iba di Muara Sabak, perahu-perahu ketek sudah menunggu mengantar penumpang menyeberang ke Delta Batanghari. Delta ini terbentuk oleh aliran Sungai Nyiur dan Berbak, cabang Sungai Batanghari. Daerah rawa pasang surut dan bergambut itu berulang kali disambangi tim arkeologi untuk “mengais” artefak-artefak peradaban kuno yang tersisa, letaknya di Kecamatan Muara Sabak, Kabupaten Tanjung Jabung Timur, Provinsi Jambi,
Delta Batanghari dialiri oleh sungai-sungai kecil, antara lain Sungai Pemusiran, Sungai Simbur Naik, Sungai Siau dan Lambur. Beberapa bagian tubuh sungai kini tinggal alur, demikian penduduk menyebut aliran sungai yang telah mati. Justru pada alur-alur itu para arkeolog banyak menemukan situs arkeologi.
Junus Satrio Atmodjo, arkeolog yang meneliti situs-situs arkeologi di Delta Batanghari sejak tahun 1990-an mengamati kedekatan jarak antarsitus yang mencerminkan kedekatan hubungan antarpermukiman kuno itu. Penemuan artefak-artefak macam keramik asing, kaca kuno dan tembikar dalam jumlah besar pada situs-situs arkeologi menggambarkan padatnya penduduk yang tinggal di daerah lahan basah itu pada abad X-XIII Masehi. Sisa-sisa permukiman kuno yang padat mengelompok di kawasan Lambur (Lambur Luar dan Lambur Dalam) dan Pemusiran Dalam (Sitihawa).
Gambar . Pelabuhan Muara Sabak di Delta Batanghari.
Rumah panggung
Batang-batang nibung untuk bangunan rumah panggung kuno tidak hanya terdapat di Delta Batanghari saja.
Penggunaan batang nibung dijumpai pula di kawasan Air Sugihan (Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan). Pada tahun 2007 Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional melaksanakan penggalian arkeologi di Kertamukti1 Air Sugihan pada lahan bekas sungai kecil dan rawa yang terletak di daerah permukiman transmigrasi. Dalam ekskavasi ditemukan sisa-sisa bangunan rumah panggung bertiang nibung. Selain itu ditemukan pula tali ijuk (Arrenga pinnata), pecahan-pecahan tembikar dan keramik Cina, manik-manik, sudip dari kayu dan fosil kayu. Di kawasan Air Sugihan keramik dari Cina yang paling banyak ditemukan berasal dari abad IX-X Masehi pada masa Dinasti Tang.
Pada masa sekarang, penduduk yang tinggal di daerah rawa pasang surut yang relatif dekat dengan pantai masih banyak yang menempati rumah panggung bertiang nibung. Jenis tumbuhan ini biasanya terdapat pada hutan mangrove. Selain nibung, lingkungan semacam itu juga menyediakan nipah yang berlimpah. Daun nipah digunakan untuk atap rumah dan atap perahu kajang.
Pada daerah rawa lebak yang letaknya jauh dari pantai, rumah-rumah panggung tidak menggunakan batang nibung dan atap nipah. Pengamatan di hulu Sungai Lalan di wilayah Kecamatan Bayung Lincir, Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatera Selatan, seperti Desa Bakung, Muara Merang, Muara Medak, Sentang, Pejudian, Bayung Lencir, Mangsang, Muara Bahar, Bayat Ilir, Simpang Bayat dan Pagardesa, rumah-rumah panggung seluruhnya menggunakan jenis-jenis kayu keras, seperti tembesu, petaling, dan medang. Daun nipah untuk atap rumah diganti dengan daun serdang.
Perahu
Setelah beberapa hari melacak alur-alur di Delta Batanghari, akhirnya tim arkeologi menelusuri Sungai Simburnaik dengan perahu ketek sampai ke pantai. Perahu memang alat transportasi utama di daerah lahan basah sejak dulu. Papan-papan perahu kuno telah ditemukan di Lambur Luar Parit 6 beberapa tahun yang lalu.
Papan-papan perahu kuno ini memiliki lubang-lubang yang terdapat di bagian permukaan dan sisi papan serta lubang-lubang pada tonjolan segi empat yang menembus lubang di sisi papan. Inilah teknik rancang bangun perahu dengan teknik papan ikat dan kupingan pengikat (sewn plank and lushed plug technique), tradisi Asia Tenggara. Tonjolan segi empat atau tambuku digunakan untuk mengikat papan-papan dan mengikat papan dengan gading-gading dengan menggunakan tali ijuk (Arrenga pinnata). Tali ijuk dimasukan pada lubang di tambuku. Biasanya penggunaan pasak kayu untuk memperkuat ikatan tali ijuk.
Teknologi perahu semacam itu umum ditemukan di daerah lahan basah pantai timur Sumatra. Di wilayah Sumatera Selatan, bangkai perahu ditemukan di Situs Samirejo, Mariana (Kabupaten Banyuasin), Situs Kolam Pinisi (Palembang) dan di Situs Tulung Selapan (Kabupaten Ogan Komering Ilir). Papan-papan perahu dari Situs Samirejo dan Situs Kolam Pinisi telah dianalisis laboratorium dengan menggunakan metode carbon dating C14. Sepotong papan dari Situs Kolam Pinisi menghasilkan pertanggalan kalibrasi antara 434 dan 631 Masehi, sedangkan papan dari Situs Samirejo berasal dari masa antara 610 dan 775 Masehi (Lucas Partanda Koestoro, 1993).
Selama menelusuri sungai yang berliku, masih tampak pohon-pohon nipah yang tumbuh bergerombol. Sebaliknya, tak sebatang nibung pun yang kelihatan. Sulitnya mencari pohon nibung tidak hanya di Delta Batanghari saja. Di daerah rawa pasang surut Sumatera Selatan kini pohon-pohon nibung menjadi pemandangan yang langka.
Kondisi lingkungan daerah lahan basah di pantai timur
Seribu tahun lalu pantai timur
Sepucuk Nipah Serumpun Nibung. Demikian ungkapan jatidiri Kabupaten Tanjung Jabung Timur di Jambi. Ungkapan itu bisa juga dijadikan inspirasi guna melestarikan lingkungan lahan basah beserta warisan budaya yang ada di dalamnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar