Tulisan ini bertujuan untuk memberitakan upaya-upaya, rencana-rencana serta kendala-kendala yang dihadapi dalam mengembangkan arkeologi-maritim khususnya di Balai Arkeologi Palembang.
- Pendahuluan
Arkeologi Lahan Basah (Wetland Archaeology) di Indonesia. Lahan basah yang mencakup rawa pasang surut, rawa gambut,rawa belakang sungai, hutan bakau, danau, lagun, dataran banjir sungai dan lainnya pernah menjadi tempat bermukim manusia masa lalu. Pusat peradaban kuna juga muncul dari lahan basah. Penelitian, pelestarian dan pemanfaatan situs-situs arkeologi di lahan basah sudah waktunya diprioritaskan untuk mengungkap kejayaan maritim bangsa Indonesia.
Selat Karimata memang penting dan strategis. Selat yang lebarnya 150 km itu menghubungkan antara Laut Cina Selatan dan Laut Jawa. Letaknya di antara Pulau Belitung dan Pulau Kalimantan. Dari Pulau Belitung sekitar 70 mil di sebelah timur laut.
Menurut David E. Shoper (1977) dalam bukunya: The Sea Nomads: A Study of the Maritime Boat People of Southeast Sumatra, kelompok pulau-pulau di Selat Karimata memiliki hubungan dengan Pulau Belitung dan Kepulauan Riau-Lingga pada masa lalu, terutama tentang budaya orang laut (sea nomad). Di Pulau Belitung terdapat Suku Sekah yang menyebut diri mereka sebagai orang “Manih Bajau” yang berarti “descendant of the Bajau”, atau keturunan orang Bajau dari Sulawesi. Orang-orang Sekah sering menjelajah mencari tripang sampai ke pesisir Kalimantan dan Lampung. Orang Sekah memiliki tempat penguburan di Pulau Selanduk di sebelah barat Pulau Belitung.
Di Pulau Karimata terdapat permukiman Suku Galang yang muncul pada pertengahan abad XIX Masehi yang pernah dikunjungi oleh orang laut (sea nomad) dari Pulau Belitung. Selain Suku Sekah, di Pulau Belitung terdapat orang laut lainnya, yaitu orang Juru yang beragama Islam dan tinggal di Pulau Lepar. Mereka telah menggunakan perahu yang lebih besar daripada perahu orang Sekah. Telah terjadi percampuran budaya antara orang Sekah dan orang Juru melalui perkawinan. Mereka bermukim di Tanjung Pandan, Mangar dan memiliki tempat (outlet) timah di bagian timur Belitung dan sebuah perkampungan di Pulau Karimata.
Banyak pulau yang tersebar di sekitar Selat Karimata, sebagian masuk wilayah Provinsi Kepulauan Bangka-Belitung dan pulau-pulau lainnya masuk wilayah Provinsi Kalimantan Barat. Pulau-pulau yang masuk wilayah Provinsi Kalimantan Barat, terutama di Kabupaten Kayong Utara , tercatat ada 108 pulau yang meliputi :
- Kecamatan Kendawangan 30 pulau, Matan Hilir Selatan dan Benua Kayong 2 pulau, Matan Hilir Utara, Delta Pawan, Muara Pawan 5 pulau, Sukadana 10 pulau, Pulau Maya Karimata 61 pulau (tidak berpenghuni 26 pulau).
Gunung Tote
Eksplorasi baru dilakukan pada tahun 2009 dengan fokus Pulau Maya dan pulau-pulau kecil sekitarnya. Tanggal 17 Mei 2009 saya bertolak dari Palembang menuju Pontianak . Esoknya berangkat menuju Kota Ketapang untuk bergabung dengan Tim Balai Arkeologi Banjarmasin. Hanya 35 menit numpak pesawat kecil dari Pontianak ke Kota Ketapang. Perjalanan dilanjutkan dengan mobil selama 1,5 jam menuju Sukadana, ibukota Kabupaten Kayong Utara (KKU). Sukadana lebih mendekati ciri-ciri desa daripada kota.
Tim bermalam di hotel yang dibangun di atas pantai pasang surut hutan mangrove. Waswas juga tidur di hotel yang mengangkangi laut itu, jangan-jangan muncul pasang besar yang dapat menggenangi kamar.
Esok pagi tim berangkat dengan speedboat ke Pulau Maya. Empat puluh lima menit lamanya perjalanan sampai di Desa Tanjung Satai. Di desa ini issue tentang peninggalan purbakala yang spektakuler telah santer dibicarakan penduduk. Foto-foto yang diperlihatkan seorang petugas kecamatan membuat tim tercengang. Foto-foto itu memperlihatkan patung-patung kuno dan lukisan bangunan candi yang dipahat pada permukaan batu besar. Selain itu penduduk menceritakan harta karun lainnya berupa emas, manik-manik, dan keramik kuno. Semua peninggalan tersebut terdapat di kaki Gunung Tote yang masuk wilayah Desa Dusun Kecil.
Dua jam perjalanan dengan speedboat menuju Desa Dusun Kecil, kemudian dilanjutkan dengan naik perahu kecil menyusuri Sungai Tote. Sampai di hulu sungai, perjalanan dilanjutkan sampai ke lokasi situs dengan jalan kaki selama 30 menit menapaki lumpur hutan mangrove.
