Sabtu, 16 Mei 2009

PAK GURU DAN TEMPAYAN KUBUR

Pesan layanan singkat (short message services) masuk memberi kabar yang mengagetkan dari seorang arkeolog yang berada di lapangan. “Pak, 2 bh priuk kecil hilang diambil org”. Pesan itu segera diteruskan kepada Basnuh Ismail (47) yang baru saja selesai membantu mengurus izin penelitian di kantor camat. Kepala Sekolah Dasar Sentang di daerah terpencil itu terlihat gusar. Tilpon selularnya langsung dicabut dari sakunya. Berkali-kali ia mengontak orang-orang dengan suara lantang.

“Saya minta barang itu kembali hari ini juga!”, teriak Basnuh sebelum menutup pembicaraan. “Tenang saja tim saya sedang mengusut siapa yang mengambil guci-guci itu”, ujarnya kepada ketua tim peneliti arkeologi yang bingung memikirkan dua periuk kuno di dalam lubang gali raib.

Tempayan kubur di daerah lahan basah

Saat itu bulan April 2008 tim peneliti dari Balai Arkeologi Palembang tengah melaksanakan penggalian arkeologis di Situs Sentang terletak di Dusun Sentang, Desa Muara Medak, Kecamatan Bayung Lencir, Kabupaten Musi Banyuasin, Provinsi Sumatera Selatan. Pada hari pertama penggalian tanda-tanda akan menemukan benda-benda yang dicari sudah tampak. Sekeping bibir periuk retak dari tanahliat bakar sudah muncul dari kedalaman sekitar 100 cm dari permukaan tanah. Ditelusuri lebih dalam lagi, muncullah tempayan-tempayan yang berasosiasi dengan beberapa periuk kecil. Sebilah mata tombak dari besi penuh karat ditemukan tertancap ke tanah di samping tempayan.

Penggalian lubang berukuran 2 X 2 meter itu menemukan dua tempayan ganda (double jar burial) dan satu tempayan tunggal pada kedalaman mulai 150 cm sampai 250 cm dari permukaan tanah. Dimaksud tempayan ganda adalah tempayan yang mulutnya ditutup oleh tempayan pula di atasnya. Dalam tempayan yang dipenuhi tanah ditemukan sisa-sisa tulang manusia dan manik-manik dari kaca.

Tempayan kubur dikenal sebagai budaya prasejarah. Para arkeolog mengenal dua jenis penguburan masa prasejarah yaitu penguburan primer dan penguburan sekunder. Penguburan primer merupakan penguburan langsung dan biasanya jenasah dikelilingi oleh benda–benda miliknya sebagai bekal kubur. Tempayan kubur merupakan penguburan sekunder. Tulang-tulang dan rangka manusia yang telah dikubur dimasukan ke dalam wadah berupaya tempayan atau guci. Wadah kemudian dikubur bersama bekal kubur.

Selama ini situs-situs tempayan kubur di Sumatera Bagian Selatan banyak ditemukan di dataran yang lebih tinggi seperti di Kerinci dan Merangin (Jambi), Lahat, Empat Lawang, Pagaralam (Sumatera Selatan) dan Rejang Lebong (Bengkulu). Penemuan tempayan kubur di Situs Sentang boleh dibilang temuan yang ditunggu-tunggu oleh tim peneliti arkeologi untuk memahami pola hidup komuniti kuno di daerah lahan basah (wetland) alias daerah berawa-rawa.

Situs Sentang tampak seperti pulau mini yang dikelilingi rawa lebak dari limpasan banjir Sungai Sungai Medak, Sungai Sentang dan Sungai Putot. Sungai-sungai itu merupakan Daerah Aliran Sungai Lalan. Rawa-rawa yang terdapat di Daerah Aliran Sungai Lalan terdiri dari dua jenis rawa yaitu rawa pasang surut (tidal swamp) di daerah hilir mendekati pantai dan rawa lebak (backswamp) di bagian hulu Sungai Lalan. Situs Sentang berada pada jarak sekitar 85 km dari garis pantai terdekat.

Daerah lahan basah yang mencakup pantai timur Sumatera Bagian Selatan ternyata padat dengan sebaran situs arkeologi, terutama di wilayah Jambi dan Sumatera Selatan. Verstappen (1956), seorang geomorfolg Belanda, menyebut daerah itu adalah tanah dataran baru yang berupa rawa-rawa, berbatasan dengan laut. “Daerah kontinental” ini berdampingan dengan Pulau Bangka dan Belitung di timur Sumatera.

Daerah lahan basah itu dulu divonis oleh Obdeyn (1941), seorang geolog, yang menyatakan bahwa daerah itu pada permulaan abad-abad pertama masih berupa laut. Pada awal masa Sriwijaya abad VII Masehi diperkirakan Kota Palembang dan Jambi terletak pada tanjung dan teluk yang berbatasan dengan laut.

Bukti arkeologis membantah anggapan itu. Serangkaian penelitian arkeologi membuktikan pada awal tarikh Masehi di daerah pantai timur ditemukan sisa-sisa kebudayaan manusia berupa situs dan artefak. Situs-situs tertua di pantai timur Sumatera Selatan sebelum munculnya Kerajaan Sriwijaya adalah Situs Karangagung Tengah (Kabupaten Musi Banyuasin) dan Situs Air Sugihan (Kabupaten Banyuasin dan Ogan Komering Ilir). Situs Karang Agung Tengah berasal dari sekitar abad IV Masehi (220-440 dan 320-560 Masehi) berdasarkan analisis radio karbon pada sampel tiang kayu rumah yang ditemukan dalam penggalian tahun 2000. Selain sisa bangunan ditemukan pula kemudi perahu dari kayu, tembikar, manik-manik batu dan kaca, anting, gelang kaca, batu asah, cincin dan anting emas serta liontin perunggu. Sementara itu Kawasan Situs Air Sugihan terus berlanjut dihuni sampai abad XI Masehi berdasarkan pertanggalan keramik Cina yang banyak ditemukan dalam ekskavasi tahun 2007 oleh Puslitbang Arkeologi Nasional.

Pola hidup

Kajian awal terhadap situs dan artefak yang ditinggalkan komuniti pra-Sriwijaya di daerah lahan basah menunjukkan bahwa mereka bertahan hidup dengan memanfaatkan sumber daya alam yang tersedia di lingkungannya dan melakukan kontak dagang dengan luar. Mata pencaharian mereka adalah penghasil bahan makanan dan bahan baku dari hutan rawa. Hasil hutan itu diperkirakan menjadi komoditi perdagangan, selain untuk kebutuhan sendiri. Artefak-artefak impor berupa tembikar dari Arikamedu (India Selatan) serta manik-manik batu dan kaca dari luar memperkuat bukti adanya jalur perdagangan antara pantai timur Sumatera dengan India dan Cina.

Sampai sejauh ini belum ditemukan artefak-artefak keagamaan di Situs Karang Agung Tengah dan Situs Air Sugihan. Diperkirakan komuniti pra-Sriwijaya itu masih menganut kepercayaan yang bersifat animistik. Ditemukannya tempayan kubur di Situs Sentang menjadi petunjuk kuat bahwa tradisi prasejarah digunakan dalam ritual-ritual penguburan. Tempayan kubur di daerah lahan basah ditemukan juga di Situs Lebak Bandung, Kecamatan Jelutung di Kota Jambi melalui penggalian arkeologis tahun 1996 - 1998 oleh Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Jambi. Situs ini berada di teras Sungai Asam yang hulunya bertemu dengan Sungai Medak dan hilirnya bermuara di Sungai Batanghari.

Tampaknya tanah-tanah kering yang lebih tinggi (talang) yang terdapat di sekitar rawa dimanfaatkan oleh komuniti kuno untuk lahan kubur. Sementara itu rumah-rumah mereka berdiri di tepi sungai dan rawa-rawa dalam bentuk rumah panggung dan mungkin juga rumah-rumah rakit, seperti yang banyak ditemukan di Sungai Lalan di Bayung Lencir sekarang.

