <span style=""> </span>macam bangunan indis, bangunan rumah panggung dan bangunan beratap limas khas Palembang yang berumur ratusan tahun terdapat di sekitar Pasar 16 Ilir, Kampung Kapiten, Kuto Batu, Almunawar dan beberapa tempat lainnya.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt; line-height: 150%;"><span style="line-height: 150%;font-family:";font-size:10;" >Namun rumah rakit lama yang ada di <st1:city st="on"><st1:place st="on">Palembang</st1:place></st1:city> sekarang tinggal hitungan jari tangan. Bentuk rumah dari zaman Sriwijaya ini biasanya digunakan sebagai tempat tinggal, gudang dan warung. Pada masa Kesultanan Palembang Darussalam, masyarakat dari etnis <st1:country-region st="on"><st1:place st="on">China</st1:place></st1:country-region> tinggal di rumah-rumah rakit. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt; line-height: 150%;"><span style="line-height: 150%;font-family:";font-size:10;" ><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt; line-height: 150%;"><b style=""><span style="line-height: 150%;font-family:";font-size:10;" >Sebiduk<o:p></o:p></span></b></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt; line-height: 150%;"><span style="line-height: 150%;font-family:";font-size:10;" >Segala kekayaan budaya di sepanjang Sungai Musi memang sangat disayangkan bila dibiarkan tak terurus apalagi tergusur. Berbagai pemangku kepentingan dalam pengelolaan warisan budaya di Kota Palembang telah berbagi pengalaman dan ide dalam lokakarya yang bertajuk “ Sebiduk di Sungai Musi” diselenggarakan oleh Balai Arkeologi Palembang bulan Mei 2006. Judul lagu yang pernah populer tahun enampuluhan itu dijadikan tema lokakarya karena dianggap pas. Sebiduk dalam mengelola warisan budaya di <st1:city st="on"><st1:place st="on">Palembang</st1:place></st1:city> adalah satu visi, misi dan tujuan yang sama, yaitu melestarikan dan memanfaatkan warisan budaya untuk kepentingan ilmu pengetahuan, sejarah, pendidikan dan juga pariwisata.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt; line-height: 150%;"><span style="line-height: 150%;font-family:";font-size:10;" >Tak dapat dipungkiri, mengelola warisan budaya di <st1:city st="on"><st1:place st="on">kota</st1:place></st1:city> besar yang terus berkembang bukanlah hal yang mudah. Berbagai konflik kepentingan yang terus terjadi mengharuskan semua pemangku kepentingan memahami manajemen perubahan, yaitu pembangunan tanpa mengorbankan warisan budaya. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt; line-height: 150%;"><st1:place st="on"><span style="line-height: 150%;font-family:";font-size:10;" >Para</span></st1:place><span style="line-height: 150%;font-family:";font-size:10;" > peserta lokakarya sepakat bahwa </span><span style="line-height: 150%;font-family:";font-size:10;" >p</span><span style="line-height: 150%;font-family:";font-size:10;" lang="SV" >erencanaan pembangunan harus berwawasan pelestarian dan berkelanjutan yang mampu mengembangkan dan meningkatkan vitalitas,<span style=""> </span>serta menghidupkan kembali nilai-nilai luhur yang telah pudar. Untuk itu</span><span style="line-height: 150%;font-family:";font-size:10;" lang="SV" > </span><span style="line-height: 150%;font-family:";font-size:10;" >d</span><span style="line-height: 150%;font-family:";font-size:10;" lang="SV" >iperlukan kebijakan pengelolaan warisan budaya secara profesional, komprehensif, terpadu, dan berkelanjutan<span style=""> </span>serta mampu mengakomodasi berbagai kepentingan, agar warisan budaya<span style=""> </span>terlestarikan. </span><span style="line-height: 150%;font-family:";font-size:10;" ><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt; line-height: 150%;"><span style="line-height: 150%;font-family:";font-size:10;" ><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt; line-height: 150%;"><b style=""><span style="line-height: 150%;font-family:";font-size:10;" >Masyarakat Cinta Musi<o:p></o:p></span></b></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt; line-height: 150%;"><span style="line-height: 150%;font-family:";font-size:10;" ><span style=""> </span>Sore berikutnya warung kopi terapung penuh sesak. Maklum saja hujan turun dengan deras, banyak orang berteduh sambil makan dan minum. Tiba-tiba <span style=""> </span>sebuah perahu ketek menyeruak <span style=""> </span>mencari posisi berlabuh di sebelah warung. Rais <span style=""> </span>dan dua wisatawan asing basah kuyup melompat dari perahu ketek ke warung. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt; line-height: 150%;"><span style="line-height: 150%;font-family:";font-size:10;" >Selama tiga jam Rais mengantar turis bule itu berwisata sepanjang Sungai Musi dengan perahu ketek. Wajah turis tampak puas ketika memberi<span style=""> </span>bonus dua ratus ribu rupiah kepada Rais atas pelayanannya, lalu pergi menuju mobil yang telah menunggu di halaman Museum SMB II. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt; line-height: 150%;"><span style="line-height: 150%;font-family:";font-size:10;" >Tak lama kemudian seorang pemuda datang <span style=""> </span>minta uang kepada Harun. “Yah...., kebiasaan lama belum juga bisa dihilangkan”, ujar Harun setelah pemuda itu pergi mengantongi beberapa ribu rupiah. Lebih lanjut lelaki kurus yang menjadi anggota Masyarakat Cinta Musi itu menjelaskan bahwa kebiasaan <span style=""> </span>mengeroyok, membuntuti dan memaksa wisatawan yang hendak mencarter perahu, mengakibatkan turunnya minat wisatawan untuk berwisata sungai. Bukan itu saja, calo-calo yang main paksa itu dapat merusak citra wisata sungai Musi di Palembang.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt; line-height: 150%;"><span style="line-height: 150%;font-family:";font-size:10;" >Tampaknya Harun dan para pengemudi perahu ketek di depan BKB ingin “Sebiduk di Sungai Musi” menurut cara pandang mereka sendiri. <o:p></o:p></span></p>Nurhadi Rangkutihttp://www.blogger.com/profile/05987175295898025688noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6558820035391086789.post-86844321890459150122009-05-16T00:40:00.000-07:002009-05-16T00:43:24.366-07:00SEPUCUK NIPAH SERUMPUN NIBUNG<p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt; line-height: 150%;"><span style="font-size: 10pt; line-height: 150%; font-family: "Verdana","sans-serif";"><!--[if gte vml 1]><v:shapetype id="_x0000_t136" coordsize="21600,21600" spt="136" adj="10800" path="m@7,l@8,m@5,21600l@6,21600e"> <v:formulas> <v:f eqn="sum #0 0 10800"> <v:f eqn="prod #0 2 1"> <v:f eqn="sum 21600 0 @1"> <v:f eqn="sum 0 0 @2"> <v:f eqn="sum 21600 0 @3"> <v:f eqn="if @0 @3 0"> <v:f eqn="if @0 21600 @1"> <v:f eqn="if @0 0 @2"> <v:f eqn="if @0 @4 21600"> <v:f eqn="mid @5 @6"> <v:f eqn="mid @8 @5"> <v:f eqn="mid @7 @8"> <v:f eqn="mid @6 @7"> <v:f eqn="sum @6 0 @5"> </v:formulas> <v:path textpathok="t" connecttype="custom" connectlocs="@9,0;@10,10800;@11,21600;@12,10800" connectangles="270,180,90,0"> <v:textpath on="t" fitshape="t"> <v:handles> <v:h position="#0,bottomRight" xrange="6629,14971"> </v:handles> <o:lock ext="edit" text="t" shapetype="t"> </v:shapetype><v:shape id="_x0000_i1025" type="#_x0000_t136" style="'width:26.25pt;" fillcolor="black"> <v:shadow color="#868686"> <v:textpath style="'font-family:" trim="t" fitpath="t" string="T"> </v:shape><![endif]--><!--[if !vml]--><img src="file:///C:/DOCUME%7E1/BALARP%7E1/LOCALS%7E1/Temp/msohtmlclip1/01/clip_image001.gif" alt="T" shapes="_x0000_i1025" height="37" width="70" /><!--[endif]-->iba di Muara Sabak, perahu-perahu <i style="">ketek</i> sudah menunggu mengantar penumpang menyeberang ke Delta Batanghari. Delta ini terbentuk oleh aliran Sungai Nyiur dan Berbak, cabang Sungai Batanghari. <span style=""> </span>Daerah rawa pasang surut dan bergambut itu berulang kali disambangi tim arkeologi untuk “mengais” artefak-artefak peradaban kuno yang tersisa, letaknya <span style=""> </span>di Kecamatan Muara Sabak, Kabupaten Tanjung Jabung Timur, Provinsi Jambi,<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt; line-height: 150%;"><span style="font-size: 10pt; line-height: 150%; font-family: "Verdana","sans-serif";">Delta Batanghari dialiri oleh sungai-sungai kecil, antara lain Sungai Pemusiran, Sungai Simbur Naik, Sungai Siau dan Lambur.<span style=""> </span>Beberapa bagian tubuh sungai kini tinggal <i style="">alur</i>, demikian penduduk menyebut aliran sungai yang telah mati. Justru pada <i style="">alur-alur</i> itu para arkeolog banyak menemukan situs arkeologi. <span style=""> </span><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt; line-height: 150%;"><span style="font-size: 10pt; line-height: 150%; font-family: "Verdana","sans-serif";">Junus Satrio Atmodjo, arkeolog yang meneliti situs-situs arkeologi di Delta Batanghari sejak tahun 1990-an mengamati kedekatan jarak antarsitus yang mencerminkan<span style=""> </span>kedekatan hubungan antarpermukiman kuno itu. Penemuan artefak-artefak macam keramik asing, kaca kuno dan tembikar dalam jumlah besar pada situs-situs arkeologi menggambarkan padatnya penduduk yang tinggal di daerah lahan basah itu pada abad X-XIII Masehi. Sisa-sisa permukiman kuno <span style=""> </span>yang padat mengelompok di kawasan Lambur (Lambur Luar dan Lambur Dalam) dan Pemusiran Dalam (Sitihawa).<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt; line-height: 150%;"><!--[if gte vml 1]><v:shapetype id="_x0000_t202" coordsize="21600,21600" spt="202" path="m,l,21600r21600,l21600,xe"> <v:stroke joinstyle="miter"> <v:path gradientshapeok="t" connecttype="rect"> </v:shapetype><v:shape id="_x0000_s1028" type="#_x0000_t202" style="'position:absolute;" strokecolor="white"><![endif]--><!--[if !vml]--><span style="position: absolute; z-index: 251657728; left: 0px; margin-left: -541px; margin-top: 216px; width: 150px; height: 78px;"> <table cellpadding="0" cellspacing="0"> <tbody><tr> <td style="border: 0.75pt solid white; background: white none repeat scroll 0% 50%; vertical-align: top; -moz-background-clip: -moz-initial; -moz-background-origin: -moz-initial; -moz-background-inline-policy: -moz-initial;" bgcolor="white" height="78" width="150"><!--[endif]--><!--[if !mso]--><span style="position: absolute; left: 0pt; z-index: 251657728;"> <table cellpadding="0" cellspacing="0" width="100%"> <tbody><tr> <td><!--[endif]--> <div shape="_x0000_s1028" style="padding: 4.35pt 7.95pt;" class="shape"> <p class="MsoNormal"><span style="font-size: 10pt;">Gambar<span style=""> </span>. Pelabuhan Muara Sabak di Delta Batanghari.<o:p></o:p></span></p> </div> <!--[if !mso]--></td> </tr> </tbody></table> </span><!--[endif]--><!--[if !mso & !vml]--> <!--[endif]--><!--[if !vml]--></td> </tr> </tbody></table> </span><!--[endif]--><!--[if gte vml 1]><v:shapetype id="_x0000_t75" coordsize="21600,21600" spt="75" preferrelative="t" path="m@4@5l@4@11@9@11@9@5xe" filled="f" stroked="f"> <v:stroke joinstyle="miter"> <v:formulas> <v:f eqn="if lineDrawn pixelLineWidth 0"> <v:f eqn="sum @0 1 0"> <v:f eqn="sum 0 0 @1"> <v:f eqn="prod @2 1 2"> <v:f eqn="prod @3 21600 pixelWidth"> <v:f eqn="prod @3 21600 pixelHeight"> <v:f eqn="sum @0 0 1"> <v:f eqn="prod @6 1 2"> <v:f eqn="prod @7 21600 pixelWidth"> <v:f eqn="sum @8 21600 0"> <v:f eqn="prod @7 21600 pixelHeight"> <v:f eqn="sum @10 21600 0"> </v:formulas> <v:path extrusionok="f" gradientshapeok="t" connecttype="rect"> <o:lock ext="edit" aspectratio="t"> </v:shapetype><v:shape id="_x0000_s1026" type="#_x0000_t75" style="'position:absolute;"> <v:imagedata src="file:///C:\DOCUME~1\BALARP~1\LOCALS~1\Temp\msohtmlclip1\01\clip_image002.jpg" title="muara%20sabak"> <w:wrap type="square" side="right"> </v:shape><![endif]--><!--[if !vml]--><!--[endif]--><span style="font-size: 10pt; line-height: 150%; font-family: "Verdana","sans-serif";"><br /> <o:p></o:p></span><st1:place st="on"><span style="font-size: 10pt; line-height: 150%; font-family: "Verdana","sans-serif";">Para</span></st1:place><span style="font-size: 10pt; line-height: 150%; font-family: "Verdana","sans-serif";"> arkeolog juga menemukan batang-batang pohon nibung (<i style="">oncosperma filamentosa</i>) di antara sebaran artefak . Bagian bawah batang nibung tampak dipangkas runcing. Ternyata <span style=""> </span>batang-batang nibung telah dimanfaatkan masyarakat kuno <span style=""> </span>untuk <span style=""> </span>tiang-tiang bangunan rumah panggung di daerah rawa pasang surut. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt; line-height: 150%;"><span style="font-size: 10pt; line-height: 150%; font-family: "Verdana","sans-serif";"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt; line-height: 150%;"><b style=""><i style=""><span style="font-size: 10pt; line-height: 150%; font-family: "Verdana","sans-serif";">Rumah panggung<o:p></o:p></span></i></b></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt; line-height: 150%;"><span style="font-size: 10pt; line-height: 150%; font-family: "Verdana","sans-serif";">Batang-batang nibung untuk bangunan rumah panggung kuno tidak hanya terdapat di Delta Batanghari saja. <st1:place st="on">Para</st1:place> arkeolog mencatat sisa-sisa bangunan kuno bertiang nibung terdapat juga di Kecamatan Nipah Panjang, Kabupaten Tanjung Jabung Timur,<span style=""> </span>sampai ke wilayah pantai timur Sumatera Selatan. <span style=""> </span>Di Kawasan Situs Karangagung Tengah, Kecamatan Lalan, Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatera Selatan, batang nibung digunakan bersama dengan jenis kayu keras, semacam meranti dan medang.<span style=""> </span></span><span style="font-size: 10pt; line-height: 150%; font-family: "Verdana","sans-serif"; color: rgb(0, 0, 10);">Batang-batang nibung ini diperkirakan berfungsi sebagai tiang penyangga lantai beranda rumah, kerangka tangga masuk rumah atau<span style=""> </span>tiang-tiang penyangga jalan atau jembatan (<i style="">jerambah) </i>antarrumah. </span><span style="font-size: 10pt; line-height: 150%; font-family: "Verdana","sans-serif";">Situs Karangagung Tengah dikenal sebagai situs permukiman dari abad IV Masehi, sebelum Sriwijaya muncul di <st1:place st="on">Sumatra</st1:place>. Sisa-sisa hunian kuno itu juga<span style=""> </span>mengelompok di sepanjang <i style="">alur</i> atau bekas aliran sungai kecil.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><!--[if gte vml 1]><v:shape id="_x0000_s1027" type="#_x0000_t202" style="'position:absolute;left:0;" strokecolor="white"> <v:textbox style="'mso-next-textbox:#_x0000_s1027'/"> </v:shape><![endif]--><!--[if !vml]--><span style="position: absolute; z-index: 251656704; left: 109px; margin-left: 299px; margin-top: 281px; width: 282px; height: 102px; top: 934px;"><br /></span><!--[endif]--><!--[if gte vml 1]><v:shape id="_x0000_i1026" type="#_x0000_t75" style="'width:3in;height:4in'"> <v:imagedata src="file:///C:\DOCUME~1\BALARP~1\LOCALS~1\Temp\msohtmlclip1\01\clip_image004.jpg" title="Gbr_02"> </v:shape><![endif]--><!--[if !vml]--><!--[endif]--><span style="font-size: 10pt; line-height: 150%; font-family: "Verdana","sans-serif"; color: rgb(0, 0, 10);"><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt; line-height: 150%;"><span style="font-size: 10pt; line-height: 150%; font-family: "Verdana","sans-serif"; color: rgb(0, 0, 10);">Penggunaan batang <i style="">nibung </i>dijumpai pula di kawasan <span style=""> </span>Air Sugihan (Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan). Pada tahun 2007 Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional melaksanakan penggalian arkeologi di Kertamukti1 Air Sugihan<span style=""> </span>pada lahan bekas sungai kecil dan rawa yang terletak di daerah permukiman transmigrasi. Dalam ekskavasi ditemukan sisa-sisa bangunan rumah panggung bertiang nibung. Selain itu ditemukan pula tali ijuk </span><i style=""><span style="font-size: 10pt; line-height: 150%; font-family: "Verdana","sans-serif";" lang="SV">(Arrenga pinnata)</span></i><span style="font-size: 10pt; line-height: 150%; font-family: "Verdana","sans-serif"; color: rgb(0, 0, 10);">, pecahan-pecahan tembikar dan keramik Cina, manik-manik, sudip dari kayu dan fosil kayu. Di kawasan Air Sugihan keramik dari Cina yang paling banyak ditemukan berasal dari abad IX-X Masehi pada masa Dinasti Tang. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt; line-height: 150%;"><span style="font-size: 10pt; line-height: 150%; font-family: "Verdana","sans-serif"; color: rgb(0, 0, 10);">Pada masa sekarang, penduduk yang tinggal di daerah rawa pasang surut yang relatif dekat dengan pantai masih banyak yang menempati rumah panggung bertiang nibung. Jenis tumbuhan ini biasanya terdapat pada hutan mangrove. Selain nibung, lingkungan semacam itu<span style=""> </span>juga menyediakan nipah yang berlimpah. Daun nipah digunakan untuk atap rumah dan atap perahu <i style="">kajang</i>.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt; line-height: 150%;"><span style="font-size: 10pt; line-height: 150%; font-family: "Verdana","sans-serif"; color: rgb(0, 0, 10);">Pada daerah rawa lebak yang letaknya jauh dari pantai, rumah-rumah panggung tidak menggunakan batang nibung dan atap nipah. Pengamatan di hulu Sungai Lalan di wilayah Kecamatan Bayung Lincir, Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatera Selatan, seperti Desa Bakung, Muara Merang, Muara Medak, Sentang, Pejudian, Bayung Lencir, Mangsang, Muara Bahar, Bayat Ilir, Simpang Bayat dan Pagardesa, rumah-rumah panggung seluruhnya menggunakan jenis-jenis kayu keras, seperti tembesu, petaling, dan medang. Daun nipah untuk atap rumah diganti dengan daun <i style="">serdang</i>. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt; line-height: 150%;"><span style="font-size: 10pt; line-height: 150%; font-family: "Verdana","sans-serif"; color: rgb(0, 0, 10);"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt; line-height: 150%;"><b style=""><span style="font-size: 10pt; line-height: 150%; font-family: "Verdana","sans-serif"; color: rgb(0, 0, 10);">Perahu <o:p></o:p></span></b></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt; line-height: 150%;"><span style="font-size: 10pt; line-height: 150%; font-family: "Verdana","sans-serif"; color: rgb(0, 0, 10);">Setelah beberapa hari melacak alur-alur di Delta Batanghari, akhirnya tim arkeologi menelusuri Sungai Simburnaik dengan perahu ketek sampai ke pantai. Perahu memang alat transportasi utama di daerah lahan basah sejak dulu. Papan-papan perahu kuno telah ditemukan di Lambur Luar Parit 6 beberapa tahun yang lalu. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt; line-height: 150%;"><span style="font-size: 10pt; line-height: 150%; font-family: "Verdana","sans-serif";" lang="SV">Papan-papan<span style=""> </span>perahu kuno ini memiliki lubang-lubang yang terdapat di bagian permukaan dan sisi papan serta lubang-lubang pada tonjolan segi empat yang menembus lubang di sisi papan. Inilah<span style=""> </span>teknik rancang bangun perahu dengan teknik papan ikat dan kupingan pengikat </span><span style="font-size: 10pt; line-height: 150%; font-family: "Verdana","sans-serif";">(<i style="">sewn plank and lushed plug technique</i>), tradisi Asia Tenggara. </span><span style="font-size: 10pt; line-height: 150%; font-family: "Verdana","sans-serif";" lang="SV">Tonjolan segi empat atau <i style="">tambuku</i> digunakan untuk mengikat papan-papan dan mengikat papan dengan <i style="">gading-gading</i> dengan menggunakan tali ijuk <i style="">(Arrenga pinnata). </i>Tali ijuk dimasukan pada lubang di <i style="">tambuku</i>. Biasanya penggunaan pasak kayu untuk memperkuat ikatan tali ijuk.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt; line-height: 150%;"><span style="font-size: 10pt; line-height: 150%; font-family: "Verdana","sans-serif";" lang="SV">Teknologi perahu semacam itu umum ditemukan di daerah lahan basah pantai timur Sumatra. Di wilayah Sumatera Selatan, bangkai perahu ditemukan di Situs Samirejo, Mariana (Kabupaten Banyuasin), Situs Kolam Pinisi<span style=""> </span>(Palembang) dan di Situs Tulung Selapan (Kabupaten Ogan Komering Ilir). Papan-papan perahu dari Situs Samirejo dan Situs Kolam Pinisi telah dianalisis laboratorium dengan menggunakan metode <i style="">carbon dating</i> C14. Sepotong papan dari Situs Kolam Pinisi menghasilkan pertanggalan kalibrasi antara 434 dan 631 Masehi, sedangkan papan dari Situs Samirejo berasal dari masa<span style=""> </span>antara 610 dan 775 Masehi (Lucas Partanda Koestoro, 1993).<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt; line-height: 150%;"><span style="font-size: 10pt; line-height: 150%; font-family: "Verdana","sans-serif"; color: rgb(0, 0, 10);">Selama menelusuri sungai yang berliku, masih tampak pohon-pohon nipah yang tumbuh bergerombol.<span style=""> </span>Sebaliknya, tak sebatang nibung pun yang kelihatan. Sulitnya mencari pohon nibung tidak hanya di Delta Batanghari saja. Di daerah rawa pasang surut Sumatera Selatan kini pohon-pohon nibung menjadi pemandangan yang langka.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt; line-height: 150%;"><span style="font-size: 10pt; line-height: 150%; font-family: "Verdana","sans-serif"; color: rgb(0, 0, 10);">Kondisi lingkungan daerah lahan basah di pantai timur <st1:place st="on">Sumatra</st1:place> memang telah lama rusak. Rawa pasang surut sebagian besar telah direklamasi untuk permukiman dan perkebunan. Hutan-hutan dataran rendah hampir tidak tersisa lagi akibat banyak orang berburu kayu. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt; line-height: 150%;"><span style="font-size: 10pt; line-height: 150%; font-family: "Verdana","sans-serif"; color: rgb(0, 0, 10);"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt; line-height: 150%;"><!--[if gte vml 1]><v:shape id="_x0000_s1029" type="#_x0000_t202" style="'position:absolute;left:0;text-align:left;margin-left:3in;margin-top:184.15pt;" strokecolor="white"><![endif]--><!--[if !vml]--><span style="position: absolute; z-index: 251659776; left: 0px; margin-left: 287px; margin-top: 245px; width: 258px; height: 90px;"> <table cellpadding="0" cellspacing="0"> <tbody><tr> <td style="border: 0.75pt solid white; background: white none repeat scroll 0% 50%; vertical-align: top; -moz-background-clip: -moz-initial; -moz-background-origin: -moz-initial; -moz-background-inline-policy: -moz-initial;" bgcolor="white" height="90" width="258"><!--[endif]--><!--[if !mso]--><span style="position: absolute; left: 0pt; z-index: 251659776;"></span><!--[endif]--><!--[if !mso & !vml]--> <!--[endif]--><!--[if !vml]--></td> </tr> </tbody></table> </span><!--[endif]--><span style="font-size: 10pt; line-height: 150%; font-family: "Verdana","sans-serif"; color: rgb(0, 0, 10);"><!--[if gte vml 1]><v:shape id="_x0000_i1027" type="#_x0000_t75" style="'width:184.5pt;height:246pt'"> <v:imagedata src="file:///C:\DOCUME~1\BALARP~1\LOCALS~1\Temp\msohtmlclip1\01\clip_image006.jpg" title="Gbr_03"> </v:shape><![endif]--><!--[if !vml]--><!--[endif]--><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt; line-height: 150%;"><span style="font-size: 10pt; line-height: 150%; font-family: "Verdana","sans-serif"; color: rgb(0, 0, 10);">Seribu tahun lalu pantai timur <st1:place st="on">Sumatra</st1:place><span style=""> </span>menjadi pusat permukiman dan perniagaan. Terkenal sampai ke negeri Cina, penduduknya hidup sejahtera melalui perniagaan hasil hutan, seperti damar dan kemenyan. Rumah dan perahu pada masa itu mencerminkan keselarasan manusia dan alam.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt; line-height: 150%;"><span style="font-size: 10pt; line-height: 150%; font-family: "Verdana","sans-serif"; color: rgb(0, 0, 10);">Sepucuk Nipah Serumpun Nibung. Demikian ungkapan jatidiri Kabupaten Tanjung Jabung Timur di Jambi.<span style=""> </span>Ungkapan itu bisa juga dijadikan inspirasi guna melestarikan lingkungan lahan basah beserta warisan budaya yang ada di dalamnya. <o:p></o:p></span></p>Nurhadi Rangkutihttp://www.blogger.com/profile/05987175295898025688noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6558820035391086789.post-6689941057111681492009-05-16T00:34:00.000-07:002009-05-16T00:35:14.911-07:00JEJAK BAHARI KOTA KAPUR<p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt; line-height: 150%;"><span style="font-size: 10pt; line-height: 150%; font-family: "Verdana","sans-serif";">Pagi itu tepi perairan Selat Bangka beriak tanda tak dalam.<span style=""> </span>Perahu perlahan mendekati pantai barat Pulau <st1:place st="on">Bangka</st1:place> melewati gugusan Pulau Hantu, Pulau Medang dan Pulau Kecil. Gugusan pulau itu seolah melindungi sebuah tempat kuno yang sedang dituju penumpang perahu. Semakin dekat ke pantai semakin jelas sosok sebuah bukit yang menonjol di balik hutan mangrove yang memagari pantai. Penduduk menyebutnya Bukit Besar.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt; line-height: 150%;"><span style="font-size: 10pt; line-height: 150%; font-family: "Verdana","sans-serif";">Tiga <span style=""> </span>arkeolog yang menumpang perahu <span style=""> </span>beranggapan kenampakan Bukit Besar dari laut sebagai penunjuk arah lokasi situs Sriwijaya yang terletak di dataran kaki bukit itu. Mereka membayangkan ketika para pelaut zaman dulu menjadikan bukit itu sebagai pedoman memasuki mulut sebuah sungai menuju tempat <i style="">kedatuan </i>Sriwijaya di pantai barat Pulau Bangka. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt; line-height: 150%;"><span style="font-size: 10pt; line-height: 150%; font-family: "Verdana","sans-serif";">Memasuki mulut Sungai Mendo, deru mesin perahu memecah kesunyian hutan mangrove yang terhampar di sepanjang sungai. Sekitar <st1:city st="on"><st1:place st="on">lima</st1:place></st1:City> belas menit menelusuri sungai tibalah di dermaga Desa Kota Kapur, Kecamatan Mendo Barat, Kabupaten Bangka, Provinsi Kepulauan Bangka-Belitung. Napak tilas pun segera berakhir ketika kaki kembali menginjak tanah <span style=""> </span>Situs Kota Kapur.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt; line-height: 150%;"><span style="font-size: 10pt; line-height: 150%; font-family: "Verdana","sans-serif";"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt; line-height: 150%;"><b style=""><span style="font-size: 10pt; line-height: 150%; font-family: "Verdana","sans-serif";">Bangkai perahu kuno<o:p></o:p></span></b></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt; line-height: 150%;"><span style="font-size: 10pt; line-height: 150%; font-family: "Verdana","sans-serif";"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt; line-height: 150%;"><span style="font-size: 10pt; line-height: 150%; font-family: "Verdana","sans-serif";">Telah sepuluh hari tim <span style=""> </span>melakukan penelitian arkeologi Situs Kota Kapur yang terletak di tepi Sungai Mendo. Situs ini berada pada dataran dari perbukitan yang dikelilingi rawa dan dibentengi oleh gundukan tanah yang memanjang di bagian barat, timur dan selatan situs. Dataran yang landai dan bergelombang itu terkenal sebagai tempat ditemukannya prasasti batu berbentuk tugu pada tahun 1892. Prasasti berhuruf Pallawa dan berbahasa Melayu Kuna yang berangka tahun Saka 608 (686 Masehi) itu, disebut Prasasti Kota Kapur, merupakan prasasti Sriwijaya yang pertama kali ditemukan. Pertama kali pula kata Sriwijaya berhasil dibaca para ahli di prasasti itu.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt; line-height: 150%;"><span style="font-size: 10pt; line-height: 150%; font-family: "Verdana","sans-serif";">Hasil penelitian kali ini menambah nilai penting Situs Kota Kapur. Sejak diteliti tahun 1993 oleh Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, baru sekarang tim arkeologi beruntung menemukan bangkai perahu kuno pada tanggal <st1:date month="9" day="25" year="2007" st="on">25 September 2007</st1:date>. Temuan <span style=""> </span>inilah yang membuat tim gabungan dari Balai Arkeologi Palembang, Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Jambi dan Dinas Pariwisata Seni dan Budaya Kabupaten Bangka melakukan napak tilas dari Selat Bangka ke situs Kota Kapur dengan perahu.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt; line-height: 150%;"><st1:city st="on"><st1:place st="on"><span style="font-size: 10pt; line-height: 150%; font-family: "Verdana","sans-serif";">Ada</span></st1:place></st1:City><span style="font-size: 10pt; line-height: 150%; font-family: "Verdana","sans-serif";"> dua lokasi temuan sisa-sisa perahu yang terbuat dari jenis kayu besi itu. Penemuan pertama berada pada alur Sung</span><span style="font-size: 10pt; line-height: 150%; font-family: "Verdana","sans-serif";" lang="SV">ai Kupang yang membelah kawasan situs dan bermuara di Sungai Mendo. Kini sungai itu telah menjadi rawa. <span style=""> </span>Pada rawa yang telah menjadi <i style="">kolong</i>, kolam bekas penambangan timah inkonvensional (TI) oleh penduduk pada tahun 1998-2000, <span style=""> </span>berhasil diangkat sekeping papan perahu yang memiliki ukuran panjang <span style=""> </span>134 centimeter, lebar <span style=""> </span>35 centimeter, dan tebal <span style=""> </span>4 centimeter. <span style=""> </span><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt; line-height: 150%;"><span style="font-size: 10pt; line-height: 150%; font-family: "Verdana","sans-serif";" lang="SV">Papan berlubang-lubang dengan diameter lubang rata-rata 3 centimeter. Pada permukaan papan terdapat 17 lubang dan bagian tepi (tebal) papan ada <span style=""> </span>20 lubang. Dua tonjolan segi empat yang dipahat di permukaan papan memiliki lubang-lubang yang tembus dengan lubang di tepi papan. ”Masih banyak papan-papan kayu semacam itu yang masih terbenam dalam air”, ujar Mahadil (60), mantan Kepala Desa Kota Kapur menjelaskan.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt; line-height: 150%;"><span style="font-size: 10pt; line-height: 150%; font-family: "Verdana","sans-serif";" lang="SV">Dua hari kemudian lokasi kedua ditemukan, lagi-lagi<span style=""> </span>pada sebuah <i style="">kolong</i> dengan jarak sekitar 500 meter di sebelah barat Sungai Kupang. Yanto, seorang penduduk yang bekerja sebagai penambang TI mengatakan bahwa ia pernah menemukan pecahan papan yang diduga bekas peti di <i style="">kolong</i> itu. Tak lama kemudian tim berendam mengobok-obok air dan berhasil diangkat lima keping papan perahu dengan panjang antara 49 – 120 centimeter, lebar berkisar 8-15 centimeter, tebal 2 - 5 centimeter, dan diameter lubang 1,5 - 4 centimeter. <span style=""> </span><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt; line-height: 150%;"><span style="font-size: 10pt; line-height: 150%; font-family: "Verdana","sans-serif";" lang="SV">Setelah pengangkatan perahu yang kedua itu informasi baru dari penduduk terus mengalir tentang <i style="">kolong-kolong</i> di Situs Kota Kapur yang menyimpan bangkai perahu kuno. Tim arkeologi bertambah yakin Kota Kapur pernah menjadi pelabuhan masa <span style=""> </span>Sriwijaya bahkan pada masa sebelumnya, kemungkinan berada di sepanjang Sungai Kupang.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt; line-height: 150%;"><span style="font-size: 10pt; line-height: 150%; font-family: "Verdana","sans-serif";" lang="SV"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt; line-height: 150%;"><b style=""><span style="font-size: 10pt; line-height: 150%; font-family: "Verdana","sans-serif";" lang="SV">Teknologi Tradisi Asia Tenggara<o:p></o:p></span></b></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt; line-height: 150%;"><span style="font-size: 10pt; line-height: 150%; font-family: "Verdana","sans-serif";" lang="SV">Temuan papan perahu kuno di Situs Kota Kapur segera dapat diidentifikasi teknik pembuatannya. Lubang-lubang yang terdapat di bagian permukaan dan sisi papan serta lubang-lubang pada tonjolan segi empat yang menembus lubang di sisi papan, merupakan teknik rancang bangun perahu dengan teknik papan ikat dan kupingan pengikat </span><span style="font-size: 10pt; line-height: 150%; font-family: "Verdana","sans-serif";">(<i style="">sewn plank and lushed plug technique</i>). <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt; line-height: 150%;"><span style="font-size: 10pt; line-height: 150%; font-family: "Verdana","sans-serif";" lang="SV">Tonjolan segi empat atau <i style="">tambuku</i> digunakan untuk mengikat papan-papan dan mengikat papan dengan <i style="">gading-gading</i> dengan menggunakan tali ijuk (<i style="">Arrenga pinnata</i>). Tali ijuk dimasukan pada lubang di <i style="">tambuku</i>. Pada salah lubang di bagian tepi papan perahu yang di temukan di Sungai Kupang terlihat ujung <span style=""> </span>pasak kayu yang patah masih terpaku di dalam lubang. Biasanya penggunaan pasak kayu untuk memperkuat ikatan tali ijuk.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt; line-height: 150%;"><span style="font-size: 10pt; line-height: 150%; font-family: "Verdana","sans-serif";" lang="SV">Teknologi perahu semacam itu umum ditemukan di wilayah perairan Asia Tenggara. Bukti tertua penggunaan teknik gabungan teknik ikat dan teknik pasak kayu dijumpai pada sisa perahu di Situs Kuala Pontian di Malaysia yang berasal dari antara abad ke-3 dan abad ke-5 Masehi. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt; line-height: 150%;"><span style="font-size: 10pt; line-height: 150%; font-family: "Verdana","sans-serif";" lang="SV">Penelitian Sriwijaya yang intensif di<span style=""> </span>Sumatera sejak tahun 1980-1990 juga banyak menemukan sisa-sisa perahu kuno<span style=""> </span>tradisi Asia Tenggara.. Di wilayah Sumatera Selatan, bangkai perahu ditemukan di Situs Samirejo, Mariana (Kabupaten Banyuasin), Situs Kolam Pinisi<span style=""> </span>(Palembang) dan di Situs Tulung Selapan (Kabupaten Ogan Komering Ilir). Di Jambi ditemukan pula papan perahu sejenis di Situs Lambur (Kabupaten Tanjung Jabung Timur). Selain <span style=""> </span>papan-papan perahu ditemukan pula kemudi perahu dari kayu besi yang diduga bagian dari teknologi tradisi Asia Tenggara, yaitu di Sungai Buah (Palembang) dan Situs Karangagung Tengah (Kabupaten Musi Banyuasin). <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt; line-height: 150%;"><span style="font-size: 10pt; line-height: 150%; font-family: "Verdana","sans-serif";" lang="SV">Papan-papan perahu dari Situs Samirejo dan Situs Kolam Pinisi telah dianalisis laboratorium dengan menggunakan metode <i style="">carbon dating</i> C14. Sepotong papan dari Situs Kolam Pinisi menghasilkan pertanggalan kalibrasi antara 434 dan 631 Masehi, sedangkan papan dari Situs Samirejo berasal dari masa<span style=""> </span>antara 610 dan 775 Masehi (Lucas Partanda Koestoro, 1993).<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt; line-height: 150%;"><span style="font-size: 10pt; line-height: 150%; font-family: "Verdana","sans-serif";" lang="SV">Sisa-sisa perahu kuno Situs Kota Kapur boleh jadi berasal dari masa yang tidak jauh dengan masa<span style=""> </span>perahu di Situs Samirejo dan Situs Kolam Pinisi. Hasil penelitian arkeologi sebelumnya di Situs Kota Kapur<span style=""> </span>menunjukkan tempat kuno itu telah dihuni oleh komuniti yang telah mapan sekurang-kurangnya sejak abad ke-6 Masehi kemudian berkembang menjadi salah satu ke-datu-an Sriwijaya pada abad ke-7 Masehi. </span><span style="font-size: 10pt; line-height: 150%; font-family: "Verdana","sans-serif";">Permukiman kuno itu terus berlanjut pada abad ke-10 hingga abad ke-15 Masehi.<span style=""> </span><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt; line-height: 150%;"><span style="font-size: 10pt; line-height: 150%; font-family: "Verdana","sans-serif";">Pada bagian dalam benteng tanah terdapat sisa-sisa tiga bangunan candi yang menempati dataran yang lebih tinggi. Lokasi tempat tinggal<span style=""> </span>dan hunian terdapat pada lembah antara dua bukit dan di bantaran Sungai Mendo dan Sungai Kupang, yang kini berupa rawa-rawa. Di lokasi itu banyak ditemukan pecahan-pecahan tembikar kasar dengan hiasan sederhana mirip tembikar masa prasejarah.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt; line-height: 150%;"><b style=""><span style="font-size: 10pt; line-height: 150%; font-family: "Verdana","sans-serif";" lang="SV"><o:p> </o:p></span></b></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt; line-height: 150%;"><b style=""><span style="font-size: 10pt; line-height: 150%; font-family: "Verdana","sans-serif";" lang="SV">Spirit bahari<o:p></o:p></span></b></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt; line-height: 150%;"><span style="font-size: 10pt; line-height: 150%; font-family: "Verdana","sans-serif";" lang="SV">Usai mendokumentasikan pengangkatan papan-papan perahu dan mendeskripsikan artefak itu satu per satu, bangkai perahu Sriwijaya itu kemudian ditenggelamkan kembali ke dalam <i style="">kolon</i>g. Lho?<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt; line-height: 150%;"><span style="font-size: 10pt; line-height: 150%; font-family: "Verdana","sans-serif";" lang="SV">”Konservasi kayu perahu kuno yang paling murah ya dipendam lagi dalam rawa” ujar seorang arkeolog sambil mengawasi tenaga lokal yang menurunkan papan-papan perahu ke air. Artefak kayu itu bila kena sinar matahari langsung biasanya lebih cepat lapuk, sementara dalam rawa dapat lestari sampai berabad-abad. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt; line-height: 150%;"><span style="font-size: 10pt; line-height: 150%; font-family: "Verdana","sans-serif";" lang="SV">Pemerintah Kabupaten Bangka sebenarnya telah memiliki rencana mengumpulkan kembali berbagai jenis artefak Situs Kota Kapur yang berada di luar situs, namun belum ada tempat yang memadai untuk memelihara papan-papan itu. Tidak hanya itu, pemerintah kabupaten telah memprakarsai dan mewujudkan kegiatan penelitian dan pengembangan kawasan Situs Kota Kapur kali ini. <span style=""> </span>Melalui kegiatan ini diharapkan dapat digali jatidiri Bangka sekaligus mengembangkan situs arkeologi itu sebagai kawasan wisata. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt; line-height: 150%;"><span style="font-size: 10pt; line-height: 150%; font-family: "Verdana","sans-serif";" lang="SV">Penemuan bangkai perahu kuno di Situs Kota Kapur merupakan data baru sekaligus bagian dari penemuan jatidiri itu sendiri. Tentang spirit bahari. ”Ya, temuan itu relevan dengan <span style=""> </span>kata kepulauan yang digunakan untuk nama provinsi ini” ujar Yan Megawanti, Kepala Bappeda Provinsi Kepulauan Bangka-Belitung, memaknai pesan masa lalu dibalik bangkai perahu kuno dengan kehidupan masa sekarang.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt; line-height: 150%;"><span style="font-size: 10pt; line-height: 150%; font-family: "Verdana","sans-serif";" lang="SV">Pesan tentang kejayaan bahari masa lalu dari Kota Kapur segera <span style=""> </span>harus ditindaklanjuti. Tahun 2008 merupakan 100 tahun Kebangkitan Nasional. Belajar dari masa lalu, bangsa ini dapat segera bangkit, <span style=""> </span>maju dan berjaya melalui dunia bahari.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt; line-height: 150%;"><span style="font-size: 10pt; line-height: 150%; font-family: "Verdana","sans-serif";" lang="SV">Jangan biarkan spirit bahari itu terpendam lagi dalam rawa.<span style=""> </span>Kebangkitan bahari boleh saja <span style=""> </span>dimulai dari Kota Kapur untuk seluruh kepulauan di Indonesia.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="font-size: 10pt; line-height: 150%; font-family: "Verdana","sans-serif";" lang="SV"><o:p> </o:p></span></p>Nurhadi Rangkutihttp://www.blogger.com/profile/05987175295898025688noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6558820035391086789.post-16607982957553404662009-05-16T00:29:00.000-07:002009-05-16T00:33:11.310-07:00LEGIMIN DAN TITIPAN PRA-SRIWIJAYA<p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt; line-height: 150%;"><span style="font-size: 10pt; line-height: 150%; font-family: "Verdana","sans-serif";"><!--[if gte vml 1]><v:shapetype id="_x0000_t136" coordsize="21600,21600" spt="136" adj="10800" path="m@7,l@8,m@5,21600l@6,21600e"> <v:formulas> <v:f eqn="sum #0 0 10800"> <v:f eqn="prod #0 2 1"> <v:f eqn="sum 21600 0 @1"> <v:f eqn="sum 0 0 @2"> <v:f eqn="sum 21600 0 @3"> <v:f eqn="if @0 @3 0"> <v:f eqn="if @0 21600 @1"> <v:f eqn="if @0 0 @2"> <v:f eqn="if @0 @4 21600"> <v:f eqn="mid @5 @6"> <v:f eqn="mid @8 @5"> <v:f eqn="mid @7 @8"> <v:f eqn="mid @6 @7"> <v:f eqn="sum @6 0 @5"> </v:formulas> <v:path textpathok="t" connecttype="custom" connectlocs="@9,0;@10,10800;@11,21600;@12,10800" connectangles="270,180,90,0"> <v:textpath on="t" fitshape="t"> <v:handles> <v:h position="#0,bottomRight" xrange="6629,14971"> </v:handles> <o:lock ext="edit" text="t" shapetype="t"> </v:shapetype><v:shape id="_x0000_i1025" type="#_x0000_t136" style="'width:26.25pt;" fillcolor="black"> <v:shadow color="#868686"> <v:textpath style="'font-family:" trim="t" fitpath="t" string="T"> </v:shape><![endif]--><!--[if !vml]--><img src="file:///C:/DOCUME%7E1/BALARP%7E1/LOCALS%7E1/Temp/msohtmlclip1/01/clip_image001.gif" alt="T" shapes="_x0000_i1025" height="37" width="70" /><!--[endif]-->as hitam yang dibawa dari kampung dibukanya dengan sigap. Isinya bukan berkas-berkas penting apalagi tumpukan uang. Tak disangka lelaki berwajah keras itu mengeluarkan kepingan-kepingan tembikar, bandul jaring dari tanahliat, tempurung kelapa, potongan kayu dan tulang hewan, pecahan bata, batu asah, sejumput manik-manik dan seikat tali ijuk dari dalam tas. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt; line-height: 150%;"><span style="font-size: 10pt; line-height: 150%; font-family: "Verdana","sans-serif";">“Ini contoh-contoh temuan yang ditemukan di belakang rumah saya, waktu membuat parit”, ujar Legimin (43) seorang transmigran asal Malang (Jawa Timur) yang kini jadi warga Desa Karangagung Tengah, Kecamatan Lalan, Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatra Selatan.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt; line-height: 150%;"><span style="font-size: 10pt; line-height: 150%; font-family: "Verdana","sans-serif";">Menempuh jarak waktu 4 jam dengan perahu motor dari kampungnya ke Kota Palembang, hanya untuk memperlihatkan benda-benda usang dan tidak utuh lagi memang tidak lazim. Namun kirimannya itu menjadi kado istimewa buat purbakalawan di Balai Arkeologi Palembang yang menekuni bukti-bukti peradaban sebelum munculnya Kerajaan Sriwijaya pada abad ke-7 Masehi.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt; line-height: 150%;"><span style="font-size: 10pt; line-height: 150%; font-family: "Verdana","sans-serif";"><o:p> </o:p></span><b style=""><span style="font-size: 10pt; line-height: 150%; font-family: "Verdana","sans-serif";">Pra-Sriwijaya<o:p></o:p></span></b></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt; line-height: 150%;"><span style="font-size: 10pt; line-height: 150%; font-family: "Verdana","sans-serif";">Artefak-artefak yang dibawa Legimin berasal dari Situs Karangagung Tengah yang terletak di kampungnya. Situs itu kemudian menjadi terkenal di dunia arkeologi, ketika beberapa tahun yang lalu analisa laboratorium terhadap dua potong kayu bekas tiang rumah panggung zaman kuna, menghasilkan pertanggalan 1624 – 1629 BP, kira-kira sama dengan tahun 326 – 329 Masehi.</span></p><p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt; line-height: 150%;"> </p><p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt; line-height: 150%;"><span style="font-size: 10pt; line-height: 150%; font-family: "Verdana","sans-serif";">Penelitian arkeologis secara intensif sejak tahun 2000 sampai sekarang, semakin memperkuat teori bahwa pada abad ke-4 Masehi telah ada <span style=""> </span>komunitas di daerah pantai Sumatra Selatan yang aktif dalam perdagangan internasional. Komunitas yang cukup padat dan telah mengenal spesialisasi pekerjaan dan stratifikasi sosial.<span style=""> </span><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt; line-height: 150%;"><span style="font-size: 10pt; line-height: 150%; font-family: "Verdana","sans-serif";">Letak situs dekat Selat Bangka, selat yang dikenal sebagai ajang perdagangan internasional pada awal Masehi. Komoditas impor yang ditemukan di situs, antara lain manik-manik dari <st1:country-region st="on"><st1:place st="on">India</st1:place></st1:country-region> dan Asia Barat. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt; line-height: 150%;"><span style="font-size: 10pt; line-height: 150%; font-family: "Verdana","sans-serif";">Situs Karangagung diidentifikasi sebagai situs masa proto sejarah, kemudian arkeolog memberi istilah situs pra-Sriwijaya. “Disebut situs pra-sriwijaya karena masanya sebelum berdirinya Kerajaan Sriwijaya di Palembang, dan juga pertimbangan faktor lokasi yang tidak jauh dari persebaran situs-situs Sriwijaya di Sumatra Selatan dan Jambi”, ujar Drs. Tri Marhaeni, ketua tim penelitian.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt; line-height: 150%;"><span style="font-size: 10pt; line-height: 150%; font-family: "Verdana","sans-serif";">Tak pelak, ditemukannya Situs Karangagung sekitar tahun 2000 telah merubah teori perubahan garis pantai timur Sumatra dalam kaitannya dengan lokasi pusat Kerajaan Sriwijaya. Teori yang menyatakan lokasi Sriwijaya di <st1:city st="on"><st1:place st="on">Palembang</st1:place></st1:City> maupun di Jambi terletak pada tanjung di tepi laut sekitar abad ke-7 Masehi. Tampaknya teori itu perlu dipertimbangkan lagi, setelah ditemukannya permukiman Karangagung dari masa yang lebih tua daripada Sriwijaya (Soeroso, 2002). <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt; line-height: 150%;"><b style=""><span style="font-size: 10pt; line-height: 150%; font-family: "Verdana","sans-serif";"><o:p> </o:p></span></b></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt; line-height: 150%;"><b style=""><span style="font-size: 10pt; line-height: 150%; font-family: "Verdana","sans-serif";">Museum Situs<o:p></o:p></span></b></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt; line-height: 150%;"><span style="font-size: 10pt; line-height: 150%; font-family: "Verdana","sans-serif";">Setelah lebih dari seribu tahun terkubur dalam kesunyian, situs Karangagung mulai diusik manusia. Pada tahun 1987 hingga 1990 daerah Karangagung mulai dibuka sebagai lahan transmigrasi, menyusul dibukanya lahan transmigrasi di Air Sugihan beberapa tahun sebelumnya. Maka dimulailah eksploitasi kekayaan arkeologi Situs Karangagung. <span style=""> </span><span style=""> </span><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt; line-height: 150%;"><span style="font-size: 10pt; line-height: 150%; font-family: "Verdana","sans-serif";">Legimin mengisahkan, tahun 1997-1998, terjadi <i style="">booming </i>manik-manik dan benda-benda berlapis emas dari Situs Karangagung. Saat itu penduduk berburu manik-manik dari bahan kaca berlapis emas, bahan batu, kaca dan perunggu. Semua benda relik itu jadi komoditas yang laku keras.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt; line-height: 150%;"><span style="font-size: 10pt; line-height: 150%; font-family: "Verdana","sans-serif";">Jual-beli manik-manik dilakukan menurut panjang manik-manik yang dirangkai. Harga manik-manik emas Rp 40.000/cm, manik-manik perunggu Rp.5.000/cm, manik-manik batu Rp 500/cm, sedangkan dari bahan lainnya Rp 1000/cm. Umumnya para penadah manik-manik berasal dari luar Karangagung. Legimin teringat ada seorang penadah berhasil mengumpulkan manik-manik sampai satu karung beras seberat 20 kilogram. Manik-manik itu kemudian dibawa ke Jawa dan akhirnya ke <st1:place st="on">Bali</st1:place>.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt; line-height: 150%;"><span style="font-size: 10pt; line-height: 150%; font-family: "Verdana","sans-serif";">Bisnis artefak mulai surut ketika instansi purbakala di <st1:city st="on"><st1:place st="on">Palembang</st1:place></st1:City> dan Jambi melakukan penyuluhan kepada penduduk, selain artefak semakin berkurang diambili penduduk. Legimin aktif membantu para purbakalawan. Bukan itu saja, ia rajin mengumpulkan artefak-artefak yang tidak laku dijual, seperti pecahan-pecahan tembikar, bata kuna, dan potongan kayu, lalu ditata di halaman rumahnya.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt; line-height: 150%;"><span style="font-size: 10pt; line-height: 150%; font-family: "Verdana","sans-serif";">“Saya telah membuat museum situs di halaman rumah”, ujar Legimin. Istilah “museum situs” diperolehnya dari arkeolog yang kerap melakukan penelitian dan tinggal di rumahnya. Baginya mengumpulkan dan memajang artefak di depan rumah agar dilihat tamu tentang bukti-bukti peradaban abad ke-4 Masehi, itu adalah museum situs.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt; line-height: 150%;"><span style="font-size: 10pt; line-height: 150%; font-family: "Verdana","sans-serif";">Mengapa Legimin membawa artefak-artefak “rongsokan” ke <st1:city st="on"><st1:place st="on">Palembang</st1:place></st1:City>? <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt; line-height: 150%;"><span style="font-size: 10pt; line-height: 150%; font-family: "Verdana","sans-serif";">“Saya ingat pesan teman-teman dari arkeologi, terutama Pak Roso, kalau menemukan lokasi temuan yang paling padat dan beraneka ragam, supaya melaporkan. Parit yang saya gali padat dan lengkap temuannya, pak”, kata Legimin menjelaskan maksud kedatangannya di <st1:city st="on"><st1:place st="on">Palembang</st1:place></st1:City>, sambil melaporkan ada warga yang menyimpan tujuh patung perunggu berukuran kecil. Pak Roso yang dimaksud adalah Drs. Soeroso MP,MHum, <span style=""> </span>salah satu peneliti yang pertama mengungkap identitas Situs Karangagung Tengah, dan kini selaku Direktur Peninggalan Purbakala, Departemen Kebudayaan dan Pariwisata. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt; line-height: 150%;"><span style="font-size: 10pt; line-height: 150%; font-family: "Verdana","sans-serif";">Legimin yang pernah menempuh karir sebagai petinju di Malang, pertama kali ikut transmigrasi ke Air Sugihan tahun 1980, dan mulai menetap di Karangagung pada akhir tahun 1989. Air Sugihan, yang letaknya di sebelah timur Karangagung (masuk Kabupaten Banyuasin) dikenal juga kaya dengan artefak pra-Sriwijaya. Daerah ini yang terlebih dulu dieksploitasi kekayaan arkeologinya, terutama manik-manik dan keramik. Dari Air Sugihan kemudian para pemburu harta karun mengalihkan perhatian ke Karangagung.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt; line-height: 150%;"><span style="font-size: 10pt; line-height: 150%; font-family: "Verdana","sans-serif";">Legimin hidup tenang di Karangagung bersama keluarga. Usahanya sebagai petani dan tukang tambal gigi mampu menghidupi seorang istri dan <span style=""> </span><st1:city st="on"><st1:place st="on">lima</st1:place></st1:City> orang anaknya, <span style=""> </span>bahkan putrinya yang sulung dapat kuliah di <st1:city st="on"><st1:place st="on">Malang</st1:place></st1:City>. Sebagai tukang tambal gigi Legimin keliling kampung dengan sepeda mencari pasien, sambil mengumpulkan artefak-artefak “rongsokan” untuk koleksi museum situsnya.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt; line-height: 150%;"><span style="font-size: 10pt; line-height: 150%; font-family: "Verdana","sans-serif";">Museum terbuka Legimin kini telah diberinya atap rumbia agar benda-benda koleksi tidak kepanasan dan kehujanan. Diakuinya museum itu diwujudkan karena kekagumannya pada umur artefak-artefak Karangagung yang lebih tua dari kerajaan Sriwijaya, setelah ia mendengar informasi dari para purbakalawan yang sering berdiskusi di rumahnya yang sederhana. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt; line-height: 150%;"><span style="font-size: 10pt; line-height: 150%; font-family: "Verdana","sans-serif";">Legimin memang bukan Ir. Maclaine Pont yang rajin mengumpulkan benda-benda peninggalan Majapahit di Trowulan Jawa Timur pada tahun 1924 -1926. Arsitek bangsa Belanda, yang merekonstruksi ibukota Majapahit, itu membangun gedung yang kokoh dan megah untuk menyelamatkan artefak Majapahit, sementara Legimin membangun museumnya dengan bahan apa adanya. Bagi Legimin benda-benda itu adalah titipan leluhur dari tanah Sriwijaya.<span style=""> </span>Walaupun bukan tanah kelahirannya, kekayaan arkeologi di bumi Sriwijaya yang dipijaknya kini perlu dijaga. <span style=""> </span><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt; line-height: 150%;"><br /><span style="font-size: 10pt; line-height: 150%; font-family: "Verdana","sans-serif";"> <o:p></o:p></span></p>Nurhadi Rangkutihttp://www.blogger.com/profile/05987175295898025688noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6558820035391086789.post-56065827222913302222009-05-16T00:27:00.000-07:002009-05-16T00:28:38.720-07:00PAK GURU DAN TEMPAYAN KUBUR<p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt; line-height: 150%;"><span style="font-size: 10pt; line-height: 150%; font-family: "Verdana","sans-serif";"><!--[if gte vml 1]><v:shapetype id="_x0000_t136" coordsize="21600,21600" spt="136" adj="10800" path="m@7,l@8,m@5,21600l@6,21600e"> <v:formulas> <v:f eqn="sum #0 0 10800"> <v:f eqn="prod #0 2 1"> <v:f eqn="sum 21600 0 @1"> <v:f eqn="sum 0 0 @2"> <v:f eqn="sum 21600 0 @3"> <v:f eqn="if @0 @3 0"> <v:f eqn="if @0 21600 @1"> <v:f eqn="if @0 0 @2"> <v:f eqn="if @0 @4 21600"> <v:f eqn="mid @5 @6"> <v:f eqn="mid @8 @5"> <v:f eqn="mid @7 @8"> <v:f eqn="mid @6 @7"> <v:f eqn="sum @6 0 @5"> </v:formulas> <v:path textpathok="t" connecttype="custom" connectlocs="@9,0;@10,10800;@11,21600;@12,10800" connectangles="270,180,90,0"> <v:textpath on="t" fitshape="t"> <v:handles> <v:h position="#0,bottomRight" xrange="6629,14971"> </v:handles> <o:lock ext="edit" text="t" shapetype="t"> </v:shapetype><v:shape id="_x0000_i1025" type="#_x0000_t136" style="'width:26.25pt;" fillcolor="black"> <v:shadow color="#868686"> <v:textpath style="'font-family:" trim="t" fitpath="t" string="P"> </v:shape><![endif]--><!--[if !vml]--><img src="file:///C:/DOCUME%7E1/BALARP%7E1/LOCALS%7E1/Temp/msohtmlclip1/01/clip_image001.gif" alt="P" shapes="_x0000_i1025" height="37" width="70" /><!--[endif]-->esan layanan singkat (<i style="">short message services</i>) masuk memberi kabar yang mengagetkan dari seorang arkeolog yang berada di lapangan. “<i style="">Pak, 2 bh priuk kecil hilang diambil org</i>”. Pesan itu segera diteruskan kepada Basnuh Ismail (47) yang baru saja selesai membantu mengurus izin penelitian di kantor camat. Kepala Sekolah Dasar Sentang di daerah terpencil itu terlihat gusar. Tilpon selularnya langsung dicabut dari sakunya. Berkali-kali ia mengontak orang-orang dengan suara lantang.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt; line-height: 150%;"><span style="font-size: 10pt; line-height: 150%; font-family: "Verdana","sans-serif";">“Saya minta barang itu kembali hari ini juga!”, teriak Basnuh sebelum menutup pembicaraan. <span style=""> </span>“Tenang saja tim saya sedang mengusut siapa yang mengambil guci-guci itu”, ujarnya kepada ketua tim peneliti arkeologi yang bingung memikirkan dua periuk kuno di dalam lubang gali raib.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt; line-height: 150%;"><span style="font-size: 10pt; line-height: 150%; font-family: "Verdana","sans-serif";"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt; line-height: 150%;"><b style=""><span style="font-size: 10pt; line-height: 150%; font-family: "Verdana","sans-serif";">Tempayan kubur di daerah lahan basah<o:p></o:p></span></b></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt; line-height: 150%;"><span style="font-size: 10pt; line-height: 150%; font-family: "Verdana","sans-serif";">Saat itu bulan April 2008 tim peneliti dari Balai Arkeologi Palembang tengah melaksanakan penggalian arkeologis di Situs Sentang terletak di Dusun Sentang, Desa Muara Medak, Kecamatan Bayung Lencir, Kabupaten Musi Banyuasin, Provinsi Sumatera Selatan. Pada hari pertama penggalian tanda-tanda akan menemukan benda-benda yang dicari sudah tampak.<span style=""> </span>Sekeping bibir periuk retak dari tanahliat bakar sudah muncul dari kedalaman sekitar 100 cm dari permukaan tanah. Ditelusuri lebih dalam lagi, muncullah tempayan-tempayan <span style=""> </span>yang berasosiasi dengan beberapa periuk kecil. Sebilah mata tombak dari besi penuh karat ditemukan tertancap ke tanah di samping tempayan.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt; line-height: 150%;"><span style="font-size: 10pt; line-height: 150%; font-family: "Verdana","sans-serif"; color: rgb(0, 0, 10);">Penggalian lubang berukuran 2 X 2 meter itu menemukan dua tempayan ganda (<i style="">double jar burial</i>) dan satu tempayan tunggal pada kedalaman mulai 150 cm sampai 250 cm dari permukaan tanah. Dimaksud tempayan ganda adalah tempayan yang mulutnya ditutup oleh tempayan pula di atasnya. Dalam tempayan yang dipenuhi tanah<span style=""> </span>ditemukan sisa-sisa tulang manusia dan manik-manik dari kaca. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt; line-height: 150%;"><span style="font-size: 10pt; line-height: 150%; font-family: "Verdana","sans-serif"; color: rgb(0, 0, 10);">Tempayan kubur dikenal sebagai budaya prasejarah. <st1:place st="on">Para</st1:place> arkeolog mengenal dua jenis penguburan masa prasejarah yaitu penguburan primer dan penguburan sekunder. Penguburan primer merupakan penguburan langsung dan biasanya jenasah dikelilingi oleh benda–benda miliknya sebagai bekal kubur. Tempayan kubur merupakan penguburan sekunder.<span style=""> </span>Tulang-tulang dan rangka manusia yang telah dikubur dimasukan ke dalam wadah berupaya tempayan atau guci. Wadah kemudian dikubur bersama bekal kubur.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt; line-height: 150%;"><span style="font-size: 10pt; line-height: 150%; font-family: "Verdana","sans-serif"; color: rgb(0, 0, 10);">Selama ini situs-situs tempayan kubur di Sumatera Bagian Selatan banyak ditemukan di dataran yang lebih tinggi seperti di Kerinci dan Merangin (Jambi), Lahat, Empat Lawang,<span style=""> </span>Pagaralam (Sumatera Selatan) dan Rejang Lebong (Bengkulu). Penemuan tempayan kubur di Situs Sentang boleh dibilang temuan yang ditunggu-tunggu oleh tim peneliti arkeologi untuk memahami pola hidup komuniti kuno<span style=""> </span>di daerah lahan basah (<i style="">wetland</i>) alias daerah berawa-rawa.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt; line-height: 150%;"><span style="font-size: 10pt; line-height: 150%; font-family: "Verdana","sans-serif";">Situs Sentang<span style=""> </span>tampak seperti pulau mini yang dikelilingi rawa lebak dari limpasan banjir Sungai Sungai Medak, Sungai Sentang dan Sungai Putot. Sungai-sungai itu merupakan Daerah Aliran Sungai Lalan. </span><span style="font-size: 10pt; line-height: 150%; font-family: "Verdana","sans-serif"; color: rgb(0, 0, 10);">Rawa-rawa yang terdapat di Daerah Aliran Sungai Lalan terdiri dari dua jenis rawa yaitu rawa pasang surut (<i style="">tidal swamp</i>) di daerah hilir mendekati pantai dan rawa lebak (<i style="">backswamp</i>) di bagian hulu Sungai Lalan. Situs Sentang berada pada jarak sekitar 85 km dari garis pantai terdekat. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt; line-height: 150%;"><span style="font-size: 10pt; line-height: 150%; font-family: "Verdana","sans-serif"; color: rgb(0, 0, 10);">Daerah lahan basah yang mencakup pantai timur Sumatera Bagian Selatan ternyata padat dengan sebaran situs arkeologi, terutama di wilayah Jambi dan Sumatera Selatan. Verstappen (1956), seorang geomorfolg Belanda, menyebut daerah itu adalah tanah dataran baru yang berupa rawa-rawa, berbatasan dengan laut. “Daerah kontinental” ini berdampingan dengan Pulau <st1:place st="on">Bangka</st1:place> dan <st1:place st="on">Belitung</st1:place> di timur Sumatera.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt; line-height: 150%;"><span style="font-size: 10pt; line-height: 150%; font-family: "Verdana","sans-serif"; color: rgb(0, 0, 10);">Daerah lahan basah itu dulu divonis oleh Obdeyn (1941), seorang geolog, yang menyatakan bahwa daerah itu pada permulaan abad-abad pertama masih berupa laut. Pada awal masa Sriwijaya abad VII Masehi diperkirakan Kota Palembang dan Jambi terletak pada tanjung dan teluk yang berbatasan dengan laut. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt; line-height: 150%;"><span style="font-size: 10pt; line-height: 150%; font-family: "Verdana","sans-serif"; color: rgb(0, 0, 10);">Bukti arkeologis membantah anggapan itu. Serangkaian penelitian arkeologi membuktikan pada awal tarikh Masehi di daerah pantai timur ditemukan sisa-sisa kebudayaan manusia berupa situs dan artefak. Situs-situs tertua di pantai timur Sumatera Selatan sebelum munculnya Kerajaan Sriwijaya adalah Situs Karangagung Tengah (Kabupaten Musi Banyuasin) dan Situs Air Sugihan (Kabupaten Banyuasin dan Ogan Komering Ilir). Situs Karang Agung Tengah berasal dari sekitar<span style=""> </span>abad IV Masehi (220-440 dan 320-560 Masehi) berdasarkan analisis radio karbon pada sampel tiang kayu rumah yang ditemukan dalam penggalian tahun 2000. Selain sisa bangunan ditemukan pula kemudi perahu dari kayu, tembikar, manik-manik batu dan kaca, anting, gelang kaca, batu asah, cincin dan anting emas serta liontin perunggu. Sementara itu Kawasan Situs Air Sugihan terus berlanjut dihuni sampai abad XI Masehi berdasarkan pertanggalan keramik Cina yang banyak ditemukan dalam ekskavasi tahun 2007 oleh Puslitbang Arkeologi Nasional.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt; line-height: 150%;"><span style="font-size: 10pt; line-height: 150%; font-family: "Verdana","sans-serif"; color: rgb(0, 0, 10);"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt; line-height: 150%;"><b style=""><span style="font-size: 10pt; line-height: 150%; font-family: "Verdana","sans-serif"; color: rgb(0, 0, 10);">Pola hidup<o:p></o:p></span></b></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt; line-height: 150%;"><span style="font-size: 10pt; line-height: 150%; font-family: "Verdana","sans-serif"; color: rgb(0, 0, 10);">Kajian awal terhadap situs dan artefak yang ditinggalkan komuniti pra-Sriwijaya di daerah lahan basah menunjukkan bahwa mereka bertahan hidup dengan memanfaatkan sumber daya alam yang tersedia di lingkungannya dan melakukan kontak dagang dengan luar. Mata pencaharian mereka adalah penghasil bahan makanan dan bahan <st1:city st="on"><st1:place st="on">baku</st1:place></st1:City> dari hutan rawa. <span style=""> </span>Hasil hutan itu diperkirakan menjadi komoditi<span style=""> </span>perdagangan, selain untuk kebutuhan sendiri. <span style=""> </span>Artefak-artefak impor berupa tembikar dari Arikamedu (India Selatan) serta manik-manik batu dan kaca dari luar memperkuat bukti adanya jalur perdagangan antara pantai timur Sumatera dengan <st1:country-region st="on"><st1:place st="on">India</st1:place></st1:country-region> dan Cina.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt; line-height: 150%;"><span style="font-size: 10pt; line-height: 150%; font-family: "Verdana","sans-serif"; color: rgb(0, 0, 10);">Sampai sejauh ini belum ditemukan artefak-artefak keagamaan di Situs Karang Agung Tengah dan Situs Air Sugihan. Diperkirakan komuniti pra-Sriwijaya itu masih menganut kepercayaan yang bersifat animistik. Ditemukannya tempayan kubur di Situs Sentang menjadi petunjuk kuat bahwa tradisi prasejarah digunakan dalam ritual-ritual penguburan. <span style=""> </span>Tempayan kubur<span style=""> </span>di daerah lahan basah ditemukan juga di Situs Lebak <st1:city st="on"><st1:place st="on">Bandung</st1:place></st1:City>, Kecamatan Jelutung di Kota Jambi melalui penggalian arkeologis tahun 1996 - 1998 oleh Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Jambi.</span><span style="font-size: 10pt; line-height: 150%; font-family: "Verdana","sans-serif";"> Situs ini berada di teras Sungai Asam yang hulunya bertemu dengan Sungai Medak dan <span style=""> </span>hilirnya bermuara di Sungai Batanghari. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt; line-height: 150%;"><span style="font-size: 10pt; line-height: 150%; font-family: "Verdana","sans-serif";">Tampaknya tanah-tanah kering yang lebih tinggi (<i style="">talang</i>) yang terdapat di sekitar rawa dimanfaatkan oleh komuniti kuno untuk lahan kubur. Sementara itu rumah-rumah mereka berdiri di tepi sungai dan rawa-rawa dalam bentuk rumah panggung dan mungkin juga rumah-rumah rakit, seperti yang banyak ditemukan di Sungai Lalan di Bayung Lencir sekarang. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt; line-height: 150%;"><span style="font-size: 10pt; line-height: 150%; font-family: "Verdana","sans-serif"; color: rgb(0, 0, 10);">Situs Sentang dan Lebak <st1:city st="on"><st1:place st="on">Bandung</st1:place></st1:City> diperkirakan sezaman dengan kehidupan komuniti-komuniti pra-Sriwijaya di Karang Agung Tengah dan Air Sugihan.<span style=""> </span>Beberapa motif hias tembikar dan jenis manik-manik memiliki persamaan dengan benda-benda serupa dari Karang Agung Tengah. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt; line-height: 150%;"><span style="font-size: 10pt; line-height: 150%; font-family: "Verdana","sans-serif"; color: rgb(0, 0, 10);">Situs-situs pra Sriwijaya tersebut menunjukkan bahwa telah mapannya kehidupan komuniti-komuniti di daerah rawa sebelum tumbuhnya pusat Kerajaan Sriwijaya di Palembang pada abad VII Masehi. Tumbuh dan berkembangnya Kerajaan Sriwijaya di Palembang antara lain karena didukung oleh komuniti-komuniti di daerah lahan basah yang telah melakukan perdagangan internasional sejak awal tarikh Masehi.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="font-size: 10pt; line-height: 150%; font-family: "Verdana","sans-serif";"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><b style=""><span style="font-size: 10pt; line-height: 150%; font-family: "Verdana","sans-serif";">Penggalian liar<o:p></o:p></span></b></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt; line-height: 150%;"><span style="font-size: 10pt; line-height: 150%; font-family: "Verdana","sans-serif";">“Dua guci yang hilang sudah kembali. Lokasi dalam keadaan aman terkendali”, kata Basnuh lega setelah menerima informasi dari lapangan. Mobil segera meluncur ke lokasi penggalian arkeologi. Memasuki Dusun Sentang, jalan yang berawa-rawa<span style=""> </span>sebagian sudah diperkeras dengan batu-batu dan kini sedang diaspal. Tahun lalu mobil sulit sekali menembus Dusun Sentang.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt; line-height: 150%;"><span style="font-size: 10pt; line-height: 150%; font-family: "Verdana","sans-serif";">“Kami sudah berjuang jalan aspal itu dibangun sampai ujung Dusun Sentang, jangan sampai batas desa tetangga saja. Apalagi ditemukannya situs tempayan kubur, Sentang bisa jadi obyek wisata. Bupati bisa lihat”, ujar Basnuh sambil melambaikan tangan kepada pekerja proyek yang mengizinkan mobil lewat.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt; line-height: 150%;"><span style="font-size: 10pt; line-height: 150%; font-family: "Verdana","sans-serif";">Basnuh Ismail memang akrab dengan dusun itu. Lelaki kecil dari Komering itu merintis usaha pendidikan di Dusun Sentang sejak tahun 1980-an sampai diangkat menjadi <span style=""> </span>PNS dan Kepala Sekolah Dasar daerah terpencil. Pak Guru, demikian ia sering dipanggil oleh warga, berjuang menghapus kebodohan di Sentang melalui jalur pendidikan. Ia dan beberapa warga membuat pondok untuk sekolah anak-anak. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt; line-height: 150%;"><span style="font-size: 10pt; line-height: 150%; font-family: "Verdana","sans-serif";">Menurut Husin (65), seorang penduduk, permukiman di Sentang mulai muncul setelah tahun 1958. Penduduk Sentang umumnya pendatang dari <st1:city st="on"><st1:place st="on">Palembang</st1:place></st1:City> dan Komering. Pada saat itu hingga tahun 1985 Sentang masih berupa hutan yang ditumbuhi pohon kayu keras, seperti bulian, merawan, meranti, tembesu, petaling dan puna. Kegiatan berkayu mencapai puncaknya pada tahun 1990-an. Daerah Bayung Lencir bagaikan <st1:city st="on"><st1:place st="on">kota</st1:place></st1:City> yang tidak pernah tidur. Malam terang benderang karena kegiatan menebang dan mengolah kayu (<i style="">sawmill</i>). <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt; line-height: 150%;"><span style="font-size: 10pt; line-height: 150%; font-family: "Verdana","sans-serif";"><span style=""> </span>Kayu mulai habis, Sentang masih menyimpan kekayaan lainnya. Secara tidak disengaja penduduk menemukan guci-guci dari dalam tanah ketika membangun rumah. Penggalian liar situs purbakala di Sentang marak pada tahun 1983 sampai harus dihentikan oleh polisi. Baru tahun ini tim arkeologi berhasil menggali secara ilmiah dan menemukan tempayan kubur berkat bantuan Basnuh dan tiga orang kawan dekatnya.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt; line-height: 150%;"><span style="font-size: 10pt; line-height: 150%; font-family: "Verdana","sans-serif";">Dua guci atau periuk dengan motif jala yang sempat hilang itu tampak sudah bersih dicuci. Menurut Basnuh, <span style=""> </span>salah seorang penduduk yang tiap hari melihat penggalian arkeologis itu yang mengambil dua artefak di lubang gali pada tengah malam. Ia penasaran isi dari periuk yang dipenuhi oleh tanah itu. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt; line-height: 150%;"><span style="font-size: 10pt; line-height: 150%; font-family: "Verdana","sans-serif";">“Guci-guci dan tempayan itu bukan wadah harta yang disembunyikan oleh Si Karun. Itu tempayan kubur nenek moyang kita. Jangan diganggu”, kata Basnuh. Ucapan itu<span style=""> </span>sering diucapkan kepada penduduk yang menonton penggalian, apalagi setelah kasus hilangnya dua periuk. Basnuh tak ingin setelah kayu habis giliran guci-guci di<span style=""> </span>dalam bumi Sentang yang dieksploitasi. <o:p></o:p></span></p>Nurhadi Rangkutihttp://www.blogger.com/profile/05987175295898025688noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6558820035391086789.post-48997983019818134432009-05-16T00:23:00.000-07:002009-05-16T00:26:52.566-07:00MENGGALI SRIWIJAYA DI PALEMBANG<p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt; line-height: 150%;"><span style="line-height: 150%;font-family:";font-size:10;" ><!--[if gte vml 1]><v:shapetype id="_x0000_t136" coordsize="21600,21600" spt="136" adj="10800" path="m@7,l@8,m@5,21600l@6,21600e"> <v:formulas> <v:f eqn="sum #0 0 10800"> <v:f eqn="prod #0 2 1"> <v:f eqn="sum 21600 0 @1"> <v:f eqn="sum 0 0 @2"> <v:f eqn="sum 21600 0 @3"> <v:f eqn="if @0 @3 0"> <v:f eqn="if @0 21600 @1"> <v:f eqn="if @0 0 @2"> <v:f eqn="if @0 @4 21600"> <v:f eqn="mid @5 @6"> <v:f eqn="mid @8 @5"> <v:f eqn="mid @7 @8"> <v:f eqn="mid @6 @7"> <v:f eqn="sum @6 0 @5"> </v:formulas> <v:path textpathok="t" connecttype="custom" connectlocs="@9,0;@10,10800;@11,21600;@12,10800" connectangles="270,180,90,0"> <v:textpath on="t" fitshape="t"> <v:handles> <v:h position="#0,bottomRight" xrange="6629,14971"> </v:handles> <o:lock ext="edit" text="t" shapetype="t"> </v:shapetype><v:shape id="_x0000_i1025" type="#_x0000_t136" style="'width:27.75pt;" fillcolor="black"> <v:shadow color="#868686"> <v:textpath style="'font-family:" trim="t" fitpath="t" string="R"> </v:shape><![endif]--><!--[if !vml]--><img src="file:///C:/DOCUME%7E1/BALARP%7E1/LOCALS%7E1/Temp/msohtmlclip1/01/clip_image001.gif" alt="R" shapes="_x0000_i1025" height="39" width="71" /><!--[endif]-->ombongan besar itu terus bergerak. Dua puluh ribu serdadu mengawal seorang raja agung naik perahu menyusuri Sungai Musi dengan perbekalan 200 peti. Rombongan yang berjalan kaki 1.312 tentara.<span style=""> </span><span style=""> </span>Mereka berangkat dari suatu tempat yang bernama Minanga melakukan perjalanan menuju Mukha Upang selama 29 hari.<span style=""> </span>Sampai di tempat tujuan, sang raja kemudian membangun kampung (<i style="">wanua</i>). Sang raja menyebut ekspedisi itu sebagai <i style="">jaya siddayatra</i>, yaitu perjalanan suci <span style=""> </span>untuk kejayaan Sriwijaya.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt; line-height: 150%;"><span style="line-height: 150%;font-family:";font-size:10;" >Kisah perjalanan itu terukir dalam prasasti batu yang ditemukan oleh seorang <span style=""> </span>bangsa Belanda tahun 1920 di Desa Kedukan Bukit di bagian barat Kota Palembang. Prasasti bertulis huruf Palawa dan berbahasa Melayu Kuno itu menyebutkan pada tanggal 16 Juni 682 Masehi, raja yang bernama Dapunta Hiyang Sri Jayanasa mendirikan wanua sebagai tempat istananya yang baru. <span style=""> </span>Wanua itu kemudian berkembang menjadi pusat Kerajaan Sriwijaya sampai abad ke-13 Masehi.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt; line-height: 150%;"><span style="line-height: 150%;font-family:";font-size:10;" ><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt; line-height: 150%;"><st1:place st="on"><b style=""><span style="line-height: 150%;font-family:";font-size:10;" >Taman</span></b></st1:place><b style=""><span style="line-height: 150%;font-family:";font-size:10;" > Purbakala<o:p></o:p></span></b></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt; line-height: 150%;"><st1:place st="on"><span style="line-height: 150%;font-family:";font-size:10;" >Para</span></st1:place><span style="line-height: 150%;font-family:";font-size:10;" > arkeolog mencari lokasi wanua yang didirikan hampir 1400 tahun yang lalu itu di <st1:city st="on"><st1:place st="on">Palembang</st1:place></st1:city>. Tempat penemuan Prasasti Kedukan Bukit pun ditelusuri kembali, <span style=""> </span>letaknya di wilayah Karanganyar tidak jauh dari Sungai Musi. Di tempat itu ada Sungai Kedukan Bukit, sungai kecil yang berhubungan dengan Sungai Musi. Melalui foto udara tampak sungai alam itu telah diluruskan menjadi saluran buatan sepanjang 3300 meter memotong meander Sungai Musi. Saluran-saluran buatan lainnya dan<span style=""> </span>kolam-kolam besar serta pulau-pulau buatan terlihat pula pada foto udara. Kawasan Karanganyar memperlihatkan lingkungan binaan zaman lampau . <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt; line-height: 150%;"><span style="line-height: 150%;font-family:";font-size:10;" >Sejak tahun 1986 sampai 1993 telah dilakukan penggalian arkeologis di Situs Karanganyar. Ribuan pecahan tembikar (<i style="">earthenware</i>) dan keramik-keramik asal <span style=""> </span>Cina abad ke-8-10 Masehi ditemukan di dalam tanah. <st1:city st="on"><st1:place st="on">Ada</st1:place></st1:city> pula manik-manik serta sisa-sisa bangunan kuno dari bata. Saat dilakukan pengerukan saluran kuno ditemukan sisa-sisa kayu perahu kuna. Hasil penelitian menunjukkan pada zaman itu rawa-rawa direklamasi menjadi lahan permukiman.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt; line-height: 150%;"><span style="line-height: 150%;font-family:";font-size:10;" >Sekitar Situs Karanganyar dijumpai situs-situs arkeologi lainnya, yaitu Situs Kambang Unglen, Ladang Sirap, Padang Kapas, dan Talang Kikim. Di Situs Kambang Unglen ditemukan pecahan keramik Cina masa Dinasti Tang (8-10 M) dan Dinasti Song (11-13 M), manik-manik dan sisa pengerjaan manik-manik. Di situs itu juga ditemukan lantai bangunan bata serta fragmen-fragmen prasasti batu. Keramik dari masa yang sama ditemukan pula di Situs Ladang Sirap, Talang Kikim dan Padang Kapas.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt; line-height: 150%;"><span style="line-height: 150%;font-family:";font-size:10;" >Kawasan Situs Karanganyar kemudian ditetapkan sebagai Taman Purbakala Kerajaan Sriwijaya (TPKS) yang diresmikan oleh Presiden Soeharto tahun 1994. Sebuah museum dibangun di tempat itu untuk memamerkan artefak-artefak hasil penelitian sekaligus sebagai pusat informasi Sriwijaya. TPKS<span style=""> </span>dapat dikembangkan menjadi obyek wisata budaya sekaligus terlestarikannya sisa peninggalan masa Sriwijaya.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt; line-height: 150%;"><span style="line-height: 150%;font-family:";font-size:10;" ><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="line-height: 150%;font-family:";font-size:10;" ><span style=""> </span><b style="">Bukit Siguntang<o:p></o:p></b></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt; line-height: 150%;"><span style="line-height: 150%;font-family:";font-size:10;" ><span style=""> </span>Di bagian utara situs Karanganyar terdapat Bukit Siguntang, bukit sakral masa Sriwijaya. Bukit yang tingginya sekitar 26 meter di atas permukaan laut itu adalah tanah yang paling tinggi di <st1:city st="on"><st1:place st="on">Palembang</st1:place></st1:city>. Dahulu kala Bukit Siguntang dijadikan pedoman atau tanda oleh para nakhoda kapal<span style=""> </span>menuju pelabuhan Sriwijaya ketika melayari Sungai Musi dari muaranya. Kini <i style="">landmark</i> Sriwijaya itu sangat sulit dilihat dari Jembatan Ampera yang melintasi Sungai Musi. Terhalang gedung-gedung tinggi yang tumbuh pesat di <st1:city st="on"><st1:place st="on">Kota</st1:place></st1:city> <st1:city st="on"><st1:place st="on">Palembang</st1:place></st1:city>.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt; line-height: 150%;"><span style="line-height: 150%;font-family:";font-size:10;" ><span style=""> </span>Bukit Siguntang sekarang menjadi ajang muda-mudi memadu kasih. Di antara rimbunnya pepohonan berdiri bangunan-bangunan modern yang menghilangkan citra dan alam Sriwijaya. Di puncak bukit berdiri bangunan-bangunan menara pandang dan makam-makam baru yang dimitoskan sebagai makam tokoh-tokoh yang menurunkan raja-raja Melayu di Sumatera dan di Semenanjung. Sosok menara pemancar seluler menjulang tinggi di kaki bukit. Semua itu menciptakan polusi visual lingkungan situs. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt; line-height: 150%;"><span style="line-height: 150%;font-family:";font-size:10;" >Padahal bukti-bukti arkeologis menunjukkan bahwa Bukit Siguntang merupakan tempat bersejarah masa Kerajaan Sriwijaya. Sesosok<span style=""> </span>arca Buddha dari batu dengan tinggi 3,6 meter yang kini dipajang di halaman Museum Sultan Mahmud Baddaruddin II di tepi Sungai Musi, berasal dari Bukit Siguntang yang ditemukan tergeletak di lereng selatan bukit. Terkait dengan<span style=""> </span>arca itu terdapat <span style=""> </span>sisa-sisa bangunan stupa dari bata,<span style=""> </span>arca bhodisatwa, kepala arca Buddha dari perunggu,lempengan emas bertulis dan dua prasasti batu. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt; line-height: 150%;"><span style="line-height: 150%;font-family:";font-size:10;" >Artefak-artefak itu menggambarkan Bukit Siguntang sebagai tempat peribadatan kaum agama Buddha sejak abad ke-6 Masehi. Peranan Sriwijaya dalam pengembangan agama Buddha telah dikenal melalui Berita Cina. I-Tsing menceritakan dalam kitabnya yang ditulis antara <span style=""> </span>tahun 691-692 Masehi bahwa Sriwijaya menjadi pusat agama Buddha. Tercatat lebih dari 1000 orang bhiksu belajar di negeri bahari itu.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt; line-height: 150%;"><span style="line-height: 150%;font-family:";font-size:10;" >Salah satu fragmen prasasti batu dari Bukit Siguntang mengisahkan peperangan. Penggalan-penggalan kalimat dalam bahasa Melayu Kuno dari abad ke-7 Masehi itu berbunyi “tidak tahu berapa banyak yang berperang” dan “banyak darah yang tertumpah”. Isi prasasti itu menambah misteri Bukit Siguntang yang baru sedikit tersingkap oleh arkeolog. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt; line-height: 150%;"><span style="line-height: 150%;font-family:";font-size:10;" ><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt; line-height: 150%;"><st1:city st="on"><st1:place st="on"><b style=""><span style="line-height: 150%;font-family:";font-size:10;" >Kota</span></b></st1:place></st1:city><b style=""><span style="line-height: 150%;font-family:";font-size:10;" > di Bawah <st1:city st="on"><st1:place st="on">Kota</st1:place></st1:city><o:p></o:p></span></b></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt; line-height: 150%;"><span style="line-height: 150%;font-family:";font-size:10;" >Selain prasasti Kedukan Bukit , ditemukan prasasti batu lainnya yang berangka tahun di <st1:city st="on"><st1:place st="on">Palembang</st1:place></st1:city>, yaitu Prasasti Talang Tuo (684 Masehi). Prasasti ini berisi tentang perintah Dapunta Hiyang membuat Taman Sriksetra dengan bermacam tanaman<span style=""> </span>yang buahnya dapat dimakan dan telaga yang dapat dinikmati oleh orang banyak, terutama para musafir. Lokasinya tentu tidak jauh dari pusat Kerajaan. <st1:place st="on">Para</st1:place> arkeolog menyambangi lokasi penemuan prasasti itu di Desa Talang Tuo. Tempat itu berada di tanah kering yang lebih tinggi. Tampak sekarang <span style=""> </span>lokasi Taman Sriksetra telah menjadi lahan perkebunan kelapa sawit dan tanah di sekitarnya <span style=""> </span>terus menerus ditambang untuk bahan bangunan perumahan-perumahan baru yang berkembang pesat di <st1:city st="on"><st1:place st="on">Kota</st1:place></st1:city> <st1:city st="on"><st1:place st="on">Palembang</st1:place></st1:city>. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt; line-height: 150%;"><span style="line-height: 150%;font-family:";font-size:10;" >Sisa-sisa peradaban Sriwijaya tidak hanya terdapat di bagian barat Kota Palembang, tetapi memanjang mengikuti aliran Sungai Musi. Singkat kata, <st1:city st="on"><st1:place st="on">kota</st1:place></st1:city> Sriwijaya abad ke-7 hingga ke-13 Masehi hampir seluas Kota Palembang sekarang. Selain Bukit Siguntang, terdapat tempat suci lainnya yaitu Candi Angsoka, Candi Gedingsuro, dan Sabokingking yang terdapat di bagian tengah dan timur Kota Palembang.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt; line-height: 150%;"><span style="line-height: 150%;font-family:";font-size:10;" >Pada bagian tengah <st1:city st="on"><st1:place st="on">kota</st1:place></st1:city> terdapat bangunan-bangunan masa Kesultanan <st1:city st="on"><st1:place st="on">Palembang</st1:place></st1:city> dari abad ke-18 – 19 Masehi. Salah satunya adalah bangunan yang sekarang difungsikan sebagai Museum Sultan Mahmud Badaruddin II, letaknya di sebelah Benteng Kuto Besak (BKB) dan menghadap ke sungai. <span style=""> </span>Penggalian arkeologis dilakukan di halaman museum sampai kedalaman lebih dari empat meter dari permukaan tanah. Ternyata di lokasi itu kaya dengan temuan keramik dari masa ke masa. Keramik tertua berasal dari Cina dari abad ke-5 Masehi, hingga keramik Eropa pada masa kolonial Belanda. Arkeolog beranggapan tempat ini telah didiami selama berabad-abad, sejak awal tumbuhya wanua Sriwijaya hingga masa sekarang.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt; line-height: 150%;"><span style="line-height: 150%;font-family:";font-size:10;" >Lokasinya memang strategis, yaitu di tepi Sungai Musi yang paling lebar sehingga dapat dilayari puluhan kapal besar. <span style=""> </span>Hasil penggalian di tengah <st1:city st="on"><st1:place st="on">kota</st1:place></st1:city> <st1:city st="on"><st1:place st="on">Palembang</st1:place></st1:city> itu memperkuat anggapan bahwa pusat Kota Sriwijaya terletak di pusat Kota Palembang. Tampaknya di bawah <st1:city st="on"><st1:place st="on">kota</st1:place></st1:city> tersimpan sisa-sisa <st1:city st="on"><st1:place st="on">kota</st1:place></st1:city> Sriwijaya di dalam tanah dan rawa.<o:p></o:p></span></p>Nurhadi Rangkutihttp://www.blogger.com/profile/05987175295898025688noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6558820035391086789.post-43124680330069445412009-05-16T00:11:00.000-07:002009-05-16T00:15:33.351-07:00PERAHU KAJANG KAYUAGUNG<ol style="margin-top: 0in;" start="1" type="1"><li class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;">PENDAHULUAN</li></ol> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><o:p> </o:p></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt; line-height: 150%;"><st1:country-region st="on"><st1:place st="on">Indonesia</st1:place></st1:country-region> sebagai negara kepulauan memiliki banyak jenis perahu. Berdasarkan hasil penelitian arkeologi, sisa-sisa perahu kuno banyak ditemukan di Sumatera Selatan, Jambi, Kepulauan Riau dan Kepulauan Bangka-Belitung. Berdasarkan tipe teknologi, terdapat dua dua tipe teknologi perahu di <st1:country-region st="on"><st1:place st="on">Indonesia</st1:place></st1:country-region>, yaitu perahu tradisi Asia Tenggara dan perahu tipe tradisi Cina Selatan.</p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt; line-height: 150%;"><span style=""> </span><span style="" lang="SV">Teknologi perahu Asia Tenggara umum ditemukan di wilayah perairan Asia Tenggara. Bukti tertua penggunaan teknik gabungan teknik ikat dan teknik pasak kayu dijumpai pada sisa perahu di Situs Kuala Pontian di Malaysia yang berasal dari antara abad ke-3 dan abad ke-5 Masehi. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt; line-height: 150%;"><span style="" lang="SV">Penelitian Sriwijaya yang intensif di <span style=""> </span>Sumatera sejak tahun 1980-1990 juga banyak menemukan sisa-sisa perahu kuno<span style=""> </span>tradisi Asia Tenggara.. Di wilayah Sumatera Selatan, bangkai perahu ditemukan di Situs Samirejo, Mariana (Kabupaten Banyuasin), Situs Kolam Pinisi<span style=""> </span>(Palembang) dan di Situs Tulung Selapan (Kabupaten Ogan Komering Ilir). Di Jambi ditemukan pula papan perahu sejenis di Situs Lambur (Kabupaten Tanjung Jabung Timur), sedangkan di Pulau Bangka jenis perahu semacam itu ditemukan di Situs Kota Kapur (Kabupaten Bangka). Selain<span style=""> </span>papan-papan perahu ditemukan pula kemudi perahu dari kayu besi yang diduga bagian dari teknologi tradisi Asia Tenggara, yaitu di Sungai Buah (Palembang) dan Situs Karangagung Tengah (Kabupaten Musi Banyuasin). <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt; line-height: 150%;"><span style="" lang="SV">Papan-papan perahu dari Situs Samirejo dan Situs Kolam Pinisi telah dianalisis laboratorium dengan menggunakan metode <i style="">carbon dating</i> C14. Sepotong papan dari Situs Kolam Pinisi menghasilkan pertanggalan kalibrasi antara 434 dan 631 Masehi, sedangkan papan dari Situs Samirejo berasal dari masa<span style=""> </span>antara 610 dan 775 Masehi (Lucas Partanda Koestoro, 1993).<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt; line-height: 150%;"><span style="" lang="SV"><span style=""> </span>Ciri-ciri perahu tipe tradisi Asia Tenggara yaitu adanya lubang-lubang yang terdapat di bagian permukaan dan sisi papan serta lubang-lubang pada tonjolan segi empat yang menembus lubang di sisi papan, merupakan teknik rancang bangun perahu dengan teknik papan ikat dan kupingan pengikat </span>(<i style="">sewn plank and lushed plug technique</i>). </p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt; line-height: 150%;"><span style="" lang="SV">Tonjolan segi empat atau <i style="">tambuku</i> digunakan untuk mengikat papan-papan dan mengikat papan dengan <i style="">gading-gading</i> dengan menggunakan tali ijuk (<i style="">Arrenga pinnata</i>). Tali ijuk dimasukan pada lubang di <i style="">tambuku</i>. Pada salah lubang di bagian tepi papan perahu yang di temukan di Sungai Kupang terlihat ujung<span style=""> </span>pasak kayu yang patah masih terpaku di dalam lubang. Biasanya penggunaan pasak kayu untuk memperkuat ikatan tali ijuk.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt; line-height: 150%;"><span style="" lang="SV">Teknologi perahu tradisi Cina Selatan antara lain telah digunakannya paku untuk merangkai papan. Jenis perahu semacam ini ditemukan di Pulau Bintan, Kepulauan Riau.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt; line-height: 150%;"><span style="" lang="SV">Selain arkeologi, penelitian etnografis tentang perahu-perahu tradisional menghasilkan data tentang berbagai tipe tradisi perahu. <span style=""> </span>Di daerah Sumatera Selatan banyak dijumpai tipe-tipe perahu antara lain perahu bidar dan perahu kajang. Kedua tipe perahu tersebut merupakan perahu-perahu tradisional yang mungkin berasal dari masa Sriwijaya (abad VII-XIII Masehi).<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt; line-height: 150%;"><!--[if gte vml 1]><v:shapetype id="_x0000_t75" coordsize="21600,21600" spt="75" preferrelative="t" path="m@4@5l@4@11@9@11@9@5xe" filled="f" stroked="f"> <v:stroke joinstyle="miter"> <v:formulas> <v:f eqn="if lineDrawn pixelLineWidth 0"> <v:f eqn="sum @0 1 0"> <v:f eqn="sum 0 0 @1"> <v:f eqn="prod @2 1 2"> <v:f eqn="prod @3 21600 pixelWidth"> <v:f eqn="prod @3 21600 pixelHeight"> <v:f eqn="sum @0 0 1"> <v:f eqn="prod @6 1 2"> <v:f eqn="prod @7 21600 pixelWidth"> <v:f eqn="sum @8 21600 0"> <v:f eqn="prod @7 21600 pixelHeight"> <v:f eqn="sum @10 21600 0"> </v:formulas> <v:path extrusionok="f" gradientshapeok="t" connecttype="rect"> <o:lock ext="edit" aspectratio="t"> </v:shapetype><v:shape id="_x0000_s1026" type="#_x0000_t75" style="'position:absolute;" wrapcoords="-45 0 -45 21542 21600 21542 21600 0 -45 0"> <v:imagedata src="file:///C:\DOCUME~1\BALARP~1\LOCALS~1\Temp\msohtmlclip1\01\clip_image001.jpg" title="Kajang%201926"> <w:wrap type="tight"> </v:shape><![endif]--><!--[if !vml]--><!--[endif]--><span style="" lang="SV">Salah satu bentuk perahu tradiosional yang terdapat di Sumatera Selatan<span style=""> </span>adalah perahu kajang. Jenis perahu ini umumnya berasal dari daerah Kayu Agung di Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI). Pada masa lalu perahu kajang banyak dijumpai di Sungai Musi Palembang, akan tetapi sekarang sudah tidak dapat dijumpai lagi. Berdasarkan hal tersebut dilakukan pendokumentasian perahu tersebut di wilayah Kayu Agung. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt; line-height: 150%;"><span style="" lang="SV"><o:p></o:p>2. PERAHU KAJANG KAYU AGUNG<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt; line-height: 150%;"><span style="" lang="SV">Pengamatan terhadap perahu Kayu Agung <span style=""> </span>dilakukan di sepanjang Sungai Komering, yaitu di kelurahan Kota Raya, Kedaton, Jua-Jua dan desa-desa sekitarnya. Selama pengamatan tidak dijumpai lagi perahu-perahu kajang. Menurut keterangan penduduk sejak tahun 1980-an jenis perahu itu sudah tidak digunakan lagi seiring dengan merosotnya pemasaran tembikar Kayu Agung ke daerah-daerah lain. Biasanya perahu kajang digunakan untuk mengangkut barang-barang tembikar Kayu Agung dan dipasarkan ke daerah-daerah lain. Pemasaran dengan perahu tersebut berlangsung dalam waktu yang lama, berbulan-bulan bahkan tahun.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt; line-height: 150%;"><!--[if gte vml 1]><v:shape id="_x0000_s1027" type="#_x0000_t75" style="'position:absolute;left:0;text-align:left;margin-left:0;margin-top:2.7pt;"> <v:imagedata src="file:///C:\DOCUME~1\BALARP~1\LOCALS~1\Temp\msohtmlclip1\01\clip_image003.jpg" title="Foto01"> <w:wrap type="square"> </v:shape><![endif]--><!--[if !vml]--><br /><span style="" lang="SV">Setelah melakukan penelusuran berkali-kali di sepanjang Sungai Komering, akhirnya ditemukan sebuah perahu kajang di Kelurahan Kedaton. Satu-satunya perahu kajang tersebut telah dimodifikasi menjadi perahu ketek, yang telah menggunakan mesin.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt; line-height: 150%;"><span style="" lang="SV">Perahu kajang merupakan perahu yang menggunakan atap dari nipah yang terdiri dari tiga bagian, yaitu bagian depan atap yang disorong (<i style="">kajang tarik</i>), bagian tengah adalah atap yang tetap (<i style="">kajang tetap)</i> dan atap bagian belakang (<i style="">tunjang karang</i>). <span style=""> </span>Bahan yang <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt; line-height: 150%;"><!--[if gte vml 1]><v:shape id="_x0000_s1028" type="#_x0000_t75" style="'position:absolute;left:0;text-align:left;margin-left:279pt;" wrapcoords="-52 0 -52 21531 21600 21531 21600 0 -52 0"> <v:imagedata src="file:///C:\DOCUME~1\BALARP~1\LOCALS~1\Temp\msohtmlclip1\01\clip_image005.jpg" title="kajang_1"> <w:wrap type="tight"> </v:shape><![endif]--><!--[if !vml]--><br /><!--[endif]--></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><span style="" lang="SV">digunakan untuk pembuatan perahu ini adalah kayu jenis kayu rengas, yang sudah tidak ditemukan lagi di wilayah Kayu Agung. Panjang perahu sekitar delapan meter dan lebar perahu dua meter. Buritan di bagian depan perahu terdapat tonjolan seperti kepala yang disebut <i style="">selungku</i>, merupakan ciri khas perahu kajang Kayu Agung.<span style=""> </span><span style=""> </span><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt; line-height: 150%;"><span style="" lang="SV">Perahu kajang memiliki dayung dan kemudi yang terbuat dari kayu. Panjang dayung sekitar tiga meter, sedangkan panjang kemudi sekitar dua meter. Dayung dibuat dari kayu yang lebih ringan, sedangkan kemudi dari kayu berat yang bagian tepinya diberi lempengan logam. Kemudi<span style=""> </span>ditempatkan di bagian belakang, sedangkan dayung digunakan di bagian depan.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; line-height: 150%;"><!--[if gte vml 1]><v:shape id="_x0000_s1030" type="#_x0000_t75" style="'position:absolute;left:0;text-align:left;margin-left:153pt;" wrapcoords="-69 0 -69 21548 21600 21548 21600 0 -69 0"> <v:imagedata src="file:///C:\DOCUME~1\BALARP~1\LOCALS~1\Temp\msohtmlclip1\01\clip_image007.jpg" title="kemudi"> <w:wrap type="tight"> </v:shape><![endif]--><!--[if !vml]--><!--[endif]--><!--[if gte vml 1]><v:shape id="_x0000_s1029" type="#_x0000_t75" style="'position:absolute;left:0;" wrapcoords="-69 0 -69 21548 21600 21548 21600 0 -69 0"> <v:imagedata src="file:///C:\DOCUME~1\BALARP~1\LOCALS~1\Temp\msohtmlclip1\01\clip_image009.jpg" title="dayung"> <w:wrap type="tight"> </v:shape><![endif]--><!--[if !vml]--><!--[endif]--><span style="" lang="SV">Tata ruang perahu terdiri dari bagian depan, bagian tengah dan bagian belakang. Bagian depan merupakan ruang untuk menyimpan barang-barang komoditi yang dijual, seperti barang tembikar dan untuk kemudi. Bagian tengah <o:p></o:p></span><i style=""><span style="" lang="SV"><span style=""></span></span></i><span style="" lang="SV">adalah ruang keluarga untuk tempat tidur. Bagian belakang adalah kamar mandi dan dapur.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 0.5in; text-align: justify; text-indent: -0.25in; line-height: 150%;"><span style="" lang="SV"><o:p> </o:p><br /><span style="">3.<span style="font-family: "Times New Roman"; font-style: normal; font-variant: normal; font-weight: normal; font-size: 7pt; line-height: normal; font-size-adjust: none; font-stretch: normal;"> </span></span></span><!--[endif]--><span style="" lang="SV">PENUTUP<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in; line-height: 150%;"><span style="" lang="SV">Pada saat ini sudah sukar dijumpai perahu kajang di wilayah Kayu Agung. Selama ini belum ada upaya untuk melestarikan perahu tersebut, padahal perahu tersebut merupakan ciri khas Kayu Agung dan jenis perahu tersebut banyak terdapat di perairan Asia Tenggara dengan berbagai variasi. Oleh karena itu pihak pemerintah daerah dan masyarakat perlu mengusahakan pembuatan perahu kajang untuk melestarikan karya dan keterampilan nenek moyang dalam membuat perahu.<o:p></o:p></span></p>Nurhadi Rangkutihttp://www.blogger.com/profile/05987175295898025688noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-6558820035391086789.post-11221489920534883972009-05-16T00:02:00.000-07:002009-05-16T00:08:21.104-07:00SUATU HARI DI BATANGHARI<p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt; line-height: 150%;"><span style="font-size: 10pt; line-height: 150%; font-family: "Verdana","sans-serif";">Perahu<i style=""> ketek</i> perlahan menembus asap di perairan Batang Hari. Matahari siang itu tampak bagaikan bulan emas dengan latar langit dan air yang berwarna sama: kelabu. Inilah pemandangan khas Batang Hari saat berlangsungnya<span style=""> </span>panen raya asap di Jambi.<span style=""> </span>Hutan dan gambut yang terbakar saat kemarau panjang telah menuai asap yang dirasakan langsung oleh masyarakat luas: sesak nafas, mata perih dan terganggunya transportasi darat, udara dan air. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt; line-height: 150%;"><span style="font-size: 10pt; line-height: 150%; font-family: "Verdana","sans-serif";">Setelah melewati pelabuhan Talang Duku di Jambi menuju ke hulu, samar-samar terlihat belasan kelompok perahu mengapung di tengah sungai. Perahu <i style="">ketek </i>kemudian merapat pada sebuah tongkang yang memuat batu-batu <span style=""> </span>kerikil dan kerakal. Sebuah perahu ponton sedang menyedot kerikil dan pasir dari dasar sungai dengan menggunakan mesin.<span style=""> </span>Batu-batu kerikil dan kerakal ditampung di <span style=""> </span>tongkang, sedangkan pasir dan air dibuang kembali ke sungai. Di antara pasir-pasir, bila sedang mujur, terdapat butir-butir emas. Untuk memisahkan butir-butir emas dengan pasir dan kerikil disediakan sebuah karpet. Butir-butir emas akan menempel pada karpet itu. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt; line-height: 150%;"><span style="font-size: 10pt; line-height: 150%; font-family: "Verdana","sans-serif";">Salah seorang penumpang perahu<i style=""> ketek</i>, turun memunguti benda-benda kecil yang terselip di antara batu-batu kerikil di dalam tongkang. “Banyak pecahan keramik Cina dan tembikar-tembikar kuno dari dasar sungai”, ujar Tri Marhaeni, peneliti dari Balai Arkeologi Palembang. Ia memperlihatkan beberapa pecahan dasar mangkuk abad ke-11-13 Masehi berasal dari Dinasti Song dan fragmen-fragmen wadah tembikar kuno. Artefak-artefak semacam itu banyak ditemukan dalam penggalian arkeologis di situs Muara Jambi, sebuah kompleks percandian agama Buddha dari abad ke-11 – 13 Masehi. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt; line-height: 150%;"><span style="font-size: 10pt; line-height: 150%; font-family: "Verdana","sans-serif";">Ponton penyedot pasir di Batang Hari dikenal dengan nama <i style="">donfeng</i> dan kegiatan mereka oleh pemerintah setempat disebut PETI alias Penambangan Emas Tanpa Ijin. Ternyata tidak hanya kerikil dan kerakal, artefak-artefak kecil pun ikut tersedot dari dasar sungai oleh mesin penyedot untuk mencari emas.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt; line-height: 150%;"><span style="font-size: 10pt; line-height: 150%; font-family: "Verdana","sans-serif";">Nana (21), salah seorang pekerja, membantah kalau mereka mencari emas dengan menggunakan air raksa atau merkuri, yang dianggap telah mencemarkan air Batang Hari. “Kami hanya menyedot pasir dan kerikil dari dasar sungai dan mengangkutnya dengan tongkang-tongkang”, ujar pemuda dari Subang, Jawa Barat itu yang sudah dua tahun mengadu nasib di Jambi. <span style=""> <br /></span></span></p><p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt; line-height: 150%;"><span style="font-size: 10pt; font-family: "Verdana","sans-serif";"><!--[if gte vml 1]><v:shapetype id="_x0000_t75" coordsize="21600,21600" spt="75" preferrelative="t" path="m@4@5l@4@11@9@11@9@5xe" filled="f" stroked="f"> <v:stroke joinstyle="miter"> <v:formulas> <v:f eqn="if lineDrawn pixelLineWidth 0"> <v:f eqn="sum @0 1 0"> <v:f eqn="sum 0 0 @1"> <v:f eqn="prod @2 1 2"> <v:f eqn="prod @3 21600 pixelWidth"> <v:f eqn="prod @3 21600 pixelHeight"> <v:f eqn="sum @0 0 1"> <v:f eqn="prod @6 1 2"> <v:f eqn="prod @7 21600 pixelWidth"> <v:f eqn="sum @8 21600 0"> <v:f eqn="prod @7 21600 pixelHeight"> <v:f eqn="sum @10 21600 0"> </v:formulas> <v:path extrusionok="f" gradientshapeok="t" connecttype="rect"> <o:lock ext="edit" aspectratio="t"> </v:shapetype><v:shape id="_x0000_i1025" type="#_x0000_t75" style="'width:366.75pt;"> <v:imagedata src="file:///C:\DOCUME~1\BALARP~1\LOCALS~1\Temp\msohtmlclip1\01\clip_image001.jpg" title="foto_1"> </v:shape><![endif]--><!--[if !vml]--><!--[endif]--></span> </p><p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt; line-height: 150%;"><b style=""><span style="font-size: 10pt; line-height: 150%; font-family: "Verdana","sans-serif";">Peradaban di Batang Hari<o:p></o:p></span></b></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt; line-height: 150%;"><st1:place st="on"><span style="font-size: 10pt; line-height: 150%; font-family: "Verdana","sans-serif";">Para</span></st1:place><span style="font-size: 10pt; line-height: 150%; font-family: "Verdana","sans-serif";"> penumpang yang turun dari perahu <i style="">ketek</i> bukan petugas yang akan merazia kegiatan penambangan itu, meski juga punya perhatian terhadap emas Batang Hari. Mereka adalah tim arkeologi yang tengah menelusuri Batang Hari untuk merekam sisa-sisa peradaban kuno di daerah aliran sungai dan juga yang terdapat di dasar sungai.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt; line-height: 150%;"><span style="font-size: 10pt; line-height: 150%; font-family: "Verdana","sans-serif";">Emas memang identik dengan Sumatera yang disebut Swarnadwipa, pulau emas. Batang Hari pun telah menyumbangkan banyak emas untuk menumbuhkan peradaban manusia di sepanjang tubuhnya. Sungai sepanjang <span style=""> </span>1740 kilometer itu, memiliki ribuan tinggalan arkeologis. Artefak-artefak emas, prasasti, arca, keramik, tembikar, manik-manik,sisa perahu, pelabuhan, sisa-sisa hunian dan bangunan suci tersebar dari hulu Batang Hari di Sumatera Barat sampai ke muara di pantai timur Sumatra di wilayah Provinsi Jambi. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt; line-height: 150%;"><!--[if gte vml 1]><v:shapetype id="_x0000_t75" coordsize="21600,21600" spt="75" preferrelative="t" path="m@4@5l@4@11@9@11@9@5xe" filled="f" stroked="f"> <v:stroke joinstyle="miter"> <v:formulas> <v:f eqn="if lineDrawn pixelLineWidth 0"> <v:f eqn="sum @0 1 0"> <v:f eqn="sum 0 0 @1"> <v:f eqn="prod @2 1 2"> <v:f eqn="prod @3 21600 pixelWidth"> <v:f eqn="prod @3 21600 pixelHeight"> <v:f eqn="sum @0 0 1"> <v:f eqn="prod @6 1 2"> <v:f eqn="prod @7 21600 pixelWidth"> <v:f eqn="sum @8 21600 0"> <v:f eqn="prod @7 21600 pixelHeight"> <v:f eqn="sum @10 21600 0"> </v:formulas> <v:path extrusionok="f" gradientshapeok="t" connecttype="rect"> <o:lock ext="edit" aspectratio="t"> </v:shapetype><v:shape id="_x0000_s1026" type="#_x0000_t75" style="'position:absolute;"> <v:imagedata src="file:///C:\DOCUME~1\BALARP~1\LOCALS~1\Temp\msohtmlclip1\01\clip_image001.jpg" title="arca"> <w:wrap type="square"> </v:shape><![endif]--><!--[if !vml]--><!--[endif]--><span style="font-size: 10pt; line-height: 150%; font-family: "Verdana","sans-serif";">Tercatat dalam sejarah, sejak abad ke-7 <span style=""> </span>Batang Hari pernah menjadi ajang politik ekonomi Kerajaan Malayu dan Sriwijaya. Tubuh dan cabang-cabang sungai Batang Hari merupakan jalur dan jaringan perdagangan dari hulu ke hilir dan keluar Pulau Sumatera. Selain emas, komoditi andalan masa lalu adalah madu, lada, kayu gharu, damar dan gading. </span><span style="font-size: 10pt; line-height: 150%; font-family: "Verdana","sans-serif";" lang="PT-BR">Komoditi itu ditukar dengan barang-barang dari luar negeri, seperti keramik Cina, barang-barang logam dan kaca. Bahkan berita Arab tahun 661 – 681 mencatat adanya sebuah bandar besar yang lokasinya di Zabag Sribusa. Lokasi Zabag sekarang adalah Muara Sabak di hilir Batang Hari. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt; line-height: 150%;"><span style="font-size: 10pt; line-height: 150%; font-family: "Verdana","sans-serif";" lang="PT-BR">Pada abad ke-13, Bala tentara Singhasari dari Jawa Timur pernah mengarungi Batang Hari dalam Ekspedisi Pamalayu tahun 1284. Tak pelak ekspedisi ini akhirnya mempertemukan kebudayaan Jawa dan Sumatera di Batang Hari. Lihat saja, ciri-ciri Singhasari (Jawa) dan lokal bertemu pada pahatan arca Prajnaparamita di Situs Muara Jambi.</span></p><p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt; line-height: 150%;"> </p><p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt; line-height: 150%;"><b style=""><span style="font-size: 10pt; line-height: 150%; font-family: "Verdana","sans-serif";" lang="PT-BR">Kerikil dan Candi<o:p></o:p></span></b></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt; line-height: 150%;"><span style="font-size: 10pt; line-height: 150%; font-family: "Verdana","sans-serif";" lang="PT-BR">Mesin penyedot pasir baru saja dimatikan. Pada saat pekerja beristirahat, tim arkeologi mulai mengais kerikil-kerikil mencari artefak. Pecahan-pecahan keramik kuna pun <span style=""> </span>semakin banyak ditemukan. “Biasanya pecahan-pecahan keramik kuno itu ditemukan di antara lapisan pasir dan kerikil di dasar sungai”, kata Nana. Ia menjelaskan bahwa kedalaman dasar sungai sekitar delapan meter, sedangkan pipa penyedot pasir sampai dua belas meter menembus lapisan pasir, kerikil dan tanah berlumpur.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt; line-height: 150%;"><span style="font-size: 10pt; line-height: 150%; font-family: "Verdana","sans-serif";" lang="PT-BR">Agus Widiatmoko, arkeolog dari Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Jambi, mengamati batu-batu kerikil dan kerakal yang diperoleh dari dasar sungai itu. </span><span style="font-size: 10pt; line-height: 150%; font-family: "Verdana","sans-serif";">“Jenis batu kerikil dan kerakal ini dijadikan batu isian Candi Kedaton di kompleks percandian Muara Jambi”, katanya.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt; line-height: 150%;"><span style="font-size: 10pt; line-height: 150%; font-family: "Verdana","sans-serif";">Bangunan induk candi Kedaton, berukuran 26,30 X 27 meter, merupakan bangunan terbesar di Situs Muara Jambi. Sebagai batu isian bangunan digunakan batu kerikil dan kerakal jenis basalt, kuarsa susu, andesit, obsidian, granit, kalsedon dan konglomerat. Jenis-jenis batuan ini tidak ditemukan di Muara Jambi, sebagian sarjana memperkirakan <span style=""> </span>berasal dari hulu Batang hari sekitar Pegunungan Duabelas atau Pegunungan Tigapuluh, yang berjarak seratus kilometer lebih dari Muara Jambi.</span></p><p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt; line-height: 150%;"> </p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt; line-height: 150%;"><span style="font-size: 10pt; line-height: 150%; font-family: "Verdana","sans-serif";" lang="PT-BR">Tak disangka, dasar Batang Hari memendam jenis-jenis batuan semacam itu. Bagi Nana, batu-batu kecil itu merupakan bahan bangunan yang harganya lebih mahal ketimbang pasir. Tiap hari berton-ton kerikil dan kerakal diangkut tongkang-tongkang untuk dipasarkan, sedangkan emas yang didapat hanya sekitar<span style=""> </span>dua hingga tiga gram, itu pun tidak tiap hari.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt; line-height: 150%;"><span style="font-size: 10pt; line-height: 150%; font-family: "Verdana","sans-serif";">Bagi tim arkeologi, kerikil dan kerakal yang ditambang dari dasar sungai merupakan pengetahuan baru tentang adaptasi manusia masa lalu terhadap lingkungan sekitar. Siapa sangka pula, penambangan emas tanpa ijin di Batang Hari telah mempertemukan masa lalu dan masa kini, melalui butir emas, pecahan keramik dan kerikil. <span style=""> </span><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt; line-height: 150%;"><br /><span style="font-size: 10pt; line-height: 150%; font-family: "Verdana","sans-serif";"><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt; line-height: 150%;"><span style="font-size: 10pt; line-height: 150%; font-family: "Verdana","sans-serif";"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt; line-height: 150%;"><!--[if gte vml 1]><v:shapetype id="_x0000_t202" coordsize="21600,21600" spt="202" path="m,l,21600r21600,l21600,xe"> <v:stroke joinstyle="miter"> <v:path gradientshapeok="t" connecttype="rect"> </v:shapetype><v:shape id="_x0000_s1026" type="#_x0000_t202" style="'position:absolute;" strokecolor="white"> <v:textbox style="'mso-next-textbox:#_x0000_s1026'/"> </v:shape><![endif]--><!--[if !vml]--><span style=""> <table align="left" cellpadding="0" cellspacing="0"> <tbody><tr> <td height="329" width="395"><br /></td> </tr> <tr> <td><br /></td> <td style="border: 0.75pt solid white; background: white none repeat scroll 0% 50%; vertical-align: top; -moz-background-clip: -moz-initial; -moz-background-origin: -moz-initial; -moz-background-inline-policy: -moz-initial;" bgcolor="white" height="138" width="114"><!--[endif]--><!--[if !mso]--><span style="position: absolute; left: 0pt; z-index: 1;"></span><!--[endif]--><!--[if !mso & !vml]--> <!--[endif]--><!--[if !vml]--></td> </tr> </tbody></table> </span><!--[endif]--><!--[if gte vml 1]><v:shapetype id="_x0000_t75" coordsize="21600,21600" spt="75" preferrelative="t" path="m@4@5l@4@11@9@11@9@5xe" filled="f" stroked="f"> <v:stroke joinstyle="miter"> <v:formulas> <v:f eqn="if lineDrawn pixelLineWidth 0"> <v:f eqn="sum @0 1 0"> <v:f eqn="sum 0 0 @1"> <v:f eqn="prod @2 1 2"> <v:f eqn="prod @3 21600 pixelWidth"> <v:f eqn="prod @3 21600 pixelHeight"> <v:f eqn="sum @0 0 1"> <v:f eqn="prod @6 1 2"> <v:f eqn="prod @7 21600 pixelWidth"> <v:f eqn="sum @8 21600 0"> <v:f eqn="prod @7 21600 pixelHeight"> <v:f eqn="sum @10 21600 0"> </v:formulas> <v:path extrusionok="f" gradientshapeok="t" connecttype="rect"> <o:lock ext="edit" aspectratio="t"> </v:shapetype><v:shape id="_x0000_s1027" type="#_x0000_t75" style="'position:absolute;" wrapcoords="-53 0 -53 21560 21600 21560 21600 0 -53 0"> <v:imagedata src="file:///C:\DOCUME~1\BALARP~1\LOCALS~1\Temp\msohtmlclip1\01\clip_image001.jpg" title="foto_3"> <w:wrap type="square"> </v:shape><![endif]--><!--[if !vml]--><!--[endif]--><span style="font-size: 10pt; line-height: 150%; font-family: "Verdana","sans-serif";"><o:p></o:p></span></p> <span style="font-size: 10pt; font-family: "Verdana","sans-serif";" lang="PT-BR"><!--[if gte vml 1]><v:shape id="_x0000_i1025" type="#_x0000_t75" style="'width:6in;height:324pt'"> <v:imagedata src="file:///C:\DOCUME~1\BALARP~1\LOCALS~1\Temp\msohtmlclip1\01\clip_image003.jpg" title="foto_4"> </v:shape><![endif]--><!--[if !vml]--><!--[endif]--></span><p class="MsoNormal" style="text-align: left; text-indent: 27pt; line-height: 150%;"><br /><span style="font-size: 10pt; line-height: 150%; font-family: "Verdana","sans-serif";" lang="PT-BR"><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt; line-height: 150%;"><br /><span style="font-size: 10pt; line-height: 150%; font-family: "Verdana","sans-serif";"><span style=""></span><o:p></o:p></span></p>Nurhadi Rangkutihttp://www.blogger.com/profile/05987175295898025688noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6558820035391086789.post-29314547518975127532009-05-12T19:56:00.000-07:002009-05-12T19:58:30.750-07:00CANDI DI RAWA KALIMANTAN<p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: "Calibri","sans-serif";">Tiga anak sungai Barito bertemu di Margasari. Sungai Nagara, Sungai Tapin dan Sungai Bahan. Permukaan airnya<span style=""> </span>dipenuhi oleh<span style=""> </span>eceng gondok yang lalu lalang dibawa arus dan pasang surut. Inilah lokasi kuna yang pernah dikunjungi oleh seorang bangsa Eropa, bernama S. Muller pada abad ke-19 Masehi. Ia melaporkan bahwa di tepi Sungai Nagara terdapat peninggalan Orang Kling beragama Hindu yang berasal dari Coromandel. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;"><span style="font-family: "Calibri","sans-serif";">Tempat pertama yang dikunjungi Muller adalah lokasi yang disebut Batu Babi oleh penduduk pada masa itu. Tidak jauh dari tempat itu<span style=""> </span>terdapat sebuah tempat yang disebut Tanah Tinggi. Lokasi ketiga disebut Candi oleh penduduk setempat. Di tempat itu Muller menemukan<span style=""> </span>sejumlah besar benda bernilai seperti batu mulia, benda-benda dari emas dan manik-manik kaca. Pecahan-pecahan benda logam tersebar di permukaan tanah. Kunjungannya ke daerah berawa itu dipublikasikan dalam <b style=""><i style="">Verhandelingen over de Naturlijke Geschiedens der Nederlandsche Overzeesche Bezittingen door de Leden der Natuurkundige Commissie in Indie en Undere Schrijvers, Lund-en Volkenkunde</i></b>, terbitan tahun 1839-1844. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;"><span style="font-family: "Calibri","sans-serif";">Menurut tradisi lokal, demikian laporan Muller, di tempat itu pernah berdiri bangunan berbentuk kubah dari bata dan di bawahnya terpendam sejumlah guci<span style=""> </span>berisi emas yang sengaja disembunyikan. Penduduk setempat telah menggali tempat itu untuk mencari harta karun tersebut. Muller menyaksikan lubang-lubang galian yang lebarnya 6 sampai 8 meter dengan kedalaman sampai 3 meter. Banyak ditemukan bata-bata yang padat. Di antara reruntuhan struktur bata, Muller menemukan tiang pendek yang terbuat dari jenis batu warna abu-abu, sejenis basal.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;"><span style="font-family: "Calibri","sans-serif";">Rupanya kunjungan Muller ke lokasi itu berdasarkan keterangan dari Naskah <i style="">Hikayat Banjar</i>. Dalam hikayat tersebutlah seorang yang bernama Ampu Jatmika yang berlayar meninggalkan negaranya, Kling, untuk mencari tanah baru yang makmur. Sampai di Borneo, ia menyusuri Sungai Marabahan ke arah hulu sampai ke tempat yang dinamakan Candi Laras. Di daerah baru ini didirikan permukiman penduduk, dan Ampu Jatmika menobatkan diri sebagai raja. Setelah itu ia pergi mencari tanah baru lagi yang terletak lebih ke hulu, yang dinamakan Candi Agung.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: "Calibri","sans-serif";"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><!--[if gte vml 1]><v:shapetype id="_x0000_t75" coordsize="21600,21600" spt="75" preferrelative="t" path="m@4@5l@4@11@9@11@9@5xe" filled="f" stroked="f"> <v:stroke joinstyle="miter"> <v:formulas> <v:f eqn="if lineDrawn pixelLineWidth 0"> <v:f eqn="sum @0 1 0"> <v:f eqn="sum 0 0 @1"> <v:f eqn="prod @2 1 2"> <v:f eqn="prod @3 21600 pixelWidth"> <v:f eqn="prod @3 21600 pixelHeight"> <v:f eqn="sum @0 0 1"> <v:f eqn="prod @6 1 2"> <v:f eqn="prod @7 21600 pixelWidth"> <v:f eqn="sum @8 21600 0"> <v:f eqn="prod @7 21600 pixelHeight"> <v:f eqn="sum @10 21600 0"> </v:formulas> <v:path extrusionok="f" gradientshapeok="t" connecttype="rect"> <o:lock ext="edit" aspectratio="t"> </v:shapetype><v:shape id="_x0000_s1028" type="#_x0000_t75" style="'position:absolute;" wrapcoords="-41 0 -41 21539 21600 21539 21600 0 -41 0"> <v:imagedata src="file:///C:\DOCUME~1\BALARP~1\LOCALS~1\Temp\msohtmlclip1\01\clip_image001.jpg" title="claras3"> <w:wrap type="tight"> </v:shape><![endif]--><!--[if !vml]--><img src="file:///C:/DOCUME%7E1/BALARP%7E1/LOCALS%7E1/Temp/msohtmlclip1/01/clip_image002.jpg" shapes="_x0000_s1028" align="left" height="235" hspace="12" width="348" /><!--[endif]--><span style="font-family: "Calibri","sans-serif";"><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal"><span style="font-family: "Calibri","sans-serif";">Gambar 1. Perjalanan menuju Situs Pematang Bata melalui Sungai Bata<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 1.75in;"><span style="font-family: "Calibri","sans-serif";"><o:p> </o:p></span></p> <h1 style="text-indent: 0in; line-height: normal;"><span style="font-size: 10pt; font-family: "Calibri","sans-serif";"><o:p> </o:p></span></h1> <h1 style="text-indent: 0in; line-height: normal;"><span style="font-size: 10pt; font-family: "Calibri","sans-serif";"><o:p> </o:p></span></h1> <h1 style="text-indent: 0in; line-height: normal;"><span style="font-size: 10pt; font-family: "Calibri","sans-serif";"><o:p> </o:p></span></h1> <h1 style="text-indent: 0in; line-height: normal;"><span style="font-size: 10pt; font-family: "Calibri","sans-serif";"><o:p> </o:p></span></h1> <p class="MsoNormal"><span style="font-family: "Calibri","sans-serif";"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal"><span style="font-family: "Calibri","sans-serif";"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal"><span style="font-family: "Calibri","sans-serif";"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal"><span style="font-family: "Calibri","sans-serif";"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal"><span style="font-family: "Calibri","sans-serif";"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal"><span style="font-family: "Calibri","sans-serif";"><o:p> </o:p></span></p> <h1 style="text-align: left; text-indent: 0in; line-height: normal;" align="left"><span style="font-size: 10pt; font-family: "Calibri","sans-serif";"><o:p> </o:p></span></h1> <p class="MsoNormal"><span style="font-family: "Calibri","sans-serif";"><o:p> </o:p></span></p> <h1 style="text-indent: 0in; line-height: normal;"><span style="font-size: 10pt; font-family: "Calibri","sans-serif";">Situs di atas rawa<o:p></o:p></span></h1> <p class="MsoSubtitle" style="text-indent: 0.5in; line-height: normal;"><span style="font-size: 10pt; font-family: "Calibri","sans-serif";">Lokasi kepurbakalaan yang dikunjungi Muller<span style=""> </span>sebelum tahun 1839 itu, sekarang masuk wilayah Kecamatan Candi Laras Selatan, Kabupaten Tapin, Kalimantan Selatan. Tim peneliti Balai Arkeologi Banjarmasin sejak tahun 1997 secara intensif menyelidiki lokasi hunian kuna yang ditunjukkan Muller. Tanah Tinggi kini disebut Situs Candi Laras yang berada pada posisi koordinat 2</span><span style="font-size: 10pt; font-family: Symbol;"><span style="">°</span></span><span style="font-size: 10pt; font-family: "Calibri","sans-serif";"> 52’22,6”<span style=""> </span>Lintang Selatan<span style=""> </span>dan 114</span><span style="font-size: 10pt; font-family: Symbol;"><span style="">°</span></span><span style="font-size: 10pt; font-family: "Calibri","sans-serif";"> 56’30,7” Bujur Timur. Yang dinamakan Candi dipastikan adalah Situs Pematang Bata yang berada pada posisi<span style=""> </span>koordinat 2</span><span style="font-size: 10pt; font-family: Symbol;"><span style="">°</span></span><span style="font-size: 10pt; font-family: "Calibri","sans-serif";"> 52’13,6” Lintang Selatan, 114</span><span style="font-size: 10pt; font-family: Symbol;"><span style="">°</span></span><span style="font-size: 10pt; font-family: "Calibri","sans-serif";"> 56’48” Bujur Timur.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoSubtitle" style="text-indent: 0.5in; line-height: normal;"><span style="font-size: 10pt; font-family: "Calibri","sans-serif";">Ampu Jatmika memilih lokasi permukiman di daerah rawa Sungai Negara, cabang<span style=""> </span>Sungai Barito yang mengalir di sebelah barat Pegunungan Meratus. Daerah rawa Sungai Negara meliputi luas sekitar 6000 km persegi yang berupa tanah datar dengan ketinggian hanya 3-4 meter di atas permukaan laut. Sebagian besar daerah ini tergenang air, sehingga disebut daerah lahan basah (<i style="">wetland</i>). Vegetasi khas daerah rawa adalah hutan ripauan, hutan rawa yang ditumbuhi pohon galam yang dominan dengan jenis <i style="">Melaluece cajuputi</i>.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: "Calibri","sans-serif";"><span style=""> </span>Lokasi kedua situs terletak di pertemuan Sungai Negara dan Sungai Tapin. Untuk mencapai ke lokasi situs dapat ditempuh dengan jalan kaki atau naik sampan. Jalan kaki sungguh berat karena harus melewati rawa dengan tinggi air sampai selutut. Apabila naik sampan harus menunggu air pasang karena melalui sungai kecil yang dangkal.<span style=""> </span>Di wilayah sekitar situs memang banyak anak sungai yang bermuara ke Sungai Negara dan Sungai Tapin. Situs Candi Laras dan Situs Pematang Bata terletak dekat dengan anak-anak sungai. Bila hendak ke Situs Candi Laras dapat ditempuh melalui Sungai Amas, sedangkan ke Situs Pematang Bata melalui Sungai Bata. Di dekat Sungai Amas, tidak jauh dari Situs Candi Laras terdapat tonggak-tonggak kayu ulin kuna, merupakan sisa bangunan yang berhubungan dengan Situs Candi Laras.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: "Calibri","sans-serif";"><span style=""> </span>Ternyata Ampu Jatmika tidak sembarang memilih tempat. Situs Candi Laras dan Situs Pematang Bata berada pada lahan yang lebih tinggi dari lahan sekitarnya, sehingga tidak terendam air pada saat air pasang.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: "Calibri","sans-serif";"><o:p> </o:p></span></p> <h2 style="line-height: normal;"><!--[if gte vml 1]><v:shape id="_x0000_s1026" type="#_x0000_t75" style="'position:absolute;left:0;text-align:left;"> <v:imagedata src="file:///C:\DOCUME~1\BALARP~1\LOCALS~1\Temp\msohtmlclip1\01\clip_image003.jpg" title="claras01"> <w:wrap type="square"> </v:shape><![endif]--><!--[if !vml]--><img src="file:///C:/DOCUME%7E1/BALARP%7E1/LOCALS%7E1/Temp/msohtmlclip1/01/clip_image004.jpg" shapes="_x0000_s1026" align="left" height="360" hspace="12" width="243" /><!--[endif]--><span style="font-size: 10pt; font-family: "Calibri","sans-serif";">Konstruksi <i style="">kalang-sunduk</i><o:p></o:p></span></h2> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: "Calibri","sans-serif";"><span style=""> </span>Ditilik dari namanya, Candi Laras mustinya bangunan candi dengan konstruksi batu atau bata yang biasa dijumpai pada candi-candi di Jawa.<span style=""> </span>Di tempat ini memang ditemukan bata-bata kuna yang telah remuk terendam air selama berabad-abad. Tetapi yang membingungkan adanya tonggak-tonggak kayu yang<span style=""> </span>menggunakan kayu besi (<i style="">eusidexylon zwageri teijm</i>) yang dikenal dengan nama kayu <i style="">ulin</i>. Sedikitnya ada tujuh tiang kayu yang sebagian menyembul ke permukaan tanah. Tiang terbesar memiliki garis tengah 55 cm, sedangkan tiang terkecil berdiameter 20 cm.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: "Calibri","sans-serif";"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;"><span style="font-family: "Calibri","sans-serif";"><span style=""> </span><span style=""> </span>Penggalian arkeologis menemukan konstruksi pondasi dari kayu ulin. Sebuah kayu ulin sepanjang 14 meter membujur sejajar tanah. Kayu itu diapit oleh dua tonggak kayu ulin yang berukuran lebih kecil. Konstruksi ini dikenal dengan nama <i style="">kalang-sunduk</i> (<i style="">kalang</i> = penahan, <i style="">sunduk</i> = kunci), yaitu konstruksi pondasi rumah panggung yang didirikan di atas rawa atau di atas sungai. Di situs Candi Laras <i style="">kalang-sunduk</i> diletakan di atas tanah yang telah dipadatkan oleh remukan bata untuk memadatkan tanah rawa yang basah.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;"><span style="font-family: "Calibri","sans-serif";"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: "Calibri","sans-serif";"><span style=""> </span>Gambar 2. Tiang utama sisa bangunan kuno Candi Laras dari kayu ulin yang berusia 800 – 1100 tahun.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;"><span style="font-family: "Calibri","sans-serif";"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;"><span style="font-family: "Calibri","sans-serif";"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;"><span style="font-family: "Calibri","sans-serif";"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;"><span style="font-family: "Calibri","sans-serif";"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;"><span style="font-family: "Calibri","sans-serif";"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;"><span style="font-family: "Calibri","sans-serif";"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;"><span style="font-family: "Calibri","sans-serif";"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;"><span style="font-family: "Calibri","sans-serif";"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;"><span style="font-family: "Calibri","sans-serif";"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;"><span style="font-family: "Calibri","sans-serif";"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;"><span style="font-family: "Calibri","sans-serif";"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;"><span style="font-family: "Calibri","sans-serif";"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;"><span style="font-family: "Calibri","sans-serif";"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;"><!--[if gte vml 1]><v:shape id="_x0000_s1027" type="#_x0000_t75" style="'position:absolute;left:0;" wrapcoords="-41 0 -41 21537 21600 21537 21600 0 -41 0"> <v:imagedata src="file:///C:\DOCUME~1\BALARP~1\LOCALS~1\Temp\msohtmlclip1\01\clip_image005.jpg" title="claras02"> <w:wrap type="tight"> </v:shape><![endif]--><!--[if !vml]--><img src="file:///C:/DOCUME%7E1/BALARP%7E1/LOCALS%7E1/Temp/msohtmlclip1/01/clip_image006.jpg" shapes="_x0000_s1027" align="left" height="262" hspace="12" width="401" /><!--[endif]--><span style="font-family: "Calibri","sans-serif";"><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: "Calibri","sans-serif";"><span style=""> </span><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: "Calibri","sans-serif";"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: "Calibri","sans-serif";"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: "Calibri","sans-serif";"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: "Calibri","sans-serif";"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: "Calibri","sans-serif";"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: "Calibri","sans-serif";"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: "Calibri","sans-serif";"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal"><span style="font-family: "Calibri","sans-serif";"><span style=""> </span>Gambar 3.<span style=""> </span><span style=""> </span>Konstruksi kayu kalang-sunduk ditemukan dalam penggalian di Situs Candi Laras.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;"><span style="font-family: "Calibri","sans-serif";"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: "Calibri","sans-serif";"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: "Calibri","sans-serif";"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: "Calibri","sans-serif";">Konstruksi bangunan bertiang kayu yang menggunakan struktur pondasi kalang sunduk, umumnya adalah bangunan rumah tinggal, arsitektur khas daerah Kalimantan Selatan. Apabila bangunan di Situs Candi Laras adalah bangunan tempat tinggal, akan tetapi artefak-artefak yang<span style=""> </span>mencerminkan aktivitas rumah tangga sehari-hari,<span style=""> </span>ditemukan sangat sedikit dibandingkan luas dan besar bangunan. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;"><span style="font-family: "Calibri","sans-serif";">Masa berfungsinya bangunan di Situs Candi Laras tidak diketahui secara pasti. Tim peneliti Balai Arkeologi Banjarmasin mengambil sampel kayu ulin untuk analisis <i style="">radiocarbon dating C-14</i> di Batan Yogyakarta. Hasil analisis laboratoris menunjukkan usia kayu keras itu antara 800 – 1000 tahun yang lalu, atau sekitar awal abad ke-11 sampai abad ke-13 Masehi. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;"><span style="font-family: "Calibri","sans-serif";">Kayu ulin tidak tumbuh di daerah sekitar situs, <span style=""> </span>tentu didatangkan dari luar. Mungkin dari daerah Pegunungan Meratus yang terletak di sebelah timur wilayah Candi Laras. Kebanyakan permukiman penduduk sekarang menggunakan kayu <i style="">gelam</i>, jenis kayu yang banyak terdapat di daerah <i style="">hinterland</i> wilayah Candi Laras.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: "Calibri","sans-serif";"><o:p> </o:p></span></p> <h2 style="line-height: normal;"><span style="font-size: 10pt; font-family: "Calibri","sans-serif";">Pematang Bata<o:p></o:p></span></h2> <p class="MsoBodyText" style="line-height: normal;"><span style="font-size: 10pt; font-family: "Calibri","sans-serif";"><span style=""> </span>Tempat yang bernama Candi yang pernah dikunjungi Muller lebih dari 150 tahun yang lalu merupakan hutan kecil yang ditakuti oleh penduduk sekarang karena angker. Bekas-bekas penggalian harta karun yang disaksikan Muller dulu masih dapat dijumpai berupa gundukan-gundukan tanah dan cekungan-cekungan yang berisi air pada musim hujan. Lubang-lubang galian itu sekarang menjadi kubangan babi yang banyak berkeliaran pada malam hari.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoBodyText" style="text-indent: 0.5in; line-height: normal;"><span style="font-size: 10pt; font-family: "Calibri","sans-serif";"><span style=""> </span>Benda-benda yang ditemukan Muller di tempat ini, sekarang<span style=""> </span>menjadi<span style=""> </span>koleksi Museum<span style=""> </span>Negeri Lambung Mangkurat Propinsi Kalimantan Selatan. Tiang pendek dari batu yang disebutkan dalam laporan Muller adalah lingga semu dengan tinggi 33 cm dan garis tengah 34 cm. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;"><span style="font-family: "Calibri","sans-serif";">Penggalian arkeologis di Situs Pematang pada tahun 1994<span style=""> </span>dilakukan pada gundukan bekas galian penduduk dulu. Hasilnya<span style=""> </span>berupa pecahan-pecahan bata yang tidak tersusun, oleh karena bekas digali penduduk. Penelitian <span style=""> </span>belum memberi petunjuk lebih jauh tentang karakteristik situs, terutama informasi mengenai bentuk bangunan dari bata dan batas-batasnya<span style=""> </span>yang pernah berdiri di Situs Pematang Bata.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;"><span style="font-family: "Calibri","sans-serif";">Pecahan-pecahan besar bata banyak ditemukan dalam penggalian arkeologis tahun 1998.<span style=""> </span>Sebuah bata yang masih utuh berukuran 30,5 cm X 17,5 cm X 5,5 cm,<span style=""> </span>relatif sama dengan bata yang diukur oleh Muller yang mengunjungi tempat itu pada pertengahan abad ke-19. Bata ini dan juga memiliki ukuran yang relatif sama dengan bata-bata candi Jawa Timur khususnya candi-candi masa Majapahit.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;"><span style="font-family: "Calibri","sans-serif";"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: "Calibri","sans-serif";">Jelas, bangunan di Situs Pematang Bata adalah bangunan dengan konstruksi bata yang didirikan di atas tanah. Bata-bata yang ditemukan<span style=""> </span>dalam keadaan pecah dan teraduk dalam posisi silang-siur di kotak-kotak penggalian, menunjukkan bata-bata tersebut telah digali penduduk sewaktu Muller mengunjungi Pematang Bata.<span style=""> </span>Sebaran bata terkonsentrasi pada gundukan-gundukan tanah yang luasnya kurang lebih 1600 meter persegi.<span style=""> </span><span style=""> </span><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 0.5in;"><span style="font-family: "Calibri","sans-serif";">Selain Candi Agung di Amuntai, ternyata Kalimantan Selatan memiliki sebuah candi lagi di Pematang Bata. Sayang bangunan langka itu sekarang jadi kubangan babi. Hanya legendanya yang masih lestari. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-family: "Calibri","sans-serif";"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal"><span style="font-family: "Calibri","sans-serif";"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: center;" align="center"><b style=""><span style="font-family: "Calibri","sans-serif";">DAFTAR PUSTAKA<o:p></o:p></span></b></p> <p class="MsoNormal"><span style="font-family: "Calibri","sans-serif";"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal"><span style="font-family: "Calibri","sans-serif";">Muller, S<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 1in; text-indent: -1in;"><span style="font-family: "Calibri","sans-serif";"><span style=""> </span>1968<span style=""> </span>“Verhandelingen over de Natuurlijke Geshiedenis der Nederlandsche Overzeesche Bezittingen door de Leden der Natuurkundige Commisie in Indie en andere Schrijver (1839-1844)”, dalam J.J. Rass, Hikayat Bandjar, A Study in Malay Historiography, Appendix III. Antiquities of Margasari: 625. S’Gravenhage: N.V. De nederlandsche Boeken Steendrukkerij v/h H.L. Smits<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 1in; text-indent: -1in;"><span style="font-family: "Calibri","sans-serif";">Ras, JJ<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 1in; text-indent: -1in;"><span style="font-family: "Calibri","sans-serif";"><span style=""> </span>1968<span style=""> </span>Hikayat Bandjar, A Study in Malay Historiography. S’Gravenhage: N.V. De nederlandsche Boeken Steendrukkerij v/h H.L. Smits<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 1in; text-indent: -1in;"><span style="font-family: "Calibri","sans-serif";">Titi Surti Nastiti, Nurhadi Rangkuti, Vida Pervaya Rusianti Kusmartono, Harry Widianto,<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 1in; text-indent: -1in;"><span style="font-family: "Calibri","sans-serif";"><span style=""> </span>1998<span style=""> </span>Ekskavasi Situs Candi Laras Kabupaten Tapin, Kalimantan Selatan dalam Berita Penelitian Arkeologi No3. Banjarmasin: Balai Arkeologi<o:p></o:p></span></p>Nurhadi Rangkutihttp://www.blogger.com/profile/05987175295898025688noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6558820035391086789.post-61889558811159390852009-05-12T18:55:00.001-07:002009-05-12T19:02:01.236-07:00ARKEOLOGI LAHAN BASAH DI SUMATERA BAGIAN SELATAN<p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><b style=""><span style="font-size: 10pt; font-family: "Calibri","sans-serif";" lang="IN">1. Latar Belakang<o:p></o:p></span></b></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><b style=""><span style="font-size: 10pt; font-family: "Calibri","sans-serif";" lang="IN"><o:p> </o:p></span></b></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt;"><span style="font-size: 10pt; font-family: "Calibri","sans-serif";" lang="IN">Permukaan bumi merupakan lingkungan hidup manusia, yaitu suatu lingkungan yang mempengaruhi kehidupan manusia <span style=""> </span>dan lingkungan dimana manusia mengubah dan membangunnya (Bintarto dan Surastopo 1987). Permukaan bumi sebagai tempat tinggal manusia<span style=""> </span>digolong-golongkan menjadi wilayah-wilayah alamiah berdasarkan bentang alamnya, misalnya daerah pegunungan, perbukitan, lembah, dataran rendah dan pantai.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt;"><span style="font-size: 10pt; font-family: "Calibri","sans-serif";" lang="IN">Sebagaimana wilayah alami yang lain, <span style=""> </span>wilayah lahan basah (<i style="">wetland</i>) yang alami juga menjadi tempat tinggal manusia sejak masa lampau sampai sekarang. Daerah lahan basah mencakup banyak macam bentuk semuanya disatukan oleh ciri-ciri sebagai berikut. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin: 0in 0.5in 0.0001pt 26.95pt; text-align: justify;"><i style=""><span style="font-size: 10pt; font-family: "Calibri","sans-serif";" lang="IN">Lahan berair tetap atau berkala, airnya ladung (stagnant) atau mengalir yang bersifat tawar, payau atau asin, merupakan habitat pedalaman, pantai atau marin, dan terbentuk secara alami atau buatan. Kategori-kategori lahan basah yang alami<span style=""> </span>di Indonesia yang utama ialah lebak, bonowo, danau air tawar, rawa pasang surut air tawar dan air payau, hutan rawa, lahan gambut, dataran banjir, pantai terbuka,<span style=""> </span>estuari, hutan mangrove dan hamparan lumpur lepas pantai (mud flat). Kategori-kategori lahan basah buatan yang utama di Indonesia ialah waduk, sawah, perkolaman air tawar dan tambak</span></i><span style="font-size: 10pt; font-family: "Calibri","sans-serif";" lang="IN"> (Notohadiprawiro; 2006:1).<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-right: 17.85pt; text-align: justify; text-indent: 26.95pt;"><span style="font-size: 10pt; font-family: "Calibri","sans-serif";" lang="IN"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt;"><span style="font-size: 10pt; font-family: "Calibri","sans-serif";" lang="IN">Lahan basah di Pulau Sumatera sebagian besar terdiri dari perairan rawa air tawar dan gambut dan hutan mangrove (bakau). Persebaran lahan basah tersebut sebagian besar terdapat di daerah pantai timur, sebagian kecil di pantai barat. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 10pt; font-family: "Calibri","sans-serif";" lang="IN"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt;"><span style="font-size: 10pt; font-family: "Calibri","sans-serif";" lang="IN">Pada awalnya penelitian arkeologi di daerah lahan basah Sumatera Bagian Selatan bertujuan untuk mencari lokasi pusat-pusat peradaban zaman Sriwijaya dan kerajaan-kerajaan masa sebelumnya. Daerah lahan basah di Sumatera sebagian besar terdapat di pantai timur. </span><span style="font-size: 10pt; font-family: "Calibri","sans-serif"; color: rgb(0, 0, 10);" lang="IN">Menurut Obdeyn (1942 dalam Sartono 1978), seorang geolog, daerah pantai timur Sumatera masih berupa laut pada permulaan tarikh Masehi. Pada masa sekarang daerah itu berupa rawa-rawa yang tersebar sampai jarak 80 – 100 km dari garis pantai sekarang. Menurut Verstappen (1956 dalam Ulrich Scholz 1986) daerah berawa-rawa itu seluruhnya merupakan tanah dataran baru yang berbatasan dengan laut Jawa di bagian timur. “Daerah kontinental” ini berdampingan dengan Pulau Bangka dan Belitung di timur Sumatera. S. Sartono (1978), seorang geolog, menyatakan faktor penentu terjadinyadataran baru itu antara lain karena faktor sedimentasi sungai, sedimentasi marin, undak-undak pantai, vegetasi<i style=""> rhizofora</i> berupa hutan bakau yang kemudian mati dan bertumpuk di rawa sehingga menjadi gambut (<i style="">peat</i>).<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt;"><span style="font-size: 10pt; font-family: "Calibri","sans-serif"; color: rgb(0, 0, 10);" lang="IN"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt;"><span style="font-size: 10pt; font-family: "Calibri","sans-serif"; color: rgb(0, 0, 10);" lang="IN">Hasil penelitian arkeologi yang mutakhir menunjukkan bahwa pada daerah rawa-rawa yang dulunya adalah laut, ditemukan situs-situs “pra-Sriwijaya” atau “proto-Sriwijaya” dari abad IV-V Masehi, masa Sriwijaya di Sumatera (abad VII –XIII Masehi) sampai masa pasca Sriwijaya . Sejumlah situs masa Sriwijaya ditafsirkan pula sebagai situs-situs Kerajaan Melayu Kuna, terutama situs-situs yang terdapat di wilayah Jambi, oleh karena Sriwijaya dan Melayu Kuno memiliki kurun waktu yang hampir bersamaan.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt;"><span style="font-size: 10pt; font-family: "Calibri","sans-serif"; color: rgb(0, 0, 10);" lang="IN"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt;"><span style="font-size: 10pt; font-family: "Calibri","sans-serif"; color: rgb(0, 0, 10);" lang="IN"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt;"><!--[if gte vml 1]><v:shapetype id="_x0000_t202" coordsize="21600,21600" spt="202" path="m,l,21600r21600,l21600,xe"> <v:stroke joinstyle="miter"> <v:path gradientshapeok="t" connecttype="rect"> </v:shapetype><v:shape id="_x0000_s1034" type="#_x0000_t202" style="'position:absolute;"> <v:textbox style="'mso-fit-shape-to-text:t'"> <![if !mso]> <table cellpadding="0" cellspacing="0" width="100%"> <tr> <td><![endif]> <div> <p class="MsoNormal" style="'text-align:justify;text-indent:27.0pt'"><span lang="IN" style="'font-size:10.0pt;font-family:"><v:shapetype id="_x0000_t75" coordsize="21600,21600" spt="75" preferrelative="t" path="m@4@5l@4@11@9@11@9@5xe" filled="f" stroked="f"> <v:stroke joinstyle="miter"> <v:formulas> <v:f eqn="if lineDrawn pixelLineWidth 0"> <v:f eqn="sum @0 1 0"> <v:f eqn="sum 0 0 @1"> <v:f eqn="prod @2 1 2"> <v:f eqn="prod @3 21600 pixelWidth"> <v:f eqn="prod @3 21600 pixelHeight"> <v:f eqn="sum @0 0 1"> <v:f eqn="prod @6 1 2"> <v:f eqn="prod @7 21600 pixelWidth"> <v:f eqn="sum @8 21600 0"> <v:f eqn="prod @7 21600 pixelHeight"> <v:f eqn="sum @10 21600 0"> </v:formulas> <v:path extrusionok="f" gradientshapeok="t" connecttype="rect"> <o:lock ext="edit" aspectratio="t"> </v:shapetype><v:shape id="_x0000_i1026" type="#_x0000_t75" style="'width:291.75pt;"> <v:imagedata src="file:///C:\DOCUME~1\BALARP~1\LOCALS~1\Temp\msohtmlclip1\01\clip_image001.jpg" title="sumatera%20copy"> </v:shape><o:p></o:p></span></p> </div> <![if !mso]></td> </tr> </table> <![endif]></v:textbox> <w:wrap type="square"> </v:shape><![endif]--><!--[if !vml]--><img src="file:///C:/DOCUME%7E1/BALARP%7E1/LOCALS%7E1/Temp/msohtmlclip1/01/clip_image002.gif" alt="Text Box: " shapes="_x0000_s1034" align="left" height="488" hspace="12" width="451" /><!--[endif]--><span style="font-size: 10pt; font-family: "Calibri","sans-serif"; color: rgb(0, 0, 10);" lang="IN"><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt;"><span style="font-size: 10pt; font-family: "Calibri","sans-serif"; color: rgb(0, 0, 10);" lang="IN"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt;"><span style="font-size: 10pt; font-family: "Calibri","sans-serif"; color: rgb(0, 0, 10);" lang="IN"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt;"><span style="font-size: 10pt; font-family: "Calibri","sans-serif"; color: rgb(0, 0, 10);" lang="IN"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt;"><span style="font-size: 10pt; font-family: "Calibri","sans-serif"; color: rgb(0, 0, 10);" lang="IN"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt;"><span style="font-size: 10pt; font-family: "Calibri","sans-serif"; color: rgb(0, 0, 10);" lang="IN"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt;"><span style="font-size: 10pt; font-family: "Calibri","sans-serif"; color: rgb(0, 0, 10);" lang="IN"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt;"><span style="font-size: 10pt; font-family: "Calibri","sans-serif"; color: rgb(0, 0, 10);" lang="IN"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt;"><span style="font-size: 10pt; font-family: "Calibri","sans-serif"; color: rgb(0, 0, 10);" lang="IN"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt;"><span style="font-size: 10pt; font-family: "Calibri","sans-serif"; color: rgb(0, 0, 10);" lang="IN"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt;"><span style="font-size: 10pt; font-family: "Calibri","sans-serif"; color: rgb(0, 0, 10);" lang="IN"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt;"><span style="font-size: 10pt; font-family: "Calibri","sans-serif"; color: rgb(0, 0, 10);" lang="IN"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt;"><span style="font-size: 10pt; font-family: "Calibri","sans-serif"; color: rgb(0, 0, 10);" lang="IN"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt;"><span style="font-size: 10pt; font-family: "Calibri","sans-serif"; color: rgb(0, 0, 10);" lang="IN"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt;"><span style="font-size: 10pt; font-family: "Calibri","sans-serif"; color: rgb(0, 0, 10);" lang="IN"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt;"><span style="font-size: 10pt; font-family: "Calibri","sans-serif"; color: rgb(0, 0, 10);" lang="IN"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt;"><span style="font-size: 10pt; font-family: "Calibri","sans-serif"; color: rgb(0, 0, 10);" lang="IN"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt;"><span style="font-size: 10pt; font-family: "Calibri","sans-serif"; color: rgb(0, 0, 10);" lang="IN"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt;"><span style="font-size: 10pt; font-family: "Calibri","sans-serif"; color: rgb(0, 0, 10);" lang="IN"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt;"><span style="font-size: 10pt; font-family: "Calibri","sans-serif"; color: rgb(0, 0, 10);" lang="IN"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt;"><span style="font-size: 10pt; font-family: "Calibri","sans-serif"; color: rgb(0, 0, 10);" lang="IN"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt;"><span style="font-size: 10pt; font-family: "Calibri","sans-serif"; color: rgb(0, 0, 10);" lang="IN"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt;"><span style="font-size: 10pt; font-family: "Calibri","sans-serif"; color: rgb(0, 0, 10);" lang="IN"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt;"><span style="font-size: 10pt; font-family: "Calibri","sans-serif"; color: rgb(0, 0, 10);" lang="IN"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt;"><span style="font-size: 10pt; font-family: "Calibri","sans-serif"; color: rgb(0, 0, 10);" lang="IN"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt;"><span style="font-size: 10pt; font-family: "Calibri","sans-serif"; color: rgb(0, 0, 10);" lang="IN"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt;"><span style="font-size: 10pt; font-family: "Calibri","sans-serif"; color: rgb(0, 0, 10);" lang="IN"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt;"><span style="font-size: 10pt; font-family: "Calibri","sans-serif"; color: rgb(0, 0, 10);" lang="IN"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt;"><span style="font-size: 10pt; font-family: "Calibri","sans-serif"; color: rgb(0, 0, 10);" lang="IN"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><!--[if gte vml 1]><v:shape id="_x0000_s1033" type="#_x0000_t202" style="'position:absolute;left:0;text-align:left;" strokecolor="white"> <v:textbox> <![if !mso]> <table cellpadding="0" cellspacing="0" width="100%"> <tr> <td><![endif]> <div> <p class="MsoNormal" style="'text-align:justify;text-indent:27.0pt'"><b style="'mso-bidi-font-weight:normal'"><span lang="IN" style="'font-size:9.0pt;">Peta 1</span></b><span lang="IN" style="'font-size:9.0pt;font-family:">. Lahan basah di Sumatera (Sumber:<span style="'mso-spacerun:yes'"> </span>Bakosurtanal 1990 dengan perubahan)<o:p></o:p></span></p> </div> <![if !mso]></td> </tr> </table> <![endif]></v:textbox> <w:wrap type="square"> </v:shape><![endif]--><!--[if !vml]--><img src="file:///C:/DOCUME%7E1/BALARP%7E1/LOCALS%7E1/Temp/msohtmlclip1/01/clip_image003.gif" alt="Text Box: Peta 1. Lahan basah di Sumatera (Sumber: Bakosurtanal 1990 dengan perubahan)" shapes="_x0000_s1033" align="left" height="42" hspace="12" width="558" /><!--[endif]--><span style="font-size: 10pt; font-family: "Calibri","sans-serif"; color: rgb(0, 0, 10);" lang="IN"><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt;"><span style="font-size: 10pt; font-family: "Calibri","sans-serif";" lang="IN"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 10pt; font-family: "Calibri","sans-serif";" lang="IN"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt;"><span style="font-size: 10pt; font-family: "Calibri","sans-serif";" lang="IN">Perkembangan selanjutnya penelitian arkeologi di daerah lahan basah dikaitkan dengan kehidupan masyarakat masa lalu yang tinggal di daerah lahan basah yang meliputi berbagai ekosistem. “Arkeologi lahan basah” atau “<i style="">wetland archaeology</i>”<span style=""> </span>adalah studi interaksi antara manusia masa lalu dan lingkungan lahan basah. Dari studi ini dapat diperoleh pengetahuan tentang cara-cara manusia masa lalu menyesuaikan diri dengan lingkungan lahan basah serta kearifan mereka dalam mengelola lingkungan hidupnya itu. Studi arkelogi lahan basah juga berupaya mengungkapkan budaya bahari masa lalu, mengingat daerah lahan basah di pantai timur Sumatera memiliki akses ke laut dan ke pedalaman dengan menggunakan transportasi air, yaitu perahu.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt;"><span style="font-size: 10pt; font-family: "Calibri","sans-serif"; color: rgb(0, 0, 10);" lang="IN"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt;"><!--[if gte vml 1]><v:shape id="_x0000_i1025" type="#_x0000_t75" style="'width:415.5pt;height:280.5pt'" wrapcoords="-39 0 -39 21542 21600 21542 21600 0 -39 0"> <v:imagedata src="file:///C:\DOCUME~1\BALARP~1\LOCALS~1\Temp\msohtmlclip1\01\clip_image004.jpg" title="wetland_08"> </v:shape><![endif]--><!--[if !vml]--><img src="file:///C:/DOCUME%7E1/BALARP%7E1/LOCALS%7E1/Temp/msohtmlclip1/01/clip_image005.jpg" shapes="_x0000_i1025" height="374" width="554" /><!--[endif]--><span style="font-size: 10pt; font-family: "Calibri","sans-serif"; color: rgb(0, 0, 10);" lang="IN"><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt;"><!--[if gte vml 1]><v:shape id="_x0000_s1026" type="#_x0000_t202" style="'position:absolute;left:0;" wrapcoords="-39 -450 -39 21150 21639 21150 21639 -450 -39 -450" strokecolor="white"> <v:textbox> <![if !mso]> <table cellpadding="0" cellspacing="0" width="100%"> <tr> <td><![endif]> <div> <p class="MsoNormal" align="center" style="'text-align:center'"><b style="'mso-bidi-font-weight:normal'"><span lang="IN" style="'font-size:8.0pt;">Peta 2.<o:p></o:p></span></b></p> <p class="MsoNormal" align="center" style="'text-align:center'"><span lang="IN" style="'font-size:8.0pt;font-family:">Persebaran situs-situs arkeologi di <span style="'mso-spacerun:yes'"> </span>daerah lahan basah pantai timur Jambi-Palembang (Sumber: Balai Arkeologi Palembang 2008)<o:p></o:p></span></p> </div> <![if !mso]></td> </tr> </table> <![endif]></v:textbox> <w:wrap type="tight"> </v:shape><![endif]--><!--[if !vml]--><img src="file:///C:/DOCUME%7E1/BALARP%7E1/LOCALS%7E1/Temp/msohtmlclip1/01/clip_image006.gif" alt="Text Box: Peta 2. Persebaran situs-situs arkeologi di daerah lahan basah pantai timur Jambi-Palembang (Sumber: Balai Arkeologi Palembang 2008)" shapes="_x0000_s1026" align="left" height="54" hspace="12" width="558" /><!--[endif]--><span style="font-size: 10pt; font-family: "Calibri","sans-serif"; color: rgb(0, 0, 10);" lang="IN"><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt;"><span style="font-size: 10pt; font-family: "Calibri","sans-serif"; color: rgb(0, 0, 10);" lang="IN"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt;"><span style="font-size: 10pt; font-family: "Calibri","sans-serif"; color: rgb(0, 0, 10);" lang="IN"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 10pt; font-family: "Calibri","sans-serif";" lang="IN"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><b style=""><span style="font-size: 10pt; font-family: "Calibri","sans-serif";" lang="IN"><o:p> </o:p></span></b></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><b style=""><span style="font-size: 10pt; font-family: "Calibri","sans-serif";" lang="IN">2. Situs Tempayan Kubur dan Garis Pantai Purba<o:p></o:p></span></b></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt;"><span style="font-size: 10pt; font-family: "Calibri","sans-serif"; color: rgb(0, 0, 10);" lang="IN">Obdeyn membuat peta rekonstruksi pantai purba di wilayah Jambi dan Palembang- Sumatera Selatan. Menurutnya sedikit ada dua garis pantai purba yang terletak lebih ke pedalaman dari garis pantai sekarang. Garis pantai purba yang pertama berbatasan dengan Bukit Barisan yang merupakan dataran tinggi atau rendah. Bagian-bagian tertentu dari daratan tersebut menjorok jauh ke lautan merupakan tanjung, pulau, tempat dangkal. Tanjung-tanjung tersebut di antaranya Pegunungan Tiga Puluh dengan Bukit Tutuhan dan Bukit Sirih serta Bukit Bakar, Bukit Dua Belas, Bukit Ketawah, Tanjung Jambi, Tanjung Jabung yang semuanya di Provinsi Jambi, serta Bukit Siguntang di Palembang (Sartono 1978). Garis pantai purba yang kedua lebih dekat dengan garis pantai sekarang.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt;"><span style="font-size: 10pt; font-family: "Calibri","sans-serif";" lang="IN">Penelitian arkeologi di Situs Lebakbandung, Provinsi Jambi dan Situs Sentang di Provinsi Sumatera Selatan, menghasilkan data tentang kehidupan prasejarah di pantai timur Sumatera. </span><span style="font-size: 10pt; font-family: "Calibri","sans-serif"; color: rgb(0, 0, 10);" lang="IN">Kedua situs tersebut terletak pada garis batas antara daratan dan lahan basah berupa rawa lebak dan dikaitkan dengan peta Obdeyn berada pada garis pantai purba. Pada kedua situs itu ditemukan tempayan-tempayan kubur dan bekal kubur. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt;"><span style="font-size: 10pt; font-family: "Calibri","sans-serif";" lang="IN">Pada bulan April 2008 tim Balai Arkeologi Palembang melaksanakan penggalian arkeologis di Situs Sentang yang terletak di Dusun Sentang, Desa Muara Medak, Kecamatan Bayung Lincir, Kabupaten Musi Banyuasin, Provinsi Sumatera Selatan. Situs Sentang<span style=""> </span>tampak seperti “lidah tanah” yang dikelilingi rawa lebak dari limpasan banjir Sungai Medak, Sungai Sentang dan Sungai Putot. Sungai-sungai itu merupakan bagian dari Daerah Aliran Sungai Lalan. </span><span style="font-size: 10pt; font-family: "Calibri","sans-serif"; color: rgb(0, 0, 10);" lang="IN">Rawa-rawa yang terdapat di DAS Lalan terdiri dari dua jenis rawa yaitu rawa pasang surut (<i style="">tidal swamp</i>) di daerah hilir mendekati pantai dan rawa lebak (<i style="">backswamp</i>) di bagian hulu Sungai Lalan. Situs Sentang berada pada jarak lurus sekitar 85 km dari garis pantai terdekat. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt;"><span style="font-size: 10pt; font-family: "Calibri","sans-serif"; color: rgb(0, 0, 10);" lang="IN"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt;"><span style="font-size: 10pt; font-family: "Calibri","sans-serif"; color: rgb(0, 0, 10);" lang="IN">Penggalian arkeologis (ekskavasi) dilakukan di belakang rumah-rumah penduduk. </span><span style="font-size: 10pt; font-family: "Calibri","sans-serif";" lang="IN">Pada kedalaman sekitar 100 cm dari permukaan tanah<span style=""> </span>ditemukan pecahan tepian<span style=""> </span>periuk retak. Setelah ditelusuri dijumpai tempayan-tempayan<span style=""> </span>yang berasosiasi dengan beberapa periuk kecil. Sebilah mata tombak dari besi penuh karat ditemukan tertancap ke tanah di samping tempayan.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 10pt; font-family: "Calibri","sans-serif";" lang="IN"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt;"><span style="font-size: 10pt; font-family: "Calibri","sans-serif"; color: rgb(0, 0, 10);" lang="IN">Penggalian kotak <span style=""> </span>berukuran 2 X 2 meter itu menemukan dua tempayan ganda (<i style="">double jar burial</i>) dan satu tempayan tunggal pada lapisan pasir geluhan kedalaman mulai 150 cm sampai 250 cm dari permukaan tanah . Dimaksud tempayan ganda adalah tempayan yang mulutnya ditutup oleh tempayan pula di atasnya. Dalam tempayan yang dipenuhi tanah<span style=""> </span>ditemukan sisa-sisa tulang manusia dan manik-manik dari kaca. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt;"><!--[if gte vml 1]><v:shape id="_x0000_s1035" type="#_x0000_t75" style="'position:absolute;left:0;" wrapcoords="-61 0 -61 21536 21600 21536 21600 0 -61 0"> <v:imagedata src="file:///C:\DOCUME~1\BALARP~1\LOCALS~1\Temp\msohtmlclip1\01\clip_image007.jpg" title="Resize%20of%20pantaipurba"> <w:wrap type="tight"> </v:shape><![endif]--><!--[if !vml]--><img src="file:///C:/DOCUME%7E1/BALARP%7E1/LOCALS%7E1/Temp/msohtmlclip1/01/clip_image008.jpg" shapes="_x0000_s1035" align="left" height="338" hspace="12" width="356" /><!--[endif]--><span style="font-size: 10pt; font-family: "Calibri","sans-serif"; color: rgb(0, 0, 10);" lang="IN">Tempayan kubur serupa ditemukan sebelumnya di Situs Lebak Bandung, Kelurahan Jelutung, Kota Jambi dalam penggalian tahun 1997-1998 oleh Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Jambi. Lokasi situs berjarak lurus sekitar 80 km dari garis pantai terdekat. Selain tempayan kubur ditemukan pula bekal kubur berupa periuk-periuk tanah liat dan mata tombak dari besi dan manik-manik kaca pada lapisan tanah bertekstur pasir geluhan. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt;"><!--[if gte vml 1]><v:shape id="_x0000_s1027" type="#_x0000_t202" style="'position:absolute;left:0;" wrapcoords="-65 -450 -65 21150 21665 21150 21665 -450 -65 -450" strokecolor="white"> <v:textbox style="'mso-next-textbox:#_x0000_s1027'"> <![if !mso]> <table cellpadding="0" cellspacing="0" width="100%"> <tr> <td><![endif]> <div> <p class="MsoNormal" align="center" style="'text-align:center'"><b style="'mso-bidi-font-weight:normal'"><span lang="IN" style="'font-size:8.0pt;">Peta 3.<o:p></o:p></span></b></p> <p class="MsoNormal" align="center" style="'text-align:center'"><span lang="IN" style="'font-size:8.0pt;font-family:">Peta Pantai Purba Jambi-Palembang (Obdeyn 1942).<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal"><o:p> </o:p></p> </div> <![if !mso]></td> </tr> </table> <![endif]></v:textbox> <w:wrap type="tight"> </v:shape><![endif]--><!--[if !vml]--><img src="file:///C:/DOCUME%7E1/BALARP%7E1/LOCALS%7E1/Temp/msohtmlclip1/01/clip_image009.gif" alt="Text Box: Peta 3. Peta Pantai Purba Jambi-Palembang (Obdeyn 1942)." shapes="_x0000_s1027" align="left" height="54" hspace="12" width="348" /><!--[endif]--><span style="font-size: 10pt; font-family: "Calibri","sans-serif"; color: rgb(0, 0, 10);" lang="IN">Tempayan kubur dikenal sebagai budaya prasejarah. Para arkeolog mengenal dua jenis penguburan masa prasejarah yaitu penguburan primer dan penguburan sekunder. Penguburan primer merupakan penguburan langsung dan biasanya jasad dikelilingi oleh benda–benda miliknya sebagai bekal kubur. Tempayan kubur merupakan penguburan sekunder.<span style=""> </span>Tulang-tulang dan rangka manusia yang telah dikubur dimasukan ke dalam wadah berupaya tempayan atau guci. Wadah kemudian dikubur bersama bekal kubur.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt;"><span style="font-size: 10pt; font-family: "Calibri","sans-serif"; color: rgb(0, 0, 10);" lang="IN">Ditemukannya dua situs yang memiliki ciri-ciri prasejarah menarik perhatian untuk dikaji lebih lanjut. Apalagi lokasi kedua situs berada pada daerah perbatasan antara daratan dan daerah rawa-rawa. Menilik peta Obdeyn lokasi itu merupakan garis pantai purba. <span style=""> </span>Sampai sejauh ini belum diketahui secara pasti sejak kapan pantai purba itu terjadi. <span style=""> </span>Hasil penelitian gambut (<i style="">pea</i>t) di Pakbiban Beyuku, Kecamatan Air Sugihan di Kabupaten Ogan Komering Ilir, <span style=""> </span>pantai timur Sumatera Selatan (Wijaya 2006) mungkin dapat memberi petunjuk tentang kurun waktu pantai purba. </span><span style="font-size: 10pt; font-family: "Calibri","sans-serif";" lang="IN">Endapan gambut di Sumatera Selatan dapat diklasifikasikan sebagai " <i style="">low land pea</i>t" (gambut dataran rendah) yang umumnya menempati bagian pantai (<i style="">coastal peat</i>). Terbentuknya akumulasi endapan gambut yang mencapai <u>+</u> 4,3 mm/th dapat dianalogikan dengan gambut Siak-Riau, yang berdasarkan pentarikan C-14 (<i style="">carbon dating</i>) berumur absolut sekitar 4700-5220 <u>+</u> 200 tahun yang lalu (Diemont dan Supardi 1987 dalam Wijaya 2006). </span><span style="font-size: 10pt; font-family: "Calibri","sans-serif"; color: rgb(0, 0, 10);" lang="IN"><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt;"><span style="font-size: 10pt; font-family: "Calibri","sans-serif"; color: rgb(0, 0, 10);" lang="IN">Berdasarkan umur endapan gambut diperkirakan garis pantai purba terbentuk sebelum 4000-5000 tahun yang lalu. Pada masa itu daerah rawa dan endapan gambut masih berupa laut.<span style=""> </span>Dikaitkan dengan situs-situs tempayan kubur<span style=""> </span>di Lebakbandung (Jambi) dan Sentang (Sumatera Selatan), kemungkinan kegiatan penguburan masa prasejarah berlangsung di daerah pantai pada masa itu. Sebagaimana diketahui situs-situs kubur masa prasejarah banyak ditemukan di daerah pantai seperti situs kubur di Plawangan (Kabupaten Rembang, Jawa Tengah) dan pantai Gilimanuk (Bali).<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt;"><span style="font-size: 10pt; font-family: "Calibri","sans-serif"; color: rgb(0, 0, 10);" lang="IN">Apabila umur situs tempayan kubur di Lebakbandung dan Sentang yang diperkirakan sebelum 4000-5000 tahun yang lalu dapat diterima, maka daerah pantai timur Sumatera merupakan salah satu lokasi awal hunian masyarakat prasejarah zaman neolitik yang kemudian berkembang ke pedalaman di dataran tinggi.<span style=""> </span>Serangkaian penelitian arkeologi di dataran tinggi Jambi yaitu di Merangin dan Kerinci serta di dataran tinggi Pasemah dan Lahat (Sumatera Selatan) banyak menemukan situs-situs tempayan kubur dan peninggalan megalitik lainnya. Untuk mengetahui secara pasti memang perlu analisis pentarikhan C-14 pada temuan-temuan di Situs Sentang dan Situs Lebakbandung.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt;"><!--[if gte vml 1]><v:shape id="_x0000_s1028" type="#_x0000_t75" style="'position:absolute;left:0;" wrapcoords="-114 0 -114 21525 21600 21525 21600 0 -114 0"> <v:imagedata src="file:///C:\DOCUME~1\BALARP~1\LOCALS~1\Temp\msohtmlclip1\01\clip_image010.jpg" title="Resize%20of%20DSC_1668"> <w:wrap type="tight"> </v:shape><![endif]--><!--[if !vml]--><img src="file:///C:/DOCUME%7E1/BALARP%7E1/LOCALS%7E1/Temp/msohtmlclip1/01/clip_image011.jpg" shapes="_x0000_s1028" align="left" height="237" hspace="12" width="157" /><!--[endif]--><!--[if gte vml 1]><v:shape id="_x0000_s1029" type="#_x0000_t202" style="'position:absolute;left:0;" wrapcoords="-72 -600 -72 21000 21672 21000 21672 -600 -72 -600" strokecolor="white"> <v:textbox style="'mso-next-textbox:#_x0000_s1029'"> <![if !mso]> <table cellpadding="0" cellspacing="0" width="100%"> <tr> <td><![endif]> <div> <p class="MsoNormal"><b style="'mso-bidi-font-weight:normal'"><span lang="IN" style="'font-size:8.0pt;font-family:">Foto 1.<o:p></o:p></span></b></p> <p class="MsoNormal"><span lang="IN" style="'font-size:8.0pt;font-family:">Tempayan kubur dan bekal kubur dari Situs Sentang<o:p></o:p></span></p> </div> <![if !mso]></td> </tr> </table> <![endif]></v:textbox> <w:wrap type="tight"> </v:shape><![endif]--><!--[if !vml]--><img src="file:///C:/DOCUME%7E1/BALARP%7E1/LOCALS%7E1/Temp/msohtmlclip1/01/clip_image012.gif" alt="Text Box: Foto 1. Tempayan kubur dan bekal kubur dari Situs Sentang" shapes="_x0000_s1029" align="left" height="42" hspace="12" width="313" /><!--[endif]--><!--[if gte vml 1]><v:shape id="_x0000_s1032" type="#_x0000_t75" style="'position:absolute;left:0;text-align:left;" wrapcoords="-73 0 -73 21503 21600 21503 21600 0 -73 0"> <v:imagedata src="file:///C:\DOCUME~1\BALARP~1\LOCALS~1\Temp\msohtmlclip1\01\clip_image013.jpg" title="DSCN8600"> <w:wrap type="tight"> </v:shape><![endif]--><!--[if !vml]--><img src="file:///C:/DOCUME%7E1/BALARP%7E1/LOCALS%7E1/Temp/msohtmlclip1/01/clip_image014.jpg" shapes="_x0000_s1032" align="left" height="222" hspace="12" width="296" /><!--[endif]--><span style="font-size: 10pt; font-family: "Calibri","sans-serif"; color: rgb(0, 0, 10);" lang="IN">Benda-benda bekal kubur di Situs Sentang banyak dimiliki penduduk yang melakukan penggalian liar pada tahun 1980-an. Pada umumnya koleksi penduduk berupa tembikar berbentuk periuk dengan hiasan jala di badannya. Sebuah temuan yang dimiliki penduduk berbentuk kendi memerlukan analisis lebih lanjut. </span><span style="font-size: 10pt; font-family: "Calibri","sans-serif";" lang="IN">Kendi </span><span style="font-size: 10pt; font-family: "Calibri","sans-serif"; color: rgb(0, 0, 10);" lang="IN">berukuran tinggi 28 cm, diameter badan 20 cm dan diameter mulut 3,5 cm. Bagian leher kendi terdapat hiasan berupa kelopak bunga.<span style=""> </span>Kendi dibuat dari bahan batuan (<i style="">stoneware)</i> warna merah muda yang terlihat di bagian dasar. Secara umum terlihat keramik tersebut berglasir, tetapi sudah aus. Warna glasir coklat kekuningan dengan teknik celup. Berdasarkan jenis bahan dan warna serta glasirnya diperkirakan kendi itu berasal dari China dari masa Dinasti Han (3 SM – 3 M).<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt;"><!--[if gte vml 1]><v:shape id="_x0000_s1030" type="#_x0000_t202" style="'position:absolute;left:0;" wrapcoords="-129 -514 -129 21086 21729 21086 21729 -514 -129 -514" strokecolor="white"> <v:textbox style="'mso-next-textbox:#_x0000_s1030'"> <![if !mso]> <table cellpadding="0" cellspacing="0" width="100%"> <tr> <td><![endif]> <div> <p class="MsoNormal" align="right" style="'text-align:right'"><b style="'mso-bidi-font-weight:normal'"><span lang="IN" style="'font-size:8.0pt;">Foto 2.<o:p></o:p></span></b></p> <p class="MsoNormal" align="right" style="'text-align:right'"><span lang="IN" style="'font-size:8.0pt;font-family:">Kendi dari Situs Sentang.</span><span lang="IN" style="'font-size:8.0pt;font-family:"><o:p></o:p></span></p> </div> <![if !mso]></td> </tr> </table> <![endif]></v:textbox> <w:wrap type="tight"> </v:shape><![endif]--><!--[if !vml]--><img src="file:///C:/DOCUME%7E1/BALARP%7E1/LOCALS%7E1/Temp/msohtmlclip1/01/clip_image015.gif" alt="Text Box: Foto 2. Kendi dari Situs Sentang." shapes="_x0000_s1030" align="left" height="48" hspace="12" width="174" /><!--[endif]--><span style="font-size: 10pt; font-family: "Calibri","sans-serif"; color: rgb(0, 0, 10);" lang="IN">Kendi itu perlu diidentifikasi ulang oleh beberapa ahli keramik untuk memastikan asal dan masanya. Walaupun demikian dapat disimpulkan bahwa kendi tersebut berasal dari luar. Apabila kendi itu berasal dari China masa Dinasti Han, dapat diajukan hipotesis bahwa Situs Sentang merupakan salah satu situs masa “proto Sriwijaya” atau “pra-Sriwijaya”. Pada masa tersebut diperkirakan bentang alam tidak jauh berbeda dengan kondisi sekarang, yaitu dataran yang dikelilingi oleh rawa-rawa lebak. Sungai Medak yang berhubungan dengan Sungai Lalan menjadi jalur transportasi dari hulu ke hilir.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 10pt; font-family: "Calibri","sans-serif";" lang="IN"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><b style=""><span style="font-size: 10pt; font-family: "Calibri","sans-serif";" lang="IN">3. Situs-situs masa “proto-Sriwijaya”<o:p></o:p></span></b></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt;"><span style="font-size: 10pt; font-family: "Calibri","sans-serif";" lang="IN">Menurut data tertulis, sebelum muncul Sriwijaya sebagai kerajaan telah ada kerajaan-kerajaan di Sumatera. Berita China menyebutkan antara tahun-tahun 430-473 ada lima kerajaan yang mengirimkan 20 utusan persahabatan ke negeri China, antara lain perutusan dari Ho-lo-tan, P’o-huang, dan Kan-t’o-li. Setelah tahun 473 hanya Kan-t’o-li yang mengirimkan perutusan ke China dan diperkirakan kerajaan ini sebagai kerajaan Sriwijaya yang mula-mula atau “proto-Sriwijaya”.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt;"><span style="font-size: 10pt; font-family: "Calibri","sans-serif"; color: rgb(0, 0, 10);" lang="IN">Situs-situs yang diduga berasal dari masa “pra-Sriwijaya” atau disebut juga “proto-Sriwijaya” ditemukan relatif dekat dengan garis pantai sekarang. Situs-situs tersebut adalah Kawasan Situs Karangagung Tengah dan Kawasan Situs Air Sugihan di Sumatera Selatan.<span style=""> </span><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt;"><span style="font-size: 10pt; font-family: "Calibri","sans-serif"; color: rgb(0, 0, 10);" lang="IN">Situs Karangagung Tengah (Kabupaten Musi Banyuasin, Provinsi Sumatera Selatan) berasal dari sekitar<span style=""> </span>abad IV Masehi (220-440 dan 320-560 Masehi) berdasarkan analisis radio karbon pada sampel tiang kayu rumah yang ditemukan dalam penggalian tahun 2000 oleh Balai Arkeologi Palembang. Selain sisa bangunan ditemukan pula kemudi perahu kuno dari kayu, tembikar, manik-manik batu dan kaca, anting, gelang kaca, batu asah, cincin dan anting emas serta liontin perunggu. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt;"><span style="font-size: 10pt; font-family: "Calibri","sans-serif"; color: rgb(0, 0, 10);" lang="IN">Kawasan situs terletak di antara Sungai Lalan dan Sungai Sembilang yang dihubungkan oleh sungai-sungai kecil. Persebaran situs Karangagung Tengah berpola linear mengikuti aliran sungai terutama situs-situs di Mulyaagung dan Karyamukti, sedangkan situs-situs lainnya berpola menyebar (Tri Marhaeni 2005). Sisa tiang-tiang kayu rumah di kawasan situs Karangagung Tengah ditemukan dalam keadaan <i style="">insitu</i>. Tiang-tiang utama dibuat dari batang pohon kayu keras dengan diameter antara 14- 35 cm. Bagian bawah tiang setelah dicabut dari tanah tampak dilancipkan dengan alat logam dan bekas pangkasan pada permukaan kayu setelah dilepaskan kulit kayunya. Kemungkinan tiang kayu berasal dari sejenis kayu besi, misalnya pohon <i style="">ulin</i> atau <i style="">tembesu</i>, jenis kayu kualitas baik yang banyak ditemukan di DAS Lalan. Selain batang pohon kayu keras, ditemukan pula tiang-tiang dari batang pohon <i style="">nibung</i> (<i style="">oncosperma filamentosa</i>) dengan ukuran garis tengah antara 8- 18 cm.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 42.55pt;"><span style="font-size: 10pt; font-family: "Calibri","sans-serif"; color: rgb(0, 0, 10);" lang="IN">Kawasan Situs Air Sugihan terletak<span style=""> </span>di wilayah Kabupaten Banyuasin dan Ogan Komering Ilir, Provinsi Sumatera Selatan. Kawasan situs ini sebagian besar berupa </span><span style="font-size: 10pt; font-family: "Calibri","sans-serif";" lang="IN">daerah rawa gambut dengan ketinggian sekitar 2--3 meter d.p.l. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 42.55pt;"><span style="font-size: 10pt; font-family: "Calibri","sans-serif";" lang="IN">Temuan arkeologis yang ditemukan di Situs Air Sugihan berupa manik-manik kaca dan batu <i style="">Carnelian</i>, pecahan tembikar dan keramik, dan sejumlah perhiasan emas. Berdasarkan pertanggalan keramiknya. Situs Air Sugihan berasal dari sekitar abad ke-5--6 Masehi. Keramik yang ditemukan di daerah itu berasal dari China masa Dinasti Sui (abad V Masehi). Keramik-keramik Cina yang<span style=""> </span>berasal dari abad XI Masehi </span><span style="font-size: 10pt; font-family: "Calibri","sans-serif"; color: rgb(0, 0, 10);" lang="IN">banyak ditemukan dalam ekskavasi tahun 2007 oleh Puslitbang Arkeologi Nasional</span><span style="font-size: 10pt; font-family: "Calibri","sans-serif";" lang="IN"><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt;"><span style="font-size: 10pt; font-family: "Calibri","sans-serif"; color: rgb(0, 0, 10);" lang="IN">Penggunaan kayu nibung (<i style="">oncosperma filamentosa</i>) untuk tiang-tiang bangunan kuno dijumpai pula di Situs Kertamukti1 Air Sugihan (Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan). Penggalian arkeologi di Kertamukti1 Air Sugihan<span style=""> </span>pada tahun 2007 dilakukan pada lahan bekas sungai kecil dan rawa yang terletak di daerah permukiman transmigrasi. Dalam ekskavasi ditemukan sisa-sisa bangunan rumah panggung yang seluruh tiangnya dari kayu nibung. Selain itu ditemukan pula tali ijuk, pecahan-pecahan tembikar dan keramik China, manik-manik, sudip dari kayu dan fosil kayu.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 10pt; font-family: "Calibri","sans-serif";" lang="IN"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 10pt; font-family: "Calibri","sans-serif";" lang="IN"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 10pt; font-family: "Calibri","sans-serif";" lang="IN"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 10pt; font-family: "Calibri","sans-serif";" lang="IN"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 10pt; font-family: "Calibri","sans-serif";" lang="IN"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 10pt; font-family: "Calibri","sans-serif";" lang="IN"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 10pt; font-family: "Calibri","sans-serif";" lang="IN"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 10pt; font-family: "Calibri","sans-serif";" lang="IN"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 10pt; font-family: "Calibri","sans-serif";" lang="IN"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 10pt; font-family: "Calibri","sans-serif";" lang="IN"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 10pt; font-family: "Calibri","sans-serif";" lang="IN"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><b style=""><span style="font-size: 10pt; font-family: "Calibri","sans-serif";" lang="IN">4. Situs-situs masa Sriwijaya<o:p></o:p></span></b></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt;"><span style="font-size: 10pt; font-family: "Calibri","sans-serif";" lang="IN">Penelitian arkeologis yang intensif di Palembang sejak tahun 1970an sampai 1990an oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional (Puslitbang Arkenas) dan Balai Arkeologi Palembang, telah memperkuat bukti bahwa Palembang pernah menjadi pusat Kerajaan Sriwijaya. Lokasi-lokasi penemuan prasasti masa Sriwijaya abad VII Masehi<span style=""> </span>meliputi Situs Talang Tuo, Telaga Batu, Kedukan Bukit, Kambang Unglen, Boom Baru, dan Bukit Siguntang. Situs-situs arkeologi yang pernah disurvei dan digali oleh para arkeolog terdiri dari Bukit Siguntang, Kambang Unglen, Karanganyar, Lorong Jambu, Tanjungrawa, Talang Kikim, Padang Kapas, Lebakkranji, Ladangsirap, Candi Angsoka, Sarangwati, Gedingsuro, Sungai Buah dan Samirejo. Bukti-bukti arkeologis yang ditemukan terdiri dari arca, sisa-sisa bangunan batu dan bata,<span style=""> </span>kanal-kanal, kolam-kolam, sisa-sisa perahu kayu, sisa-sisa industri manik-manik, stupika tanahliat dan cetakan stupika, tembikar dan keramik. Secara keseluruhan tinggalan arkeologis tersebut berasal dari abad VII – XIII Masehi.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt;"><!--[if gte vml 1]><v:shape id="_x0000_s1036" type="#_x0000_t75" style="'position:absolute;left:0;" wrapcoords="-101 -76 -101 21600 21701 21600 21701 -76 -101 -76" bordertopcolor="black" borderleftcolor="black" borderbottomcolor="black" borderrightcolor="black" allowoverlap="f" stroked="t" strokeweight=".5pt"> <v:imagedata src="file:///C:\DOCUME~1\BALARP~1\LOCALS~1\Temp\msohtmlclip1\01\clip_image016.jpg" title="KERTAMUKTI_1"> <w:wrap type="tight"> </v:shape><![endif]--><!--[if !vml]--><img src="file:///C:/DOCUME%7E1/BALARP%7E1/LOCALS%7E1/Temp/msohtmlclip1/01/clip_image017.jpg" shapes="_x0000_s1036" align="left" height="286" hspace="12" width="215" /><!--[endif]--><span style="font-size: 10pt; font-family: "Calibri","sans-serif";" lang="IN">Di wilayah Jambi situs-situs masa Sriwijaya dari abad IX – XIII Masehi ditemukan di kawasan Delta Berbak, Muara Jambi, dan kawasan sepanjang Sungai Batanghari. Delta Batanghari atau disebut juga Delta Berbak (Kabupaten Tanjung Jabung Timur, Provinsi Jambi) dialiri oleh sungai-sungai kecil, antara lain Sungai Pemusiran, Sungai Simbur Naik, Sungai Siau dan Lambur.<span style=""> </span>Beberapa bagian tubuh sungai kini tinggal <i style="">alur</i>, demikian penduduk menyebut aliran sungai yang telah mati. Justru pada <i style="">alur-alur</i> itu para arkeolog banyak menemukan situs arkeologi.<span style=""> </span><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt;"><span style="font-size: 10pt; font-family: "Calibri","sans-serif";" lang="IN">Penemuan artefak-artefak macam keramik asing, kaca kuno dan tembikar dalam jumlah besar pada situs-situs arkeologi menggambarkan padatnya penduduk yang tinggal di daerah lahan basah itu pada abad X-XIII Masehi. Sisa-sisa permukiman kuno<span style=""> </span>yang padat mengelompok di kawasan Lambur (Lambur Luar dan Lambur Dalam) dan Pemusiran Dalam (Sitihawa). Selain situs-situs permukiman di kawasan Delta Berbak juga ditemukan sisa-sisa perahu kuno dari kayu.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt;"><!--[if gte vml 1]><v:shape id="_x0000_s1031" type="#_x0000_t202" style="'position:absolute;left:0;" strokecolor="white"> <v:textbox style="'mso-next-textbox:#_x0000_s1031'"> <![if !mso]> <table cellpadding="0" cellspacing="0" width="100%"> <tr> <td><![endif]> <div> <p class="MsoNormal"><b style="'mso-bidi-font-weight:normal'"><span lang="IN" style="'font-size:8.0pt;font-family:">Foto 3.<o:p></o:p></span></b></p> <p class="MsoNormal"><span lang="IN" style="'font-size:8.0pt;font-family:">Tiang-tiang kayu nibung di situs Kertamukti1, Air Sugihan<o:p></o:p></span></p> </div> <![if !mso]></td> </tr> </table> <![endif]></v:textbox> <w:wrap type="square"> </v:shape><![endif]--><!--[if !vml]--><img src="file:///C:/DOCUME%7E1/BALARP%7E1/LOCALS%7E1/Temp/msohtmlclip1/01/clip_image018.gif" alt="Text Box: Foto 3. Tiang-tiang kayu nibung di situs Kertamukti1, Air Sugihan" shapes="_x0000_s1031" align="left" height="57" hspace="12" width="234" /><!--[endif]--><span style="font-size: 10pt; font-family: "Calibri","sans-serif";" lang="IN"><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt;"><span style="font-size: 10pt; font-family: "Calibri","sans-serif";" lang="IN"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><b style=""><span style="font-size: 10pt; font-family: "Calibri","sans-serif";" lang="IN"><o:p> </o:p></span></b></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><b style=""><span style="font-size: 10pt; font-family: "Calibri","sans-serif";" lang="IN"><o:p> </o:p></span></b></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><b style=""><span style="font-size: 10pt; font-family: "Calibri","sans-serif";" lang="IN">5. Bentang Budaya Masa Lalu <o:p></o:p></span></b></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt;"><span style="font-size: 10pt; font-family: "Calibri","sans-serif";" lang="IN">Kawasan situs arkeologi yang menggambarkan bentang budaya masa lalu (<i style="">archaeological landscape</i>) di daerah lahan basah terdapat di kawasan situs Muaro Jambi dan kawasan situs Karanganyar, Palembang. Kedua kawasan itu menunjukkan adanya upaya manusia masa lalu mengubah sebagian bentang alam <span style=""> </span>dalam menata permukimannya. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt;"><span style="font-size: 10pt; font-family: "Calibri","sans-serif";" lang="IN">Kawasan Situs Muaro Jambi terletak di Desa Muaro Jambi, Kabupaten Muaro Jambi. Serangkaian penelitian di Situs Muaro Jambi, mulai dari dari F.M. Schnitger (1935-1936), Soekmono (1954), Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (1979, 1981-1988), Bakosurtanal (1985), Tim Koordinasi Penelitian Sejarah Malayu Kuno (1994), Balai Arkeologi Palembang (2005-2006), sedikit demi sedikit menyingkap rahasia situs Muaro Jambi. Persebaran bangunan-bangunan bata di Muaro Jambi memanjang sepanjang kurang lebih tujuh kilometer mengikuti aliran Sungai Batanghari. Muaro Jambi terletak pada tanggul alam (<i style="">natural levee</i>) dan rawa belakang (<i style="">back swamp</i>) di sepanjang tepi Sungai Batanghari. Tanggul alam sungai dimanfaatkan untuk membangun candi-candi dan tempat tinggal para pengelola candi. Pada daerah rawa dijumpai kanal-kanal dan sungai kecil yang berhubungan dengan lokasi percandian dan Sungai Batanghari. Aliran pada sungai dan kanal saling berhubungan dan merupakan pintu masuk dari Sungai Batanghari menuju rawa belakang di utara situs. Diduga kanal-kanal adalah hasil buatan manusia.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt;"><span style="font-size: 10pt; font-family: "Calibri","sans-serif";" lang="IN">Kawasan Situs Karanganyar di Palembang terletak pada meander Sungai Musi. Kawasan tersebut dikelilingi oleh kanal-kanal atau parit buatan dan di dalamnya terdapat kolam-kolam buatan. <span style=""> </span>Sebuah kanal sepanjang 3,3 kilometer, yaitu kanal Suak Bujang, memotong meander Sungai Musi. Kanal-kanal lainnya saling berhubungan. Survei dan penggalian arkeologis di Kawasan Situs Karanganyar menemukan pecahan-pecahan keramik China dari masa Dinasti Tang (VIII – X Masehi), tembikar manik-manik, dan struktur bata kuno di Pulau Cempaka.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt;"><!--[if gte vml 1]><v:shape id="_x0000_s1037" type="#_x0000_t75" style="'position:absolute;left:0;"> <v:imagedata src="file:///C:\DOCUME~1\BALARP~1\LOCALS~1\Temp\msohtmlclip1\01\clip_image019.jpg" title="tpks"> <w:wrap type="square"> </v:shape><![endif]--><!--[if !vml]--><img src="file:///C:/DOCUME%7E1/BALARP%7E1/LOCALS%7E1/Temp/msohtmlclip1/01/clip_image020.jpg" shapes="_x0000_s1037" align="left" height="453" hspace="12" width="509" /><!--[endif]--><span style="font-size: 10pt; font-family: "Calibri","sans-serif";" lang="IN">Kawasan situs Karanganyar memiliki konteks dengan Situs Bukit Siguntang yang terletak di bagian utara. Pada masa Sriwijaya, Bukit Siguntang merupakan bukit sakral sebagai tempat upacara keagamaan. Arca Buddha dari batu granit berukuran tinggi 277 cm. lebar bahu 100 cm, dan tebal 48 cm berasal dari bukit ini. Selain itu dijumpai pula sisa-sisa bangunan stupa dan fragmen prasasti batu dari abad VII Masehi.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt;"><span style="font-size: 10pt; font-family: "Calibri","sans-serif";" lang="IN"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt;"><span style="font-size: 10pt; font-family: "Calibri","sans-serif";" lang="IN"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt;"><span style="font-size: 10pt; font-family: "Calibri","sans-serif";" lang="IN"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt;"><span style="font-size: 10pt; font-family: "Calibri","sans-serif";" lang="IN"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt;"><span style="font-size: 10pt; font-family: "Calibri","sans-serif";" lang="IN"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt;"><span style="font-size: 10pt; font-family: "Calibri","sans-serif";" lang="IN"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt;"><span style="font-size: 10pt; font-family: "Calibri","sans-serif";" lang="IN"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt;"><span style="font-size: 10pt; font-family: "Calibri","sans-serif";" lang="IN"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt;"><span style="font-size: 10pt; font-family: "Calibri","sans-serif";" lang="IN"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt;"><span style="font-size: 10pt; font-family: "Calibri","sans-serif";" lang="IN"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt;"><!--[if gte vml 1]><v:shape id="_x0000_s1038" type="#_x0000_t202" style="'position:absolute;left:0;" strokecolor="white"> <v:textbox style="'mso-next-textbox:#_x0000_s1038'"> <![if !mso]> <table cellpadding="0" cellspacing="0" width="100%"> <tr> <td><![endif]> <div> <p class="MsoNormal"><b style="'mso-bidi-font-weight:normal'"><span lang="IN" style="'font-size:8.0pt;font-family:">Peta 4.</span></b><span lang="IN" style="'font-size:8.0pt;font-family:"><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal"><span lang="IN" style="'font-size:8.0pt;font-family:">Bukit Siguntang dan Taman Purbakala Kedatuan Sriwijaya di Palembang (Sumber: Balai Arkeologi Palembang 2007).<o:p></o:p></span></p> </div> <![if !mso]></td> </tr> </table> <![endif]></v:textbox> <w:wrap type="square"> </v:shape><![endif]--><!--[if !vml]--><img src="file:///C:/DOCUME%7E1/BALARP%7E1/LOCALS%7E1/Temp/msohtmlclip1/01/clip_image021.gif" alt="Text Box: Peta 4. Bukit Siguntang dan Taman Purbakala Kedatuan Sriwijaya di Palembang (Sumber: Balai Arkeologi Palembang 2007)." shapes="_x0000_s1038" align="left" height="140" hspace="12" width="150" /><!--[endif]--><span style="font-size: 10pt; font-family: "Calibri","sans-serif";" lang="IN"><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt;"><span style="font-size: 10pt; font-family: "Calibri","sans-serif";" lang="IN"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt;"><span style="font-size: 10pt; font-family: "Calibri","sans-serif";" lang="IN"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt;"><span style="font-size: 10pt; font-family: "Calibri","sans-serif";" lang="IN"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 10pt; font-family: "Calibri","sans-serif";" lang="IN"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><b style=""><span style="font-size: 10pt; font-family: "Calibri","sans-serif";" lang="IN"><o:p> </o:p></span></b></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><b style=""><span style="font-size: 10pt; font-family: "Calibri","sans-serif";" lang="IN"><o:p> </o:p></span></b></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><b style=""><span style="font-size: 10pt; font-family: "Calibri","sans-serif";" lang="IN">6. Pola Hidup Masyarakat di Lahan Basah<o:p></o:p></span></b></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt;"><span style="font-size: 10pt; font-family: "Calibri","sans-serif";" lang="IN">Bukti-bukti arkeologis yang diperoleh melalui serangkaian penelitian menggambarkan pola hidup komuniti masa lalu yang bermukim di daerah pantai timur Sumatera. Diakui data arkeologi mempunyai keterbatasan dalam jumlah, kualitas dan relasinya sehingga diperlukan analogi etnografis pada komuniti tradisional suatu sukubangsa yang memiliki kemiripan lingkungan. Studi etnoarkeologi dilakukan dengan memperhatikan adanya perubahan-perubahan kebudayaan karena rentang waktu yang panjang, perubahan lingkungan dan perubahan dalam masyarakat itu sendiri. Walaupun demikian, masih dapat ditelusuri benang merah antara budaya masa lalu dan budaya sekarang yang memiliki kemiripan lingkungan alam, yaitu mitologi, pandangan hidup dan keyakinan (<i style="">belief</i>) sebagai nilai-nilai budaya yang merupakan inti dari suatu kebudayaan (Bambang Rudito 2006).<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt;"><span style="font-size: 10pt; font-family: "Calibri","sans-serif";" lang="IN">Bahan, alat dan teknologi<span style=""> </span>pembuatan bangunan rumah tradisional masa sekarang, misalnya, sedikitnya akan mengalami perubahan karena perkembangan zaman, inovasi dari dalam dan adanya hubungan dengan luar. Oleh karena itu sulit diharapkan adanya persamaan yang mutlak dengan bahan, alat dan teknologi pembuatan rumah<span style=""> </span>yang digunakan pada masa Sriwijaya (abad VII-XIII Masehi). Namun mitologi, pandangan hidup dan keyakinan (<i style="">belief</i>) tentang cara bermukim dan penguasaan sumberdaya yang ada di daerah pesisir, merupakan inti kebudayaan yang masih dapat ditelusuri jauh ke belakang.<span style=""> </span><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt;"><span style="font-size: 10pt; font-family: "Calibri","sans-serif";" lang="IN">Studi analogi etnografi pada hakekatnya ingin memahami nilai-nilai budaya yang terkandung dalam pola hidup komuniti di daerah pantai timur, yang berkaitan dengan bentuk permukiman, cara bermukim dan kegiatan mata pencaharian terkait dengan sumberdaya yang ada di lingkungannya.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt;"><span style="font-size: 10pt; font-family: "Calibri","sans-serif";" lang="IN">Pada tahun 2007 dan 2008 tim Balai Arkeologi Palembang melakukan studi analogi etnografi di bagian hulu Sungai Lalan di wilayah Kecamatan Bayung Lincir, Kabupaten Musi Banyuasin, Provinsi Sumatera Selatan. Untuk melengkapi data dilakukan pengamatan di daerah lahan basah lainnya,<span style=""> </span>yaitu di Banyuasin dan Kayu Agung.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt;"><span style="font-size: 10pt; font-family: "Calibri","sans-serif";" lang="IN">Daerah lahan basah yang terdapat di bagian hulu Sungai Lalan sebagian besar adalah rawa lebak (<i style="">backswamp</i>) yang terjadi akibat limpasan banjir sungai. Semakin ke hilir mendekat pantai, dijumpai rawa pasang surut, lahan gambut dan hutan bakau. </span><span style="font-size: 10pt; font-family: "Calibri","sans-serif"; color: rgb(0, 0, 10);" lang="IN">Pola kehidupan komuniti-komuniti di bagian hulu Sungai Lalan dalam beradaptasi dengan lingkungannya dapat memberikan petunjuk mengenai pola hidup komuniti kuno di Situs Karangagung Tengah dan di situs-situs lainnya di daerah rawa. Walaupun terdapat artefak-artefak dari luar yang menunjukkan adanya indikasi perdagangan dengan luar, namun berdasarkan pola kehidupan yang berhubungan dengan kebutuhan akan makanan diperkirakan komuniti kuno di Situs Karangagung Tengah adalah komuniti berladang dan nelayan yang tinggal menetap. Selain itu mereka juga mengumpulkan hasil hutan, misalnya kayu, rotan, kemenyan dan tumbuh-tumbuhan lain. Sebagaimana diketahui DAS Lalan kaya dengan berbagai jenis kayu dan memiliki kualitas tinggi, misalnya <i style="">ulin</i>, <i style="">tembesu</i>, <i style="">petaling</i>, <i style="">merawan,</i> <i style="">medang</i>, dan <i style="">meranti</i>. Tiang-tiang kayu rumah panggung yang dimiliki komuniti kuno tersebut merupakan contoh pemanfaatan hasil hutan berupa kayu kualitas baik yang diperoleh dari lingkungan sekitar. Sumber ekonomi lainnya dari hutan adalah daun nipah atau sejenis pandan. Daun ini digunakan untuk atap rumah dan perahu yang menggunakan atap daun –daunan. Jenis tanaman ini biasanya digunakan pula untuk membuat keranjang dan perlengkapan hidup lainnya.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt;"><span style="font-size: 10pt; font-family: "Calibri","sans-serif"; color: rgb(0, 0, 10);" lang="IN">Hal yang jarang terdapat di situs-situs permukiman lainnya adalah ditemukannnya tempurung kelapa dalam jumlah yang relatif besar dalam penggalian arkeologis di kawasan situs Karangagung Tengah. Tempurung kelapa ditemukan dalam bentuk potongan-potongan dan ada pula yang berupa batok kelapa yang dipotong menjadi dua dengan menggunakan benda tajam dari logam (Tri Marhaeni 2005). Tinggalan arkeologis tersebut memberikan indikasi adanya jenis tanaman hasil ladang dan peralatan benda tajam yang digunakan.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt;"><span style="font-size: 10pt; font-family: "Calibri","sans-serif"; color: rgb(0, 0, 10);" lang="IN"><span style=""> </span>Selain tempurung kelapa, tinggalan ekofak di Situs Mulyagung1 berupa tulang dan gigi hewan, cangkang molusca dapat menjadi indikasi tentang pola hidup mereka mengenai kebutuhan makanan yang diperoleh dari lingkungan sekitar.<span style=""> </span>Tulang-tulang yang ditemukan terdiri dari tiga kelas, yaitu <i style="">mamalia</i> (binatang menyusui), <i style="">aves</i> (burung dan unggas) dan <i style="">pisces </i>(ikan). Gigi yang ditemukan berasal dari gigi dari famili <i style="">suidae</i> (babi). Berbagai jenis ekofak tersebut berasal dari hewan dan tumbuhan yang hidup di DAS Lalan.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt;"><span style="font-size: 10pt; font-family: "Calibri","sans-serif"; color: rgb(0, 0, 10);" lang="IN">Ditemukannya sisa-sisa tulang ikan (<i style="">pisces</i>) di dalam sisa hunian komuniti pra Sriwijaya di Karangagung Tengah lebih memperjelas adanya aktivitas menangkap ikan. Sejumlah artefak yang diduga berfungsi sebagai<span style=""> </span>bandul jaring (<i style="">net sinker</i>) ditemukan dalam ekskavasi di Mulyagung1 dan Mulyaagung 4. Artefak dibuat dari sebatang kawat yang dibengkokkan sehingga membentuk lingkaran. Benda ini berdiameter lubang antara 1,7 cm – 3,4 cm dengan berat<span style=""> </span>sekitar 14 gram (Tri Marhaeni 2005). Bandul jaring merupakan pemberat jaring yang dipasang di bagian bawah jaring.<span style=""> </span><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt;"><span style="font-size: 10pt; font-family: "Calibri","sans-serif"; color: rgb(0, 0, 10);" lang="IN">Ribuan pecahan tembikar kuna ditemukan dalam ekskavasi dan survei. Bentuk-bentuk yang telah diidentifikasi berupa wadah seperti guci, tempayan, jambangan, buyung, mangkuk, cawan, kendi dan buli-buli. Berdasarkan adonan bahan tembikar, ada dua tipe tembikar, yaitu tembikar kasar dan tembikar halus. Sebagian jenis tembikar halus diperkirakan berasal dari luar yaitu Arikamedu, India (Tri Marhaeni 2005). Tembikar kasar yang diamati bahannya ada yang mengandung pirit (<i style="">piryte</i>) pada campuran pasirnya ada pula yang tidak. Selain wadah, ditemukan pula tembikar yang bentuknya mirip pelandas (<i style="">anvil</i>) yaitu peralatan membuat wadah tembikar dibuat dari tanahliat adonan kasar. Bila dikaitkan dengan artefak tersebut dapat disimpulkan wadah tembikar kasar dibuat sendiri oleh komuniti pra Sriwijaya di kawasan situs Karangagung Tengah. Sampai saat ini masih timbul keragu-raguan mengenai fungsi benda tembikar itu sebagai pelandas, mungkin pula berfungsi sebagai alat giling (Tri Marhaeni 2007), yaitu semacam gandik pada pipisan untuk melumat tumbuh-tumbuhan.<span style=""> </span>Kehadiran artefak tersebut juga menimbulkan spekulasi<span style=""> </span>sebagai alat pemberat untuk timbangan.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt;"><span style="font-size: 10pt; font-family: "Calibri","sans-serif"; color: rgb(0, 0, 10);" lang="IN">Apabila memang benar tradisi pembuatan<span style=""> </span>tembikar telah dikenal oleh komuniti di DAS Lalan sejak awal tarikh Masehi, rupa-rupanya tradisi itu tidak berlanjut, hilang dan kemungkinan berkembang di daerah lain di Sumatera Selatan<a style="" href="#_ftn1" name="_ftnref1" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style=""><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 10pt; font-family: "Calibri","sans-serif"; color: rgb(0, 0, 10);" lang="IN">[1]</span></span><!--[endif]--></span></span></a>.<span style=""> </span>Berdasarkan data etnografi komuniti-komuniti di DAS Lalan tidak membuat tembikar. Kerajinan tembikar baru dimulai pada tahun 1990-an di Karangagung oleh sekelompok transmigran asal Pulau Jawa. Mereka hanya membuat anglo. Secara tradisional kebutuhan akan barang-barang tembikar diperoleh dari Kayuagung terutama tungku (<i style="">keran</i>), guci dan tempayan. Menurut keterangan penduduk kualitas bahan tembikar Kayuagung lebih baik daripada tembikar buatan transmigran di Karangagung. Ciri khas bahan tembikar Kayuagung adalah adanya pirit pada campuran pasir. Tembikar kasar yang ditemukan pada situs-situs masa Sriwijaya di Palembang umumnya memiliki pirit pada bahannya (Rangkuti dan Fadhlan 1993). <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoBodyTextIndent2" style="text-indent: 27pt; line-height: normal;"><span style="font-size: 10pt; font-family: "Calibri","sans-serif";" lang="IN">Barang-barang impor seperti tembikar Arikamedu, manik-manik, kaca dan timah yang banyak ditemukan di Karangagung Tengah merupakan data arkeologi yang ditafsirkan adanya kontak dagang dengan luar. Kesimpulan tersebut telah dikemukakan para peneliti antara lain Trimarhaeni (2005), PY Manguin, Soeroso, Murriel Charas (2006) bahwa komuniti kuno di Karangagung Tengah pra-Sriwijaya telah terlibat dalam perdagangan internasional dan inter insuler, serta kemungkinan adanya pelabuhan di sekitar kawasan Karangagung Tengah untuk memasarkan komoditi mereka. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt;"><span style="font-size: 10pt; font-family: "Calibri","sans-serif"; color: rgb(0, 0, 10);" lang="IN">Perahu merupakan sarana yang penting untuk transportasi dan perdagangan. Sebuah kemudi perahu dari kayu keras dan berat ditemukan di Karangagung Tengah. Kemudi ini panjangnya 287 cm dan ditemukan tidak bersama dengan sisa-sisa perahu sehingga tidak diketahui bentuk dan ukuran perahu. Berdasarkan lokasi penemuan kemudi perahu tersebut diperkirakan bentuk dan ukuran perahu dapat memasuki anak-anak sungai di daerah rawa. Di bagian hulu Sungai Lalan, penduduk memberi informasi adanya temuan-temuan perahu kuno (<i style="">pinis</i>) di Sentang dan rawa-rawa di sepanjang aliran Sungai Merang. Hal ini menunjukkan bahwa telah ada komunikasi antara komuniti-komuniti di hulu dan hilir Sungai Lalan.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt;"><span style="font-size: 10pt; font-family: "Calibri","sans-serif"; color: rgb(0, 0, 10);" lang="IN">Perahu yang digunakan oleh komuniti Karangagung Tengah dibuat dengan teknik tradisi Asia Tenggara<a style="" href="#_ftn2" name="_ftnref2" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style=""><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 10pt; font-family: "Calibri","sans-serif"; color: rgb(0, 0, 10);" lang="IN">[2]</span></span><!--[endif]--></span></span></a> (Manguin dkk 2006). Jenis dan ukuran perahu niaga yang dapat memasuki anak-anak sungai di daerah rawa diperkirakan jenis perahu<i style=""> kajang</i>. Perahu ini menggunakan atap dari daun-daunan kering misalnya daun nipah (<i style="">kajang</i>), menggunakan satu kemudi perahu yang berada di buritan dan dua dayung dari kayu di bagian haluan. Jenis perahu kajang yang memiliki ciri khas atap dari daun nipah terdapat pula di daerah lain yang disebut perahu <i style="">kabang</i> (Sopher 1977). Perahu ini menggunakan layar dari bahan daun-daun nipah.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt;"><span style="font-size: 10pt; font-family: "Calibri","sans-serif"; color: rgb(0, 0, 10);" lang="IN">Jenis perahu ini masih tersisa di daerah Kayuagung, Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan. Jenis kayu yang digunakan untuk kemudi perahu adalah jenis kayu yang berat sehingga dapat tenggelam dalam air, sedangkan jenis kayu untuk dayung adalah kayu yang ringan. Untuk ukuran perahu kajang yang panjangnya antara 6 – 8 meter digunakan kemudi perahu yang berukuran panjang<span style=""> </span>sekitar 250 cm dan dayung memiliki ukuran yang lebih panjang yaitu sekitar 3 meter.<span style=""> </span><o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt;"><span style="font-size: 10pt; font-family: "Calibri","sans-serif"; color: rgb(0, 0, 10);" lang="IN">Perahu <i style="">kajang</i> dapat memuat barang-barang komoditi yang ditempatkan di bagian depan perahu. Pada bagian tengah adalah ruang keluarga dan di bagian buritan untuk dapur serta kamar mandi. Perahu kajang Kayuagung memuat satu keluarga untuk membawa barang-barang komoditi tembikar yang dijual ke daerah lain melalui sungai. Mereka meninggalkan tempat tinggalnya sampai berbulan-bulan bahkan tahun dan ketika pulang muatan perahu penuh dengan bahan-bahan makanan misalnya beras dan keperluan rumah tangga lainnya serta kayu-kayu yang diperoleh dengan cara barter maupun jual-beli. Menurut keterangan penduduk Kayuagung, perahu <i style="">kajang</i> juga dapat mengarungi laut dengan menambah layar pada bagian depan perahu.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt;"><span style="font-size: 10pt; font-family: "Calibri","sans-serif"; color: rgb(0, 0, 10);" lang="IN">Tidak tertutup kemungkinan<span style=""> </span>jenis perahu yang digunakan komuniti pra-Sriwijaya yang hidup di daerah rawa sungai merupakan jenis perahu <i style="">kajang</i>, jenis perahu yang dapat memasuki daerah hulu sungai dan juga dapat berlayar di lautan. Dengan menggunakan jenis perahu tersebut, mereka dapat membawa komoditi hasil hutan seperti kayu-kayu kualitas tinggi, rotan, kemenyan, gading gajah, kulit harimau untuk ditukarkan dengan barang-barang impor.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt;"><span style="font-size: 10pt; font-family: "Calibri","sans-serif";" lang="IN">Komuniti kuno yang terdapat di Kawasan Karangagung Tengah, Air Sugihan dan Delta Berbak merupakan komuniti yang tinggal menetap pada ekosistem rawa pasang surut. Oleh karena itu kepercayaan-kepercayaan tentang lingkungan darat dan air tempat mereka hidup merupakan hal yang universal. Berkaitan dengan hal tersebut hasil budaya materi seperti misalnya bangunan tempat tinggal dan perahu tentunya sesuatu yang memiliki makna dan nilai budaya bagi mereka selain fungsi praktis. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt;"><span style="font-size: 10pt; font-family: "Calibri","sans-serif";" lang="IN">Berdasarkan data etnografi komuniti di DAS Lalan, terdapat kepercayaan-kepercayaan tentang darat dan air. Di darat terdapat kegiatan-kegiatan ritual pendirian rumah, ritual menanam padi dan berladang (<i style="">beselang nugal</i>). Komuniti yang bertumpu kehidupannya pada Sungai Lalan memiliki kepercayaan tentang <i style="">antu banyu</i>. Kepercayaan-kepercayaan semacam itu terdapat pula pada Suku Sekah di Kepulauan Bangka-Belitung, yang percaya adanya <i style="">antu laut</i> dan <i style="">antu darat</i> (Sopher 1977). Suku Sekah merupakan salah satu komuniti Orang Laut (<i style="">sea nomad</i>) yang sebagian besar waktunya berada dalam perahu. Ritual-ritual di perahu sering dilakukan, antara lain kegiatan ritual saji-sajian beras atau padi dan daun kelapa yang dibawa dalam perahu sebelum melaut. <o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt;"><span style="font-size: 10pt; font-family: "Calibri","sans-serif";" lang="IN">Komuniti kuna Karangagung Tengah tentunya memiliki kepercayaan dan kegiatan ritual berkaitan dengan tanah darat dan perairan. Tanah-tanah kering yang lebih tinggi di sekitar rawa (<i style="">talang</i>) digunakan untuk penguburan, seperti yang terdapat di Situs Sentang dan Lebak Bandung. Di kawasan situs Karangagung Tengah juga terdapat tanah-tanah talang yang dikelilingi oleh rawa, namun belum ada penggalian arkeologis di lokasi-lokasi tersebut. Berdasarkan informasi di sekitar Situs Tanah Abang dan di daerah Air Sugihan terdapat lokasi-lokasi penguburan dengan tempayan kubur seperti di Situs Sentang. Tidak tertutup kemungkinan komuniti pra-Sriwijaya di Karangagung Tengah melakukan penguburan jasad manusia dengan tradisi prasejarah pada tanah kering.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt;"><span style="font-size: 10pt; font-family: "Calibri","sans-serif";" lang="IN"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 27pt;"><span style="font-size: 10pt; font-family: "Calibri","sans-serif";" lang="IN"><o:p> </o:p></span></p> <h2 style="margin: 6pt 0in; line-height: normal;"><span style="font-size: 10pt; font-family: "Calibri","sans-serif";" lang="IN">DAFTAR PUSTAKA<o:p></o:p></span></h2> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 10pt; font-family: "Calibri","sans-serif";" lang="IN"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 0.5in; text-align: justify; text-indent: -0.5in;"><span style="font-size: 10pt; font-family: "Calibri","sans-serif";" lang="IN">Bambang Rudito, 2006, “Pengembangan Pola Hidup Masyarakat di Muara Jambi”,<span style=""> </span>dalam Seminar Melayu Kuno “Titik Temu” Jejak Peradaban di Tepi Batanghari, di Jambi 16 Desember 2006.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 0.5in; text-align: justify; text-indent: -0.5in;"><span style="font-size: 10pt; font-family: "Calibri","sans-serif";" lang="IN">Bintarto dan Soerastopo, 1987, Metode Analisa Geografi. Jakarta: L<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 0.5in; text-align: justify; text-indent: -0.5in;"><span style="font-size: 10pt; font-family: "Calibri","sans-serif";" lang="IN">Jazanul Anwar, Sengli J. Damanik, Nazaruddin Hisyam, 1984 <b style="">Ekologi Ekosistem Sumatera</b>. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 0.5in; text-align: justify; text-indent: -0.5in;"><span style="font-size: 10pt; font-family: "Calibri","sans-serif";" lang="IN">Manguin, Piere-Yves, Soeroso, Muriel Charras, 2006, “Bab 3 – Daerah Dataran Rendah dan Daerah Pesisir: Periode Klasik” dalam <b style="">Menyelusuri Sungai, Merunut Waktu: Penelitian Arkeologi di Sumatera Selatan</b>. Jakarta: Puslibang Arkeologi Nasional.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 0.5in; text-align: justify; text-indent: -0.5in;"><span style="font-size: 10pt; font-family: "Calibri","sans-serif";" lang="IN">Notohadiprawiro, Tejoyuwono, 2006, “Pemanfaatan Lahan Basah : Kontroversi yang Tidak Ada Habisnya” Repro: Jurnal Ilmu Tanah.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 0.5in; text-align: justify; text-indent: -0.5in;"><span style="font-size: 10pt; font-family: "Calibri","sans-serif";" lang="IN">Rangkuti, Nurhadi, 2005, “Candi di Rawa Kalimantan” dalam <b style="">Kompas</b> (Rabu, 21 September 2005).<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 0.5in; text-align: justify; text-indent: -0.5in;"><span style="font-size: 10pt; font-family: "Calibri","sans-serif";" lang="IN">--------------------, 2007, “Pola Hidup Komuniti Pra Sriwijaya di Daerah Rawa: Studi Etnoarkeologi di Kecamatan Bayung Lencir, Kab. Musi Banyuasin Provinsi Sumatera Selatan”, dalam <b style="">Berita Penelitian Arkeologi No.15</b>. Palembang: Balai Arkeologi.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 0.5in; text-align: justify; text-indent: -0.5in;"><span style="font-size: 10pt; font-family: "Calibri","sans-serif";" lang="IN">Rangkuti, Nurhadi dan Fadhlan S Intan, 1993, “Tembikar Kayuagung” dalam <b style="">Sriwijaya dalam Perspektif Sejarah dan Arkeologi</b> (Mindra F. ed.). Palembang: Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 0.5in; text-align: justify; text-indent: -0.5in;"><span style="font-size: 10pt; font-family: "Calibri","sans-serif";" lang="IN">Sartono, S., 1978, “Pusat-Pusat Kerajaan Sriwijaya Berdasarkan Interpretasi Paleogeografi” dalam Pra Seminar Penelitian Sriwijaya. Jakarta: Pusat Penelitian Purbakala dan Peninggalan Nasional.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 0.5in; text-align: justify; text-indent: -0.5in;"><span style="font-size: 10pt; font-family: "Calibri","sans-serif";" lang="IN">Scholz, Ulrich, 1986, “ Persediaan Tanah di Sumatra Selatan dan Potensinya untuk Kepentingan Pertanian”, dalam <b style="">Geografi Pedesaan Masalah Pengembangan Pangan</b> (ed. Jurgen H Hohnholz). Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 0.5in; text-align: justify; text-indent: -0.5in;"><span style="font-size: 10pt; font-family: "Calibri","sans-serif";" lang="IN">Soeroso, 2002, “<i style="">Pesisir Timur Sumatera Selatan Masa Proto Sejarah: Kajian Permukiman Skala Makro</i>” dalam <b style="">Pertemuan Ilmiah Arkeologi IX</b>, Kediri 23-27 Juli 2002.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 0.5in; text-align: justify; text-indent: -0.5in;"><span style="font-size: 10pt; font-family: "Calibri","sans-serif";" lang="IN">Sopher, David E, 1977, <b style="">The Sea Nomads: A Study of the Maritime Boat People of Southeast Asia.</b> Singapore: National Museum.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 0.5in; text-align: justify; text-indent: -0.5in;"><span style="font-size: 10pt; font-family: "Calibri","sans-serif";" lang="IN">Tri Marhaeni S Budisantosa, 2002 “<i style="">Permukiman Pra-Sriwijaya di Karang Agung Tengah: Sebuah Kajian Awal”</i> dalam <b style="">Jurnal Arkeologi Siddhayatra</b>, vol 7, No.2 Nov. 2002, halaman 65-89, Palembang; Balai Arkeologi.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 0.5in; text-align: justify; text-indent: -0.5in;"><span style="font-size: 10pt; font-family: "Calibri","sans-serif";" lang="IN">--------------------------------, 2005, “Permukiman Pra-Sriwijaya di Situs Karangagung Tengah” dalam <b style="">Berita Penelitian Arkeologi No:13</b>. Palembang: Balai Arkeologi<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 0.5in; text-align: justify; text-indent: -0.5in;"><span style="font-size: 10pt; font-family: "Calibri","sans-serif";" lang="IN">--------------------------------, 2007, “Tinggalan Rumah<span style=""> </span>Kayu di Karangagung Tengah Kabupaten Musi Banyuasin, Provinsi Sumatera Selatan” dalam <b style="">Menelusuri Jejak-Jejak Peradaban di Sumatera Selatan</b>. Palembang: Balai Arkeologi<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="margin-left: 0.5in; text-align: justify; text-indent: -0.5in;"><span style="font-size: 10pt; font-family: "Calibri","sans-serif";" lang="IN">Wijaya, Truman, 2006 “Pengkajian Endapan Gambut Bersistim di Daerah Pakbiban-Beyuku Kec. Air Sugihan, Kab. Ogan Komering Ilir, Provinsi Sumatera Selatan” (paper lepas).<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 10pt; font-family: "Calibri","sans-serif";" lang="IN"><o:p> </o:p></span></p> <p class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span style="font-size: 10pt; font-family: "Calibri","sans-serif";" lang="IN"><o:p> </o:p></span></p> <div style=""><!--[if !supportFootnotes]--><br /> <hr align="left" size="1" width="33%"> <!--[endif]--> <div style="" id="ftn1"> <p class="MsoFootnoteText"><a style="" href="#_ftnref1" name="_ftn1" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style=""><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 10pt; font-family: "Times New Roman","serif";">[1]</span></span><!--[endif]--></span></span></a> <span style="color: rgb(0, 0, 10);">Tradisi pembuatan tembikar di daerah rawa masih dijumpai pada salah komuniti di Kayuagung (Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan) sampai sekarang. Belum ada kajian sejarah awal mula berkembangnya tradisi tembikar di tempat itu dalam kaitannya dengan tembikar-tembikar kuno yang ditemukan di situs-situs arkeologi di Sumatera Selatan.</span></p> </div> <div style="" id="ftn2"> <p class="MsoNormal" style=""><a style="" href="#_ftnref2" name="_ftn2" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 10pt;"><span style=""><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 10pt; font-family: "Times New Roman","serif";">[2]</span></span><!--[endif]--></span></span></span></a><span style="font-size: 10pt;"> </span><span style="font-size: 10pt;" lang="SV">teknik rancang bangun perahu tradisi Asia Tenggara menggunakan teknik papan ikat dan kupingan pengikat </span><span style="font-size: 10pt;">(<i style="">sewn plank and lushed plug technique</i>). </span><span style="font-size: 10pt;" lang="SV">Tonjolan segi empat atau <i style="">tambuku</i> digunakan untuk mengikat papan-papan dan mengikat papan dengan <i style="">gading-gading</i> dengan menggunakan tali ijuk (<i style="">Arrenga pinnata</i>). Tali ijuk dimasukan pada lubang di <i style="">tambuku</i>. Digunakan pula pasak kayu untuk memperkuat ikatan tali ijuk.<o:p></o:p></span></p> <p class="MsoFootnoteText"><span style="" lang="SV"><o:p> </o:p></span></p> </div> </div>Nurhadi Rangkutihttp://www.blogger.com/profile/05987175295898025688noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6558820035391086789.post-55159718206678649072009-05-12T18:55:00.000-07:002009-05-12T18:59:37.507-07:00Nurhadi Rangkutihttp://www.blogger.com/profile/05987175295898025688noreply@blogger.com0