Situs Gunung Tote tampak porak poranda. Sisa-sisa lubang galian liar bertebaran dimana-mana. Sesosok patung batu berbentuk sapi alias arca nandi (Hindu) telah dipotong kepalanya karena disangka di dalamnya terdapat emas. Perusakan itu dilakukan karena sebelumnya para penjarah menemukan benda-benda emas di bawah kaki arca batu berbentuk dewa Wisnu (?) setinggi 120 cm dan bobot 125 kg.
Pahatan dua bangunan stupa pada batu besar masih dapat dilihat di lokasi. Pahatan ini diperkirakan sezaman dengan pahatan serupa di Situs Batu Pait di Kalimantan Barat, diperkirakan abad V-VI Masehi. Terlihat ada upaya menggeser batu besar itu untuk mencari emas di bawahnya, namun batu itu tidak dapat digerakkan karena terlalu besar dan berat.
Seorang informan menceritakan penggalian massal itu dilakukan pada tahun 2007. Mereka menemukan 8 arca batu yang terdiri satu arca besar dan 7 arca kecil. Arca besar sempat di simpan di rumah Bapak Saleh, seorang dukun yang tinggal di Dusun Tote. Ketika ditemui di rumahnya, arca itu tidak berada di tempatnya lagi. Menurut Bapak Soleh arca itu telah dibawa oleh orang-orang dari Desa Paritjali, Kecamatan Teluk Batang sekitar dua bulan yang lalu.
Berdasarkan informasi dari berbagai sumber, penggalian tersebut dilakukan orang-orang dari Desa Paritjali, Kecamatan Teluk Batang. Tim Balai Arkeologi Banjarmasin segera melacak temuan sampai ke Parit Jali.
Di Paritjali tim langsung bertemu dengan penyandang dana “Proyek Gunung Tote”. Sang boss mengeluarkan dana besar untuk menyediakan mesin penyedot pasir dan dongkrak hidrolik untuk mengangkat bebatuan gunung (relief stupa) yang diduga terdapat emas di bawahnya. Selain arca mereka menemukan keramik, gerabah, manik-manik, senjata logam (kapak), nampan dan penginangan dari kuningan. Seorang penduduk Desa Paritjali menceritakan mereka berhasil mengumpulkan emas seberat ± 4 kg emas dalam bentuk bulatan, lantakan, dan lembaran. Emas-emas tersebut ditemukan di bawah arca besar tadi kemudian dilebur lalu dijual.
Tim Arkeologi memperkirakan peninggalan-peninggalan tersebut berasal dari abad V hingga abad XVIII Masehi. Sejak awal Masehi daerah sekitar Selat Karimata memang telah ramai sebagai jalur perdagangan dari Cina dan India menuju Kalimantan, pantai timur Sumatera dan Jawa.
Rupa-rupanya perompak atau lanun tidak hanya ada pada zaman dulu. Bila dulu mereka membajak muatan kapal-kapal dengan senjata, lanun zaman sekarang merompak situs dengan mesin penyedot air dan dongkrak hidrolik. Dilakukan secara terang-terangan tanpa ada yang mencegahnya. Tanpa ada yang peduli. Hah?!
2 Juni 2009. Jam 7 pagi pesawat terbang menghampiri tanah. Pohon-pohon sagu dan tumbuhan rawa lainnya berkelebat dengan cepat. Roda pesawat menyentuh landasan pacu dengan halus. Bandara Sentani, gerbang utama ke Jayapura seolah mengucapkan selamat pagi kepada penumpang untuk menikmati keindahan Danau Sentani, daerah lahan basah yang luas di Sentani.
Bagi orang yang baru pertama datang ke tanah Papua, Danau Sentani mengundang decak kagum. Dari udara danau itu terlihat seperti empang yang menggenangi kaki Pegunungan Cyclops. Ada 16 pulau kecil terserak di tengah danau tampak seperti bunga-bunga teratai yang mengapung di atas air berwarna hijau kebiruan. Danau ini menampung sekitar 35 aliran sungai kecil yang berhulu di pegunungan.
Perjalanan dilanjutkan dengan mobil ke kota Jayapura selama satu jam menyusuri pinggiran danau. Danau yang panjangnya sekitar 26 km itu terletak pada ketinggian sekitar 75 meter di atas permukaan air laut. Sepanjang tepi danau berdiri rumah-rumah penduduk yang sebagian besar berbentuk rumah panggung.
Pagi itu berdatangan para arkeolog seluruh Indonesia ke Jayapura dengan membawa poster dan artefak-artefak dari batu, tanah liat, kaca dan logam. Mereka mengadakan pameran akbar tentang kehidupan prasejarah di nusantara. Papua Trade Center di Jayapura dipilih sebagi tempat pameran yang mempertemukan pendukung-pendukung budaya prasejarah dari bangsa Austronesia dan bangsa Melanesid, asal nenek moyang bangsa Indonesia.
Bagi masyarakat Sentani dan Papua pada umumnya tradisi prasejarah masih berlangsung sampai saat ini. Masyarakat yang tinggal di sekitar Danau Sentasi ikut terlibat dalam pameran dengan memperagakan cara-cara membuat tembikar, alat batu, alat tulang dan lukisan pada kulit kayu. Teknologi yang digunakan berasal dari masa prasejarah. Lihat saja, mereka membuat wadah tembikar langsung dengan tangan, tanpa roda putar. Beliung batu yang diupam halus dibuat dengan cara menggosok bakal alat itu dengan batu juga. Beliung batu itu bentuk dan tekniknya mirip dengan beliung batu zaman neolitik. Mereka mencari tulang-tulang burung kasuari dan tulang-tulang babi untuk dibentuk menjadi alat pisau. Bentuk alat-alat tulang tersebut mirip dengan artefak dari tulang yang ditemukan pada gua-gua prasejarah di Pegunungan Seribu, di Jawa. Para arkeolog menyebut bentuk alat tulang itu sebagai spatula.
Danau Sentani dengan ekosistem lahan basah (wetland) memiliki keanekaragaman hayati yang dibutuhkan untuk kehidupan manusia. Sejak zaman prasejarah di tempat itu telah dihuni oleh manusia. Teknologi yang diperagakan masyarakat Sentani sekarang boleh dibilang menjadi dokumentasi hidup tentang kehidupan prasejarah di nusantara.
Wilayah Sumatera Selatan terdapat sungai-sungai besar yang dapat dilayari sampai ke hulu, yaitu Sungai Musi, Ogan, Komering, Lematang, Kelingi, Rawas, Batanghari Leko, Calik dan Lalan. Sungai-sungai besar ini merupakan urat nadi kehidupan masyarakat sejak masa lampau berdasarkan bukti-bukti arkeologis yang tersebar di daerah aliran sungai. Sungai Lematang mengalir di tengah-tengah aliran-aliran sungai yang lain. Dilihat dari posisinya secara geografis, Sungai Lematang memiliki peran penting dalam jaringan komunikasi dan transportasi sungai di Daerah Batanghari Sembilan.
Sungai Lematang berhulu di dataran tinggi Pasemah kemudian mengalir melalui Muara Enim dan bertemu dengan Sungai Enim yang berhulu di daerah Sinar Bulan, Kabupaten Lahat. Aliran Sungai Lematang terus melewati Tanah Abang dan akhirnya bermuara di Sungai Musi, yaitu sungai antiklinal di bagian hilirnya. Di daerah dataran rendah Sungai Lematang memiliki banyak kelokan (meander) dan aliran sungai berpindah-pindah. Seperti sungai-sungai lainnya di Sumatera Selatan, Sungai Lematang mengalami pendangkalan oleh endapan-endapan material dari hulu. Perpindah aliran sungai dan pendangkalan sungai ini berpengaruh terhadap keberadaan situs-situs arkeologi yang ada di sepanjang aliran sungai dan bahkan telah mengakibatkan tergerus dan hilangnya situs.
Bukan hal yang kebetulan apabila di sepanjang aliran Sungai Lematang mengelompok situs-situs arkeologi dari hulu ke hilir. Hulu Sungai Lematang melewati wilayah-wilayah yang subur dan telah dihuni manusia sejak zaman prasejarah. Tinggalan megalitik di Lahat dan Pagaralam menunjukan bahwa awal tumbuhnya peradaban di wilayah Sumatera Selatan di mulai dari dataran tinggi Pasemah. Di daerah hilir di dataran rendah tersebar situs-situs arkeologi, yaitu Kompleks percandian Bumiayu, Situs Babat dan Situs Modong.
Sungai Lematang menghubungkan antara kebudayaan di pedalaman dan kebudayaan di hilir Sungai Musi, yaitu antara kebudayaan Pasemah dan pusat Sriwijaya di Palembang. Di antara kedua pusat kebudayaan itu terletak kawasan situs percandian Bumiayu, Situs Babat dan Situs Modong. Lokasi kawasan candi tersebut dalam ruang dan waktu sangat berpengaruh terhadap perkembangan kawasan dan karakteristik budaya kawasan tersebut. Sebagaimana diketahui kebudayaan megalitik Pasemah merupakan sebuah tradisi budaya yang tetap eksis pada masa Sriwijaya (VII-XIII Masehi) dan bahkan sampai masa-masa berikutnya. Pada masa Sriwijaya komuniti-komuniti di dataran tinggi Pasemah hidup dalam tradisi budaya megalitik, walaupun pengaruh kekuasaan Sriwijaya di
Sementara itu hubungan antara pusat Sriwijaya di Palembang dengan kawasan situs Bumiayu merupakan hubungan yang struktural. Piere Yves Manguin dkk (2006) mempersoalkan apakah kawasan situs Bumiayu adalah pusat sistem politik yang otonom (mandala) yang berfungsi pada daerah yang mengelilingi Sriwijaya, seperti yang tersirat dalam prasasti-prasasti abad VII Masehi yang diterbitkan oleh penguasa Sriwijaya.
Tidak sedikit penelitian dan kajian tentang keberadaan kawasan percandian Bumiayu di daerah aliran Sungai Lematang dalam konteks lingkungan, sejarah dan budaya. Dalam konteks lingkungan dipaparkan kondisi geologis-geografis serta ditelaah adaptasi manusia dan faktor-faktor yang mempengaruhi pemilihan lokasi situs. Hal yang tidak dapat diabaikan adalah konteks sejarah untuk menempatkan situs candi Bumiayu dalam kaitannya dengan urut-urutan peristiwa pada masa Kerajaan Sriwijaya di Sumatera dan hubungan-hubungan sosial-ekonomi-politik dengan kerajaan-kerajaan lain. Konteks sejarah ini dapat bertalian dengan konteks budaya khususnya pengaruh kalangan elit (raja dan kaum pendeta) dalam menentukan teritori Kerajaan Sriwijaya, pemilihan lokasi bangunan suci dan agama yang melatarinya. Demikian pula campur tangan elit tetap dominan pada seni dan arsitektur bangunan dan arca, makna-makna simbolik yang terkandung dalam budaya materi dan aktivitas-aktivitas ritual bahkan aktivitas sosial-ekonomi sehari-hari di kawasan Bumiayu. Semua konteks tersebut harus ditafsirkan melalui artefak-artefak (dalam arti luas) yang ditemukan dalam konteks arkeologi, dimana tinggalan tersebut telah mengalami transformasi bentuk, ruang dan waktu.
Sebenarnya berbagai kajian itu merupakan upaya para arkeolog dan peneliti untuk merekonstruksi kehidupan manusia masa lalu di kawasan candi Bumiayu secara multidimensi. Namun keterbatasan data (terutama data arkeologi dan data tekstual) yang diperoleh selama ini menyebabkan peradaban kuna itu masih merupakan tabir yang baru sebagian tersibak.
Sungai Lematang yang punya peran besar terhadap tumbuhnya peradaban tersebut tampaknya belum mendapat perhatian yang besar oleh para arkeolog untuk dikaji lebih luas dan lebih dalam. Karakteristik sungai Lematang dan jaringannya dengan aliran-aliran sungai lainnya, serta penempatan situs pada lokasi-lokasi tertentu di daerah aliran sungai merupakan salah satu kunci untuk menafsirkan peran dan fungsi kawasan situs Bumiayu dalam skala makro.
Tulisan ini memfokuskan pada peranan Sungai Lematang sebagai jalur komunikasi pada masa Kerajaan Sriwijaya dalam tumbuh kembangnya peradaban di daerah alirannya. Kawasan situs Bumiayu merupakan situs masa Sriwijaya yang menjadi pokok bahasan kajian ini dengan menggunakan pendekatan keruangan dalam arkeologi (spatial archaeology) dan pendekatan wilayah. Bertitik tolak dari persebaran dan hubungan antarsitus serta kaitannya dengan lingkungan, maka situs arkeologi dan lingkungan sekitarnya dianggap sebagai tempat manusia masa lalu melakukan aktivitas-aktivitas misalnya aktivitas rumah tangga, subsistensi, ritual, dan aktivitas sosial lainnya. Dengan mengadopsi konsep-konsep geografi, situs merupakan ajang sosial (social space) masa lampau dimana terjadi proses-proses kehidupan (social processes) yang berlangsung secara teratur dan terus menerus, atau juga dapat secara tidak tetap. Proses-proses kehidupan tersebut menimbulkan pola-pola kehidupan (social patterns) tertentu (Bintarto 1995).
Identifikasi hubungan antarsitus pada gilirannya mengarah pada hubungan eksternal dari kegiatan sosial penduduk masa lalu pada suatu wilayah dengan penduduk di wilayah lain melalui berbagai jalur komunikasi. Dalam hal ini dipelajari hubungan antara kawasan situs Bumiayu dengan pusat kerajaan Sriwijaya dan hubungan dengan daerah pedalaman yang kaya dengan sumber-sumber alam.
Hubungan-hubungan eksternal semacam itu pada masa Sriwijaya telah ditelaah oleh beberapa ahli dalam bentuk model dan teori. Sebagai contoh diambil di sini adalah model tentang hubungan antara kadatuan Sriwijaya di pusat dengan mandala-mandala di sekitarnya dalam wilayah (bhumi) Sriwijaya oleh Hermann Kulke (1993) berdasarkan kajian terhadap Prasasti Telaga Batu (Sabokingking) abad VII Masehi. Kadatuan atau keraton sebagai tempat tinggal raja dilingkungi oleh sebuah wilayah yang disebut wanua yang berciri kekotaan (urban) dimana terdapat bangunan-bangunan suci dan bangunan-bangunan publik lainnya.
Dari segi ekonomi dan perdagangan dikembangkan model dendritik sebagai penyesuaian dari teori tempat pusat (central place teory). Beberapa ahli misalnya Bennet Bronson (1977), yang kemudian dikembangkan oleh John Miksic (1984) dan Piere Yves Manguin (2002) telah menerapkan model tersebut pada wilayah Sumatera yang memiliki jaringan sungai yang menghubungkan antara daerah pesisir dan daerah pedalaman melalui kajian arkeologi. Model dendritik digunakan untuk menjelaskan jenjang situs mulai dari situs yang dianggap sebagai tempat pusat tingkat pertama (di hilir dan muara sungai di pantai) dan kaitannya dengan situs-situs di tempat-tempat pusat yang lebih rendah tingkatannya yang terdapat pada anak dan cabang sungai di hulu dan di pertemuan sungai.
Kedua model struktur keruangan tersebut (model teritori konsentris dan model dendritik tempat pusat) tentunya menjadi bahan pertimbangan untuk menafsirkan peran Sungai Lematang sebagai jalur komunikasi yang mempengaruhi tumbuh kembangnya peradaban kuna di kawasan situs Bumiayu.
Kawasan Situs Bumiayu
Keberadaan situs percandian Bumiayu pertama kali dilaporkan oleh Tombrink pada tahun 1864, kemudian oleh Knapp 1902 dan tahun 1930an oleh Westenenk, Bosch dan Schnitger. Dalam laporan Knapp yang mengadakan perjalanan melalui Sungai Lematang ia sampai pada sebuah gundukan (tumulus) yang tingginya 1,75 meter yang mengandung bata. Menurut penduduk situs itu merupakan peninggalan Kerajaan Kadebong Undang yang wilayahnya mencakup Modong dan Babat. Di Situs Babat Schnitger mencatat adanya sebuah arca Brahma dan di Situs Modong terdapat sebuah lingga (Soeroso 1994).
Kawasan Situs Bumiayu, Situs Modong dan Babat menempati lembah Sungai Lematang. Secara administratif Kawasan situs Bumiayu terletak di Desa Bumiayu, Kecamatan Tanahabang, Kabupaten Muara Enim, Provinsi Sumatera Selatan, sedangkan Situs Modong berada di bagian hilirnya berjarak sekitar 17 km. Situs Modong dan Babat kini hanya menyisakan pecahan-pecahan bata kuno dan lokasi sekitar situs Modong telah menjadi lahan pemakaman penduduk. Sebagian besar sisa bangunan bata telah hilang karena pengikisan tebing sungai.
Proses fluvial yang terjadi di sepanjang aliran Lematang berupa pengikisan, pengendapan dan pengangkutan material oleh air. Pada saat banjir air meluap sampai ke dataran, air mengendapkan material sungai sehingga membentuk tanggul alam (natural levee), yaitu tempat yang lebih tinggi, sedangkan daerah yang lebih rendah dan cekung selalu tergenang air banjir sehingga membentuk rawa belakang (backswamp). Pengikisan terjadi pada tebing luar meander sungai, sedangkan di teras bagian dalam meander terjadi pengendapan. Akibat pengikisan tebing luar meander terjadi pemenggalan meander dan air sungai mengalir meneruskan saluran yang dibentuk oleh pemenggalan itu. Meander yang terpenggal itu pada kedua ujungnya tersumbat oleh endapan tanahliat karena kederasan aliran air berkurang (Tjia 1987). Penggalan meander yang sudah terpisah dari sungai asalnya dan masih berisi air disebut danau ladam (oxbow lake), sedangkan jika kering dikenali sebagai saluran penggalan meander (meander cut-off).
Beberapa bentuklahan (landform) yang terbentuk oleh proses fluvial tersebut merupakan tempat-tempat yang dipilih manusia untuk bermukim. Pada masa sekarang perkampungan penduduk Bumiayu dan sekitarnya menempati tanggul alam, teras meander, teras danau ladam (ox-bowe lake) dan dataran aluvial. Kompleks percandian Bumiayu menempati dataran aluvial di sisi barat Sungai Lematang dengan latar belakang Danau Candi yang merupakan rawa belakang. Pada bagian utara kawasan situs dijumpai lagi rawa belakang yang dikenal dengan nama Danau Lebar.
Pada sisi timur aliran Sungai Lematang terletak Danau Besar dan Danau kecil, keduanya merupakan ujung-ujung dari sebuah danau ladam yang terbentuk oleh penggalan meander. Penduduk menyebutnya Danau Keman. Pada teras bekas meander Sungai Lematang itu ditemukan artefak-artefak tembikar dan keramik kuna yang menunjukkan adanya permukiman kuna. Pada masa lalu lokasi tersebut menyatu dengan kawasan percandian sebelum dipisahkan oleh aliran Sungai Lematang. Dahulu dusun lama Bumiayu terletak di teras danau ladam itu, ketika aliran Sungai Lematang berpindah, penduduk pun ikut pindah di lokasi sekitar candi sekarang.
Pada saat ini proses pengikisan tebing luar meander Sungai Lematang semakin mengancam keberadaan situs candi. Pengukuran erosi meander pada tahun 1991-1992 memperlihatkan bahwa perpindahan Sungai Lematang akibat erosi ke samping atau erosi meander adalah lebih kurang 10 meter/tahun. Pada saat itu diperkirakan pada tahun 2013 candi yang terdekat dengan sungai, yaitu Candi 1 akan lenyap karena erosi meander (Intan 1994)[1]. Pada tahun 2006 - 2007 beberapa rumah penduduk telah lenyap karena lahannya runtuh ke sungai.
Gambar 3. Erosi di tebing luar meander sungai telah melenyapkan rumah-rumah penduduk di Desa Bumiayu.
Para ahli memperkirakan kronologi kawasan situs Bumiayu berasal dari abad IX – XIII Masehi berdasarkan analisis keramik (lihat tulisan Eka Asih Putrina), gaya arsitektur candi (lihat tulisan Tri Marhaeni) dan bentuk tulisan kuno (paleografi) pada selembar kerta emas yang ditemukan pada buli-buli di sekitar situs (Atmodjo 1993). Analisis C-14 dari sampel arang yang ditemukan dalam penggalian Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional (Puslitbang Arkenas) pada 2007, menghasilkan pertanggalan sekitar tahun 1110 – 1330 atau abad XII – XIV Masehi.
Kronologi kawasan situs candi tersebut mengarah pada hubungan antara Kerajaan Sriwijaya di Sumatera dan kerajaan-kerajaan di Jawa. Pada abad IX Masehi terjadi peperangan antara raja Balaputra dengan iparnya, Rakai Pikatan. Balaputra berhasil dikalahkan kemudian melarikan diri ke Suwarnadwipa dan menjadi raja di Sriwijaya (BB Utomo 1993). Satyawati Sulaiman (dalam BB Utomo 1993) beranggapan bahwa arca-arca yang bergaya seni Jawa Tengah atau bergaya Sailendra dibawa oleh keluarga Sailendra (Balaputra) yang menyingkir ke Sumatera pada pertengahan abad IX Masehi.
Pemetaan awal pada situs ini pada tahun 1991 oleh Pusat Penelitian Arkeologi Nasional menampakkan adanya gundukan-gundukan tanah yang dikelilingi oleh sungai-sungai kecil, yaitu Sungai Piabung, Sungai Tebat Jambu, Sungai Tebat Tholib, Sungai Tebat Siku dan Sungai Tebat Panjang. Sungai-sungai tersebut saling berhubungan sebagai pembatas lahan candi dan alirannya kemudian masuk ke Sungai Batanghari Siku yang bermuara ke Sungai Lematang.
Lahan percandian seluas kurang lebih 75 ha yang dikelilingi sungai-sungai merupakan lokasi yang dipilih para elit (Guru, silpin) untuk mendirikan bangunan suci. Menurut pandangan agama Hindu, suatu tempat suci adalah suci karena potensinya, yaitu tanahnya, sedangkan bangunan menduduki tempat nomor dua (Soekmono 1974; Ferdinandus 1993). Hal ini mengacu pada konsep ksetra dan tirtha dalam persyaratan mendirikan bangunan suci di
Di luar area percandian yang dikelilingi sungai yang membentuk parit keliling, ditemukan situs-situs permukiman di sepanjang Sungai Lematang. Tidak tertutup kemungkinan di sepanjang tepi aliran Lematang dari percandian Bumiayu sampai ke situs Modong dan Babat pernah dimukimi oleh penduduk masa lalu dalam beberapa kelompok, namun jejak-jejaknya sebagian telah terhapus oleh erosi tebing meander dan berpindah-pindahnya aliran Sungai Lematang. Sisa-sisa hunian juga ditemukan di dalam area percandian (di dalam parit keliling) melalui penggalian-penggalian arkeologis yang dilaksanakan oleh Balai Arkeologi Palembang dan Puslitbang Arkenas.
Struktur Internal dan Hubungan Eksternal
Serangkaian penelitian arkeologi menggambarkan adanya kelompok-kelompok permukiman penduduk pada masa berfungsinya candi-candi di Bumiayu, yaitu permukiman pada area candi dan permukiman di sepanjang tepi aliran Sungai Lematang. Bukti-bukti arkeologis tersebut menggiring kita kepada skenario mengenai kehidupan kelompok-kelompok sosial di kawasan Bumiayu. Dapat dibayangkan sedikitnya ada dua kelompok sosial yang mendukung tumbuhnya peradaban di wilayah Bumiayu, yaitu kelompok elit dan kelompok penghasil bahan makanan dan pengumpul bahan
Kelompok elit menempati lokasi pusat (central place), mungkin pada area percandian atau dekat area percandian. Kelompok ini mengatur dan mengelola kegiatan-kegiatan ritual keagamaan, memelihara candi dan bangunan-bangunan serta lainnya di area percandian. Kelompok ini terdiri dari para pendeta dan pembantu-pembantu pendeta yang bertugas menyiapkan upacara serta kelengkapannya dan mengurus bangunan suci. Kelompok elit lainnya adalah kalangan birokrasi yang mengatur daerah Bumiayu secara otonom. Kelompok ini dipimpin oleh seorang yang berkuasa di wilayahnya yang mengatur segala urusan untuk kepentingan status dan kekuasaan mereka. Mengacu pada model teritori Kulke (1993) pimpinan kelompok elit itu semacam datu yang membawahi sebuah mandala. Datu, keluarga dan pembantu-pembantunya menempati lokasi pusat (central place) yang dilingkungi oleh hunian kaum elit lainnya yang terdiri dari kalangan birokrasi, kaum pendeta dan para pembantu mereka.
Kelompok kedua, yaitu kelompok penghasil bahan makanan dan pengumpul bahan
Skenario tentang kehidupan sosial-ekonomi masyarakat di wilayah Bumiayu mengacu pada tipe masyarakat “rank redistribution” yang memiliki ciri-ciri: bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri dan subsistensi. Pada masyarakat semacam itu muncul kelompok elit yang memperlihatkan status mereka yang lebih tinggi antara lain melalui bidang keagamaan dengan bangunan-bangunan sucinya. Dengan memperlihatkan status dan kekuasaan, mereka menganggap dirinya layak menerima upeti yang akan membebaskan mereka dari keharusan bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup sendiri. Untuk membangun candi misalnya dibutuhkan tenaga arsitek demikian pula untuk kelengkapan upacara diperlukan jasa pembantu pendeta. Hal itu menumbuhkan kelas pekerja baru yang bukan subsistensi (non-food producer) yang pada gilirannya masuk dalam kelompok elit pula. Kelompok elit ini menempatkan huniannya terpisah dari kelompok lain dan biasanya menempati lokasi pusat (central place) dimana masyarakat datang membawa upeti yang dibutuhkan (
Kembali kepada masyarakat masa lampau Bumiayu. Kelompok elit mengelola surplus produksi bahan makanan dan bahan
Posisi Sungai Lematang sangat strategis karena memiliki akses langsung ke pusat-pusat penghasil produk di dataran tinggi Pasemah dan sekitarnya. Dataran tinggi ini memasok barang-barang komoditi yang sangat dibutuhkan seperti hasil pertanian, komoditi-komoditi hasil hutan, emas dan pertambangan bijih besi. Oleh para saudagar komoditi-komoditi tersebut selanjutnya didistribusikan ke tempat pusat utama di
Peran kaum pedagang (vaniyaga) sangat besar dalam pengembangan ekonomi Kerajaan Sriwijaya sejak abad VII Masehi, seperti yang disebutkan dalam Prasasti Telaga Batu dan data tekstual lainnya (Cina, Arab). Sebenarnya yang ingin dikemukakan sehubungan dengan kelompok pedagang adalah kehidupan sosial penduduk masa Sriwijaya yang berciri “rank redistribution” terutama di daerah hulu mengalami proses perubahan dalam pengelolaan surplus bahan makanan dan bahan
Pada awal mula merkantil pedagang dalam jumlah kecil bepergian dari satu tempat ke tempat lain membeli surplus produksi dan menjual produk lain sebagai gantinya. Frekuensi kunjungan mereka ke setiap tempat akan tergantung pada volume produksi di
Dalam hal ini wilayah Bumiayu merupakan pasar berbagai produk hasil bumi dan bahan
Berdasarkan data arkeologi, keramik yang berasal dari abad X – XIII Masehi merupakan keramik yang paling banyak ditemukan di kawasan situs Bumiayu (lihat tulisan Sukowati dan Eka Asih Putrina). Hal ini menunjukkan bahwa perkembangan permukiman penduduk termasuk bangunan-bangunan suci terjadi pada masa-masa tersebut. Tumbuh dan berkembangnya mandala Bumiayu sebagai tempat pusat (central place) terjadi sekitar dua abad setelah wanua Sriwijaya dibangun di
Pada abad XI – XIII Masehi Bumiayu sebagai tempat pusat (central place) tingkat kedua tampaknya menyaingi pusat Sriwijaya di Palembang, apalagi ketika Kerajaan Sriwijaya mengalami penyerbuan pasukan Rajendra Cola dari India pada tahun 1025 dan pindahnya ibukota Sriwijaya ke Jambi. Berita Cina menyebutkan bahwa pada 1079 dan 1082 ibukota Sriwijaya pindah dari Palembang ke Jambi dan utusan yang dikirim ke Cina pada tahun 1079 dan 1088 berasal dari Zanbei (Jambi) (Ninie Susanti 2006). Akibat peristiwa-peristiwa politik tersebut, kontrol pusat terhadap mandala Bumiayu berkurang dan semakin longgar. Hal ini memberikan keleluasaan bagi kelompok elit lokal Bumiayu untuk mempertahankan bahkan mengembangkan kekuasaannya. Wilayah Bumiayu menjadi tempat pusat terpenting sebagai entrepot produk pertanian dan bahan
Dalam bidang keagamaan kelompok elit Bumiayu mengadakan kontak langsung dengan para penguasa dan kalangan pendeta dari luar pusat Sriwijaya. Kontak budaya tersebut berkaitan dengan pendalaman ajaran-ajaran dan aliran-aliran agama Hindu (antara lain Tantis Siwa) dengan memadukan unsur-unsur budaya setempat dengan unsur-unsur budaya luar. Hal ini tercermin dari bentuk-bentuk arsitektur candi dan ikonografi arca-arca dari abad XI-XIII Masehi yang ditemukan di kawasan situs Bumiayu (lihat tulisan Tri Marhaeni dan Sondang S. Siregar).
Uraian-uraian tersebut di atas merupakan sebuah skenario untuk menyingkap tabir peradaban di daerah aliran Sungai Lematang. Tentunya skenario ini perlu didukung oleh penelitian-penelitian lebih lanjut yang berkesinambungan.
DAFTAR PUSTAKA
Atmodjo, MM Sukarto, 1993, Tirthayatra, dalam Sriwijaya dalam Perspektif Arkeologi dan Sejarah (ed. Mindra F).
Bambang Budi Utomo, 1993, Menyingkap Lumpur Lematang, dalam Sriwijaya dalam Perspektif Arkeologi dan Sejarah (ed. Mindra F).
Bintarto, H.R., 1995, “Geografi Manusia”.
Ferdinandus, Peter, 1993, Peninggalan Arsitektural dari Situs Bumi Ayu Sumatera Selatan, dalam Amerta Berkala Arkeologi 13.
Intan, Fadhlan S., 1994, Candi Tanah Abang di Antara Kemegahan dan Ancaman Kepunahannya: Suatu Sumbangan Pemikiran, dalam Amerta Berkala Arkeologi 14.
Kulke,Hermann, 1993, “Kadatuan Srivijaya”- Empire or Kraton of Srivijaya? A Reassesment of the Epigraphical Evidence, dalam Bulletin de l’Ecole Francaise d’Extreme-Orient.
Manguin, Piere-Yves, 2002, “The Amorphous nature of Coastal Polities in Insular
Manguin, Piere-Yves, Soeroso, Muriel Charras, 2006, “Bab 3 – Daerah Dataran Rendah dan Daerah Pesisir: Periode Klasik” dalam Menyelusuri Sungai, Merunut Waktu: Penelitian Arkeologi di Sumatera Selatan.
Ninie Susanti, Y.,2006, Sejarah Kerajaan Melayu Kuno: Keterkaitannya dengan Kerajaan-Kerajaan Lain di Nusantara, dalam Seminar Melayu Kuno “Titik Temu” Jejak Peradaban di Tepi Batanghari. Jambi 16 Desember 2006: Bappeda Provinsi.
Soekmono, 1974, Candi, Fungsi dan Pengertiannya. Disertasi Universitas
Soeroso, M.P., 1994, South Sumatra in the 12th – 13th Century AD”., dalam Southeast Asian Archaeology 1994 Proceedings of the 5th International Conference of the European Association of Southeast Asian Archaelogist.
Tjia, H.D., 1987, Geomorfologi.
[1] Beberapa tahun setelah pengukuran itu Bupati Muara Enim memerintahkan untuk membuat saluran untuk mengurangi aliran Sungai Lematang. Mungkin karena penempatan sudetan itu kurang tepat, erosi masih tetap terjadi sampai sekarang.
khirnya warung kopi yang ditunggu datang juga. Warung itu perlahan menyeberangi Sungai Musi menuju ilir. Sampai di depan Benteng Kuto Besak, warung ditambatkan di antara perahu-perahu ketek yang sedang menunggu penumpang.
“Maaf saya baru mengantar rombongan Bapak Gubernur dan Walikota meninjau rumah-rumah rakit”, kata Harun (47), pengelola warung kopi terapung. Sore itu Harun terlambat satu jam. Biasanya setiap habis ashar perahu yang tampil beda dari perahu-perahu lainnya itu merapat di dermaga Benteng Kuto Besak (BKB),
Rais (17), putra Harun, dengan cekatan menyodorkan tangga kepada pelanggan yang lama menunggu untuk naik ke warung kopi. Ibunya sedang sibuk menggoreng pisang di dalam perahu. Empek-empek, bakwan, tahu goreng, tekwan, pastel, pisang goreng merupakan menu tetap tiap sore di warung itu. Makanannya bersih, rasanya lumayan dan harga murah meriah.
Warung kopi terapung yang dikelola Harun, merupakan satu dari enam warung perahu yang dapat dijumpai di tepi Musi di Kota
Sejak dicanangkannya
Pertama kali mengunjungi
Kuta Lama didirikan oleh Sultan Mahmud Badaruddin I dan Kuta Besak dibangun semasa Sultan Mahmud Bahauddin yang memerintah tahun 1776-1803. Belanda menghancurkan Kuta Lama pada tahun 1823 dan lahannya dijadikan rumah Komisaris Belanda yang dihuni oleh Komisaris IJ van Sevenhoven pada tahun 1825 (Djohan Hanafiah, 1988). Sekarang rumah komisaris itu jadi Museum SMB II.
Penggalian arkeologis di halaman Museum SMB II pada tahun 1990 memperlihatkan lapisan-lapisan budaya dari masa Sriwijaya dan masa Kesultanan Palembang sebelum dan sesudah benteng dihancurkan Belanda. Lapisan budaya Sriwijaya berada di bawah pada kedalaman sekitar
Di luar tapak kawasan Keraton, masih dapat dijumpai puluhan bangunan kuna di sepanjang Sungai Musi. Bangunan-bangunan tempat tinggal, makam, kelenteng, gereja dan bangunan publik lainnya. Berbagai bentuk bangunan tempat tinggal macam bangunan indis, bangunan rumah panggung dan bangunan beratap limas khas Palembang yang berumur ratusan tahun terdapat di sekitar Pasar 16 Ilir, Kampung Kapiten, Kuto Batu, Almunawar dan beberapa tempat lainnya.
Namun rumah rakit lama yang ada di
Sebiduk
Segala kekayaan budaya di sepanjang Sungai Musi memang sangat disayangkan bila dibiarkan tak terurus apalagi tergusur. Berbagai pemangku kepentingan dalam pengelolaan warisan budaya di Kota Palembang telah berbagi pengalaman dan ide dalam lokakarya yang bertajuk “ Sebiduk di Sungai Musi” diselenggarakan oleh Balai Arkeologi Palembang bulan Mei 2006. Judul lagu yang pernah populer tahun enampuluhan itu dijadikan tema lokakarya karena dianggap pas. Sebiduk dalam mengelola warisan budaya di
Tak dapat dipungkiri, mengelola warisan budaya di
Masyarakat Cinta Musi
Sore berikutnya warung kopi terapung penuh sesak. Maklum saja hujan turun dengan deras, banyak orang berteduh sambil makan dan minum. Tiba-tiba sebuah perahu ketek menyeruak mencari posisi berlabuh di sebelah warung. Rais dan dua wisatawan asing basah kuyup melompat dari perahu ketek ke warung.
Selama tiga jam Rais mengantar turis bule itu berwisata sepanjang Sungai Musi dengan perahu ketek. Wajah turis tampak puas ketika memberi bonus dua ratus ribu rupiah kepada Rais atas pelayanannya, lalu pergi menuju mobil yang telah menunggu di halaman Museum SMB II.
Tak lama kemudian seorang pemuda datang minta uang kepada Harun. “Yah...., kebiasaan lama belum juga bisa dihilangkan”, ujar Harun setelah pemuda itu pergi mengantongi beberapa ribu rupiah. Lebih lanjut lelaki kurus yang menjadi anggota Masyarakat Cinta Musi itu menjelaskan bahwa kebiasaan mengeroyok, membuntuti dan memaksa wisatawan yang hendak mencarter perahu, mengakibatkan turunnya minat wisatawan untuk berwisata sungai. Bukan itu saja, calo-calo yang main paksa itu dapat merusak citra wisata sungai Musi di Palembang.
Tampaknya Harun dan para pengemudi perahu ketek di depan BKB ingin “Sebiduk di Sungai Musi” menurut cara pandang mereka sendiri.