Situs Sentang dan Lebak Bandung diperkirakan sezaman dengan kehidupan komuniti-komuniti pra-Sriwijaya di Karang Agung Tengah dan Air Sugihan. Beberapa motif hias tembikar dan jenis manik-manik memiliki persamaan dengan benda-benda serupa dari Karang Agung Tengah.

Situs-situs pra Sriwijaya tersebut menunjukkan bahwa telah mapannya kehidupan komuniti-komuniti di daerah rawa sebelum tumbuhnya pusat Kerajaan Sriwijaya di Palembang pada abad VII Masehi. Tumbuh dan berkembangnya Kerajaan Sriwijaya di Palembang antara lain karena didukung oleh komuniti-komuniti di daerah lahan basah yang telah melakukan perdagangan internasional sejak awal tarikh Masehi.

Penggalian liar

“Dua guci yang hilang sudah kembali. Lokasi dalam keadaan aman terkendali”, kata Basnuh lega setelah menerima informasi dari lapangan. Mobil segera meluncur ke lokasi penggalian arkeologi. Memasuki Dusun Sentang, jalan yang berawa-rawa sebagian sudah diperkeras dengan batu-batu dan kini sedang diaspal. Tahun lalu mobil sulit sekali menembus Dusun Sentang.

“Kami sudah berjuang jalan aspal itu dibangun sampai ujung Dusun Sentang, jangan sampai batas desa tetangga saja. Apalagi ditemukannya situs tempayan kubur, Sentang bisa jadi obyek wisata. Bupati bisa lihat”, ujar Basnuh sambil melambaikan tangan kepada pekerja proyek yang mengizinkan mobil lewat.

Basnuh Ismail memang akrab dengan dusun itu. Lelaki kecil dari Komering itu merintis usaha pendidikan di Dusun Sentang sejak tahun 1980-an sampai diangkat menjadi PNS dan Kepala Sekolah Dasar daerah terpencil. Pak Guru, demikian ia sering dipanggil oleh warga, berjuang menghapus kebodohan di Sentang melalui jalur pendidikan. Ia dan beberapa warga membuat pondok untuk sekolah anak-anak.

Menurut Husin (65), seorang penduduk, permukiman di Sentang mulai muncul setelah tahun 1958. Penduduk Sentang umumnya pendatang dari Palembang dan Komering. Pada saat itu hingga tahun 1985 Sentang masih berupa hutan yang ditumbuhi pohon kayu keras, seperti bulian, merawan, meranti, tembesu, petaling dan puna. Kegiatan berkayu mencapai puncaknya pada tahun 1990-an. Daerah Bayung Lencir bagaikan kota yang tidak pernah tidur. Malam terang benderang karena kegiatan menebang dan mengolah kayu (sawmill).

Kayu mulai habis, Sentang masih menyimpan kekayaan lainnya. Secara tidak disengaja penduduk menemukan guci-guci dari dalam tanah ketika membangun rumah. Penggalian liar situs purbakala di Sentang marak pada tahun 1983 sampai harus dihentikan oleh polisi. Baru tahun ini tim arkeologi berhasil menggali secara ilmiah dan menemukan tempayan kubur berkat bantuan Basnuh dan tiga orang kawan dekatnya.

Dua guci atau periuk dengan motif jala yang sempat hilang itu tampak sudah bersih dicuci. Menurut Basnuh, salah seorang penduduk yang tiap hari melihat penggalian arkeologis itu yang mengambil dua artefak di lubang gali pada tengah malam. Ia penasaran isi dari periuk yang dipenuhi oleh tanah itu.

“Guci-guci dan tempayan itu bukan wadah harta yang disembunyikan oleh Si Karun. Itu tempayan kubur nenek moyang kita. Jangan diganggu”, kata Basnuh. Ucapan itu sering diucapkan kepada penduduk yang menonton penggalian, apalagi setelah kasus hilangnya dua periuk. Basnuh tak ingin setelah kayu habis giliran guci-guci di dalam bumi Sentang yang dieksploitasi.

Tidak ada komentar: