ombongan besar itu terus bergerak. Dua puluh ribu serdadu mengawal seorang raja agung naik perahu menyusuri Sungai Musi dengan perbekalan 200 peti. Rombongan yang berjalan kaki 1.312 tentara. Mereka berangkat dari suatu tempat yang bernama Minanga melakukan perjalanan menuju Mukha Upang selama 29 hari. Sampai di tempat tujuan, sang raja kemudian membangun kampung (wanua). Sang raja menyebut ekspedisi itu sebagai jaya siddayatra, yaitu perjalanan suci untuk kejayaan Sriwijaya.
Kisah perjalanan itu terukir dalam prasasti batu yang ditemukan oleh seorang bangsa Belanda tahun 1920 di Desa Kedukan Bukit di bagian barat Kota Palembang. Prasasti bertulis huruf Palawa dan berbahasa Melayu Kuno itu menyebutkan pada tanggal 16 Juni 682 Masehi, raja yang bernama Dapunta Hiyang Sri Jayanasa mendirikan wanua sebagai tempat istananya yang baru. Wanua itu kemudian berkembang menjadi pusat Kerajaan Sriwijaya sampai abad ke-13 Masehi.
Sejak tahun 1986 sampai 1993 telah dilakukan penggalian arkeologis di Situs Karanganyar. Ribuan pecahan tembikar (earthenware) dan keramik-keramik asal Cina abad ke-8-10 Masehi ditemukan di dalam tanah.
Sekitar Situs Karanganyar dijumpai situs-situs arkeologi lainnya, yaitu Situs Kambang Unglen, Ladang Sirap, Padang Kapas, dan Talang Kikim. Di Situs Kambang Unglen ditemukan pecahan keramik Cina masa Dinasti Tang (8-10 M) dan Dinasti Song (11-13 M), manik-manik dan sisa pengerjaan manik-manik. Di situs itu juga ditemukan lantai bangunan bata serta fragmen-fragmen prasasti batu. Keramik dari masa yang sama ditemukan pula di Situs Ladang Sirap, Talang Kikim dan Padang Kapas.
Kawasan Situs Karanganyar kemudian ditetapkan sebagai Taman Purbakala Kerajaan Sriwijaya (TPKS) yang diresmikan oleh Presiden Soeharto tahun 1994. Sebuah museum dibangun di tempat itu untuk memamerkan artefak-artefak hasil penelitian sekaligus sebagai pusat informasi Sriwijaya. TPKS dapat dikembangkan menjadi obyek wisata budaya sekaligus terlestarikannya sisa peninggalan masa Sriwijaya.
Bukit Siguntang
Di bagian utara situs Karanganyar terdapat Bukit Siguntang, bukit sakral masa Sriwijaya. Bukit yang tingginya sekitar 26 meter di atas permukaan laut itu adalah tanah yang paling tinggi di
Bukit Siguntang sekarang menjadi ajang muda-mudi memadu kasih. Di antara rimbunnya pepohonan berdiri bangunan-bangunan modern yang menghilangkan citra dan alam Sriwijaya. Di puncak bukit berdiri bangunan-bangunan menara pandang dan makam-makam baru yang dimitoskan sebagai makam tokoh-tokoh yang menurunkan raja-raja Melayu di Sumatera dan di Semenanjung. Sosok menara pemancar seluler menjulang tinggi di kaki bukit. Semua itu menciptakan polusi visual lingkungan situs.
Padahal bukti-bukti arkeologis menunjukkan bahwa Bukit Siguntang merupakan tempat bersejarah masa Kerajaan Sriwijaya. Sesosok arca Buddha dari batu dengan tinggi 3,6 meter yang kini dipajang di halaman Museum Sultan Mahmud Baddaruddin II di tepi Sungai Musi, berasal dari Bukit Siguntang yang ditemukan tergeletak di lereng selatan bukit. Terkait dengan arca itu terdapat sisa-sisa bangunan stupa dari bata, arca bhodisatwa, kepala arca Buddha dari perunggu,lempengan emas bertulis dan dua prasasti batu.
Artefak-artefak itu menggambarkan Bukit Siguntang sebagai tempat peribadatan kaum agama Buddha sejak abad ke-6 Masehi. Peranan Sriwijaya dalam pengembangan agama Buddha telah dikenal melalui Berita Cina. I-Tsing menceritakan dalam kitabnya yang ditulis antara tahun 691-692 Masehi bahwa Sriwijaya menjadi pusat agama Buddha. Tercatat lebih dari 1000 orang bhiksu belajar di negeri bahari itu.
Salah satu fragmen prasasti batu dari Bukit Siguntang mengisahkan peperangan. Penggalan-penggalan kalimat dalam bahasa Melayu Kuno dari abad ke-7 Masehi itu berbunyi “tidak tahu berapa banyak yang berperang” dan “banyak darah yang tertumpah”. Isi prasasti itu menambah misteri Bukit Siguntang yang baru sedikit tersingkap oleh arkeolog.
Selain prasasti Kedukan Bukit , ditemukan prasasti batu lainnya yang berangka tahun di
Sisa-sisa peradaban Sriwijaya tidak hanya terdapat di bagian barat Kota Palembang, tetapi memanjang mengikuti aliran Sungai Musi. Singkat kata,
Pada bagian tengah
Lokasinya memang strategis, yaitu di tepi Sungai Musi yang paling lebar sehingga dapat dilayari puluhan kapal besar. Hasil penggalian di tengah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar